Menimbang Manfaat yang Lebih Besar
(Fiqih Muwazanat)
1. Dinul Islam tidak semata-mata diturunkan, melainkan untuk kemaslahatan semesta, sebagaimana firman Allah SWT tentang misi Rasul saw.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya:107)
Firman Allah swt. yang lain:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah:6)
2. Apabila kemaslahatan untuk semua orang tidak dapat dicapai, maka perintah syari’ah adalah agar mengupayakan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (Al-Baqarah:217)
Ayat ini mentoleransi atau bahkan mendispensasi untuk melakukan peperangan di bulan Haram, padahal status hukum berperang di bulan-bulan Haram adalah haram, tetapi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi dakwah Islamiyah, bahkan bagi umat manusia, maka mengambil inisiatif menyerang sekalipun adalah langkah yang dibenarkan oleh syariat.
Kemaslahatan yang lebih besar itu berupa dapat dilumpuhkan atau dihancurkannya kekuatan yang menghalangi dakwah Islam, lahirnya institusi kekufuran, penodaan terhadap tempat suci Masjidil Haram serta pengusiran kaum muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka. Dan secara umum setiap bentuk upaya membelokkan manusia dari aqidah Islami merupakan “Fitnah” yang lebih dahsyat dari membunuh musuh di bulan terlarang ini.
3. Ketika dalam hidup, kita harus memilih antara dua perkara yang jaiz atau halal, tetapi tingkat atau dampak kemaslahatannya tidak sama, maka pilihan harus dijatuhkan kepada yang dikalkulasi lebih besar maslahatnya.
Rasulullah saw. manakala diberi pilihan antara dua perkara yang halal dan tidak mengandung dosa di dalamnya, maka beliau memilih mana yang lebih maslahat, lebih ringan, baik tenaga, waktu atau biayanya. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah:
وعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَيْسَرُ مِنْ الْآخَرِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Tidaklah Rasulullah saw. diberi pilihan antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, jika itu tidak perkara dosa. Jika itu perkara dosa, maka beliau paling menjahui dari perkara itu dibandingkan manusia siapapun.” (H.R. Bukhari-Muslim)
4. Apabila kewenangan untuk mempertimbangkan dan memilih mana yang diperhitungkan akan dapat lebih membawa maslahat, itu dimandatkan kepada seseorang melalui wakalah -perwakilan-, maka pihak wakil -yang diberi hak perwakilan- berhak dan tidak boleh dipersalahkan ketika menjatuhkan pilihan tertentu yang masih dalam lingkup wakalahnya. Ini berlaku untuk pemberian mandat khusus ataupun mandat umum, meskipun pihak penerima mandat sebagai perseorangan. Terlebih apabila mandat itu diberikan kepada suatu tim, atau grup atau struktur organisasi yang berposisi sebagai pemimpin yang terpilih. Ijtihad individual dari anggota organisasi itu tidak boleh menjadi alternatif bagi ijtihad pemimpin, apalagi melikuidasinya.
Di atas otoritas wakalah tersebut, ijtihad dan pilihan yang diambil pemimpin dalam menimbang (muwazanah) antara kemaslahatan, diperkuat pula dengan otoritas kewajiban taat (wujubut tha’ah) kepada ulil amri yang diperintahkan Al-Qur’an dalam surat An-Nisa, ayat 59.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
5. Kemaslahatan itu ada yang berupa manfaat sesuatu yang kita pakai atau konsumsi secara fisik, hal ini dipertimbangkan berdasarkan empiris dan keahlian atau spesialisasi. Taujih Al-Qur’an menegaskan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
6. Pilihan yang dibuat sering harus diberlakukan juga antara beberapa kemungkinan yang bakal terjadi, melalui analisis konsekuensi atau dampak ke depannya atau kajian “Fiqhul Ma’alat”. Perbuatan yang jaiz bahkan ada kebaikannya, ternyata dilarang Al-Qur’an jika berdampak langsung (dzari’ah) dan menimbulkan hal-hal yang jauh lebih merugikan, lebih mafsadat atau madharat.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am:108)
Dalam hal keniscayaan mempertimbangkan apa yang bakal atau diperhitungkan terjadi di masa yang akan datang, pembenaran terhadap tindakan Khidir dalam Al-Qur’an adalah relevan untuk dikemukakan.
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا .فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
“Dan adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi:80-81)
Dalam konteks politik Islam -siyasah syar’iyah-, imam Ibnu Taimiyah merekomendasikan pilihan figur untuk suatu pos jabatan publik, baik berupa pasangan atau satu pos tertentu. Ia minta agar mencontoh pasangan para khularaur rasyidin yang mendapat taufiq Allah.
Sosok Abu Bakar yang lembut lebih maslahat berpasangan dengan sosok Khalid bin Walid yang streng.
Model Umar yang streng lebih maslahat berpasangan dengan Abu Ubaidah, bukan dengan Khalid bin Walid.
Untuk posisi qadhi (hakim) ia menyarankan sosok orang yang pintar dan pemberani meskipun agak kurang amalan sunatnya.
Untuk seorang ahli fatwa (mufti), harus seorang yang pintar yang lebih hati-hati (‘alim yang wari’) meski kurang berani dan sangat hati-hati dalam bertindak.
Sedangkan untuk seorang panglima atau komandan, ia mengajukan orang yang kuat, pemberani meskipun kurang ke’aliman dan amalan sunatnya.
8. Contoh dari Ibnu Taimiyah di atas sekaligus cocok untuk wawasan tentang mempertimbangkan mana yang dampaknya pribadi dan mana yang berdampak umum. Keshalihan yang bersifat pribadi maslahatnya terbatas untuk diri pribadinya, sedang keshalihan atau kethalehan (ketidakshalihan) yang akan berdampak umum harus lebih dipertimbangkan.
Ini sesuai dengan arahan Rasulullah saw. tentang shalat dan jihad bersama seorang imam betapapun juga akhlaqnya.
اَلصَّلاَةُ وَرَاءَ كُلِّ إِمَامٍ، بِرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا، وَالْجِهَادُ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ، بِرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا
“Melaksanakan shalat di belakang setiap imam, baik yang baik atau yang tidak baik. Dan berjihad bersama setiap imam, baik yang baik maupun yang tidak baik.”
Jangan tinggalkan shalat berjamaah bersama seorang pemimpin, meski ia seorang yang tidak baik (fajir), karena bagi ma’mum tetap untung dan mendapatkan pahala berjamaah, tidak ada ruginya. Sebab kefajiran pribadi pemimpin dalam hal shalat berjamaah bisa jadi pengurang pahala bagi dirinya, sedang kemaslahatan, serta pahala shalat berjamaah tetap didapat oleh ma’mum tanpa berkurang.
Sama halnya dengan jihad bersama pemimpin yang fajir, kefujurannya merugikan dirinya, sedangkan kemaslahatan jihad melumpuhkan musuh dakwah adalah untuk kemaslahatan umum.
Karena itu, fuqaha (para ahli fiqh) membuat kategorisasi antara kebaikan yang terbatas (al-khairul qashir) dengan kebaikan yang berdampak luas (al-khairul muta’addi).
Dalam konteks kemaslahatan umum yang luas (al-khairul muta’addi) yang harus lebih dipertimbangkan, sedangkan “al-khairul qashir” kalau ada, tentu akan lebih baik dan memper-elok. Jika tidak terpenuhi kedua-duanya, kebaikan pribadi mungkin bisa diupayakan atau didorong dengan perjalanan waktu bahkan bisa ditoleransi. Tidak demikian halnya dengan yang berdampak umum, kepositifan atau kenegatifan, bukan perkara yang bisa ditoleransi dan diserahkan kepada proses waktu.
8. Dalam menapaki perjuangan menuju keridhaan Allah, ada keharusan selalu memadukannya dengan doa, sebaliknya doa harus berpadu dengan upaya. Di sektor politik misalnya, perjuangan politik yang ditempuh dengan sabar dan punya target membangun bangsa dan pelayanan umat, maka di sinilah yang membedakan politik untuk kekuasaan dan politik untuk melayani. Sebagaimana arahan Kitabullah swt.:
وجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar[1195]. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24)
Ayat ini menegaskan bahwa imam adalah pemimpin (sulthan), dan pemimpin adalah imam. Keteladanan sebagai pemimpin dalam hal kepedulian, bebas KKN, dan pelayanan yang baik, ini dibina dengan segala kesabaran, untuk mampu membawa masyarakat pada kehidupan yang berjalan menurut guidance Allah swt., sehingga Allah swt. ridha kepada kita, dan kitapun ridha kepada-Nya
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
أللهم آمين
http://dedi.pksngawi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=7:fiqh-muwazanat&catid=3:perjalanan&Itemid=2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar