Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Jumat, 30 April 2010

Al-Khitbah Atau Meminang

Ditulis oleh Abu Ahmad As-Salafy di/pada Maret 15, 2009

Al-Khitbah Atau Meminang
Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an

Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang dipinangnya atau sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali.

A. MAKNA DAN HUKUM MEMINANG

Al-Khitbah dengan dikasrah ‘kho”nya berarti pendahuluan “ikatan
pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan hal ini pada umumnya ada pada laki-laki. Maka yang memulai disebut “khoothoban” (yang meminang) sedang yang lain disebut “makhthuuban” (yang dipinang).

Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan untuk yang lain. Dan tujuan meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.

Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad nikah, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya),
Mereka bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab ‘Jika dia diam’.

Maka bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali butuh pada kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun gadis, wali harus minta ijinnya, artinya dia dimintai ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak dibebani dengan jawaban yang terang-terangan untuk menunjukkan keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya, sungguh dia malu untuk menjawab dengan terang-terangan. Dan makna ini juga terdapat dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa beliau berkata
“Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis itu akan malu”, maka beliau bersabda:
Ridhanya ialah diamnya’
(HR Bukhori dan Muslim)

Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa diamnya adalah diam ridha, bukan
diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya dengan melihat kenyataan
dan tanda-tandanya. Dan perkara ini tidak samar lagi bagi wali pada umumnya.
Adapun kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan perkara yang harus dan merupakan syarat dalam nikah menurut jumhur ulama karena jelasnya hadits dari Nabi sala’lahu ‘a/aihi wa sallam yang bersabda :

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
(HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Dan jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya wali dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”
(QS Al-Baqarah : 232)
Artinya : Jangan kau cegah wanita yang tercerai untuk kembali ke pangkuan suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju’ jika memungkinkan secara syariat. Telah berkata Imam Syafii “Ini ayat yang paling jelas tentang permasalahan wali dan kalau tidak maka pelarangan wali tidak bermakna”.
(Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Ash-Shan’any, juz 3 hal 130).




B. MEMANDANG PINANGAN (NADZOR)

Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan adalah menundukan pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita- wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki ; atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”
(Q.S An¬Nuur : 30-31)

Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang dipinangnya atau sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali.
Adapun dalam hadits Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan menikahi wanita :
‘Apakah engkau telah melihatnya ? dia berkata : “Belum”. Beliau bersabda :’Maka
pergilah, lalu lihatlah padanya. “

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu : Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan dan jika mampu melihat seorang perempuan dari apa-apa yang mendorong kamu untuk menikahinya maka kerjakan.”

Orang yang meminang boleh memandang pinangannya pada telapak tangan dan wajah saja menurut jumhur ulama. Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan/kehalusan kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan rambutnya.


Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih utama..

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani dari Abi Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang diantara kamu meminang wanita, maka tidak mengapa kamu melihatnya jika kamu melihatnya untuk dipinang, meskipun wanita itu tidak tahu”

Adapun yang menjadi kebiasaan kaum muslimin dalam ‘pinangan’ yaitu berdua-berduaan, pergi dan bergadang berdua, maka itu adalah racun karena mengikuti kebiasaan orang-orang barat yang jelek, yang menyerbu negeri-negeri muslimin. Alasan mereka yaitu masing¬-masing dari dua orang yang bertunangan akan bisa saling mempelajari karakter yang lainnya dengan jalan tersebut dan untuk lebih mengenal agar nanti menjadi pasangan yang ideal dan bahagia.

Ini adalah sesuatu yang tidak benar berdasarkan kenyataan sebab masing-masing berpura-pura dihadapan pasangannya dengan apa-¬apa yang tidak ada padanya, yakni berupa akhlaq yang baik. Dan menampakkan bagi pasangan apa-apa yang berbeda dari kenyataanya dan tidak menampakkan aslinya kecuali setelah nikah dimana telah hilang sikap kepura-puraan itu dan terbongkar hakekat dari masing-masing keduanya. Maka mereka akan ditimpa kekecewaan yang besar.

Kami tahu berdasarkan pengalaman kami di mahkamah syar’iyyah bahwa menempuh jalan yang disyari’atkan dan menjaga hukum-hukum syari’at dari keduanya di semua tahapan-¬tahapan dalam menuju pernikahan, dimulai dari khitbah sampai dengan malam pengantin merupakan sebab yang menjamin kebahagiaan rumah tangga bagi keduanya dengan taufiq dan keridhoan Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang melakukan
tahapan-tahapan itu dengan kebiasaan orang-orang kafir yang jelek maka mereka akan mengalami kegagalan.

C. SIFAT-SIFAT YANG DITUNTUT DALAM MEMINANG DAN MENERIMA PINANGAN
Ketika pemuda dan pemudi menginjak remaja maka mulailah dalam pikirannya terbetik kriteria- kriteria dan sifat-sifat siapa calon pendampingnya untuk menjadi isterinya pada suatu hari nanti.

Dan pandangan orang terhadap sifat-sifat itu berbeda-beda, sesuai denga taraf pendidikannya yang dia tumbuh padanya. Maka sebagian mereka ada yang membuat kriteria, yang meliputi beberapa syarat seperti bentuk badan tingginya, warna kulitnya, warna mata. Dan diantara mereka ada yan mensyaratkan dari sisi hartanya, kekayaannya, nasab dan lain-lain.

Dan semua syarat-syarat ini dalam kenyataannya dituntut dan disukai, juga tidak dilarang untuk mencari orang yang demikian itu. Akan yang lebih baik dari itu semuanya adalah agamanya. Dalilnya yang diriwayatkan imam Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :

“Dinikahi wanita karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka utamakanlah yang punya agama sehingga kamu akan beruntung.”

Makna “yang memiliki agama” yaitu : wanita yang beragama, shalihah dan berakhlak baik. Maka hendaknya tujuan meminang adalah memilih wanita yang punya agama. Adapun bila terkumpul semua sifat-sifat yang lain dari harta, keturunan dan kecantikan disertai punya agama, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Akan tetapi tidak ada kebaikan pada seseorang yang memiliki harta atau keturunan, atau kecantikan
tanpa punya agama. Wanita yang punya kecantikan tanpa agama adalah wanita yang menipu orang lain dan diri sendiri, dan wanita yang punya harta tanpa agama adalah wanita yang menindas, lacur atau rakus. Adapun wanita yang punya , keturunan, pangkat tanpa agama, dia wanita yang sombong. Adapun wanita yang punya agama ialah
wanita yang selalu taat, akhlaknya baik, tawadhu’ sekalipun dia punya kecantikan, kekayaan, pangkat yang tinggi atau keturunan mulia.

Keadaan serta sifat-sifat ini tidak hanya khusus pada wanita saja, bahkan juga untuk laki-laki. Maka bagi wanita yang dipinang, agar jangan tertipu dengan kekayaan, ketampanannya, keturunan atau pangkatnya. Bahkan wanita wajib unluk meneliti terlebih dahulu agamanya, jika lelaki itu termasuk beragama, shaleh, maka sungguh terkumpul padanya syarat-syarat terpenting, sehingga jadilah sifat-sifat menempati peringkat kedua.

Sesungguhnya seorang lelaki yang beragama akan menjaga warita dan memeliharanya, dan akan mempergauli isterinya dengan cara yang baik, akan bersabar atas kekurangan-kekurangan isteri, dan ini yang terpenting. Maka bila Iaki-laki itu mencintainya, dia akan memuliakan isterinya, dan jika dia membencinya, dia tidak akan mendhaliminya meskipun si isteri suka hidup brrsamanya, dan bila lebih mengutamakan bercerai, maka dia tidak menahannya untuk menyakitinya, tetapi dia pisah dengan perpisahan yang sebaik-baiknya.

Sesungguhnya kehidupan ‘suami – isteri’ penuh dengan kesulitan dan tanggung jawab yang berat serta berhadapan dengan keadaan yang selalu berubah. Jika rumah tangganya ditegakan karena harta, kemudian hilang hartanya, maka apa yang terjadi ? dan jika ditegakkan di atas kecantikan atau kedudukan, kemudian berubah, maka apa yang terjadi ? Tidak diragukan lagi akan terjadi perpecahan dalam rumah tangga dan akan muncul perselisihan, karena pernikahannya tidak ditegakkan di atas dasar yang kokoh, tetapi atas syahwat Individu tanpa pangkal dan landasan yang kuat.

Adapun apabila pernikahan dibangun atas dasar menjaga agama, dimana agama itu merupakan aqidah yang tetap dan kokoh di hati muslim yang beragama, dia bangun diatasnya perbuatan dan perkataannya, dan dari dasar Itu dia bermuamalah dengan yang lainnya. Maka kita tahu, bahwa seorang muslim yang beragama, baik laki-laki maupun perempuan, dia akan bersyukur pada Allah Subhanahu wa taala dalam keadaan lapang, dan bersabar dalam keadaan sempit. Dia akan bergaul atau mensikapi kenyataan dengan iman dan sabar, dan dia akan saling tolong-menolong dengan isterinya ( teman hidupnya) dengan penuh amanah dan kegembiraan.

D. CINTA, RINDU DAN CEMBURU

Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya ¬pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.

Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.

1. Cinta (AI-Hubb)

Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’

Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.

Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan- perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.

Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat¬-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki- laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)

Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :

“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan .”

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat”
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)

Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.

2. Rindu (Al-’Isyq)

Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.

Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.

Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.

3. Cemburu (Al-Ghairah)

Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketik~asuaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.

Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu¬- ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.

Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”
(Q.S As-Sajdah : 17)

Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka dari bidadari- bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang¬orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan keutamaan.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.

(Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I” Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)

Hubungan Syi’ah Dengan Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)

Ditulis oleh Abu Ahmad As-Salafy di/pada Mei 15, 2009

Jika kaum muslimin (salafy) memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka.
Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu’alaihi Wassallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.

DEFINISI NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

HUKUM NIKAH MUT’AH
Pada awal tegaknya agama Islam, nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al- Akwa’ Radhiyallahu ‘anhu
“Bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhum, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An- Nawawi)

GAMBARAN NIKAH MUT’AH DI JAMAN RASULULLAH Shalallahu’alaihi Wassallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tesebut (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya (HR. Muslim no. 1406)

NIKAH MUT’AH MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH
Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:

Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala ?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya”.
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al- Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali Radhiyallahu ‘anhu dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”

FIGUR MUROBBI TELADAN

Makalah ini disadur dari Kitab “Mamarratul haq”, Juz a dan ba, lissyaikh Ra’id Abdul hady.

FIGUR MURABBI TELADAN

Pernahkah anda mengalami suatu saaat ketika anda membuka mushaf dan anda mulai membaca al-qur’an kemudian anak-anak anda datang mendekati anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan?, Pernahkah anda mendapatkan Mutarabbi anda mengerjakan shaum sunnah padahal anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya ataau menginstruksikannya ?, hal tersebut dilakukan oleh Mutarabbi anda hanya karena ia mendaapatkan anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah anda mengalami khadimat anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga anda, mulai terbiaasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau paada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah?, padahal isteri anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-nur maupun Al-ahzab.

Itulah buah dari keteladanan, ketealadaanan adalah cara berda’wah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata, bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan, sebagaimaana adagium mengaatakan : “Lisaanul hal afshohu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerjaa lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain ketelaadanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya , tegaknya dan lain sebagainya, sebagaimana pepatah mengataakan : “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.

Oleh karena itu penting bagi kita para Murabiyyin untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan, agar keteladanaan kita memberikan keberkahan bagi perkembangan da’wah dan peningkatan kwalitas maupun kwantitas para Mutarabbi yang kita bina . Untuk memudahkan kita mencontoh hal-hal yaang baik yang sepatutnya disikapi oleh seoarang figur Murabbi, maka melalui makalah ini kita akan berinteraksi dengan beeberapa tokoh yang tercatat sebagai figur murabbi teladan dalam sejarah, dengan menampilak “Suratun Hayawiyyah” atau gambaran kehidupan mereka khusunya dalam melaakukan aktifitas pentarbiyahan.

Secara runtut sesuai dengan urutan zamannya , kita akan mulai membahas keteladanan figur murabbi dari “Murabbi hadzihil ummah”, yaitu Rosululloh SAW, kemudian kita telusuri keteladanan figur murabbi para Sahaabatnya, para tabi’in ,ualam salaafusslaih hingga para Masayikh da’wah di zaman kita sekarang ini. “Aina nahnu minhum”, kita sungguh tidak ada apa-apanya dibaanding mereka bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka, itulah satu perasaan yang akan terlintas pada benak kita ketika kita mengetahui keteladaanaan mereeka sebagai murabbi, akan tetapi kita dinasehati oleh satu pepatah : “Tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun”, Teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani oranorang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rosululloh SAW

Sebagai Murobbi Rosululloh SAW selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang telah direkomendasikan di dalam Al-Qur’an, bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan diantaranya adalah : “Qoulan Layyinan” ( 20 : 44 ), “Qoulan Maysuran” ( 17 : 28 ), “Qoulan Ma’rufan” ( 32 : 32 ), “Qoulan Balighan” ( 4 : 63 ), “Qoulan sadidan” ( 4 : 9 ), dan “Qoulan kariman” ( 33 : 31 ).

Sebagai Murabbi Rosululloh SAW, tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata , apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy RA, Ia berkata : “Nabi SAW telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat, setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Rosululloh SAW seraya berkata : “ini hasil dari tugas saya , saya serahkan kepada mu, dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya”, lalu Rosululloh SAW segera naik ke atas mimbar, setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Alloh SWT beliau berkhutbah seraya berkata : “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antaara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Alloh SWT kepadaku, lalu ia datang dan berkata : “ini untuk engkau dan yang hadiah untukku, jika orang itu benar , mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya, demi Alloh tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Alloh SWT membawa barang yang bukan menjadi haknya “, lalu Rosululloh SAW mengangkat keduabelah tangannya hingga tampak ketiaknya, seraya berkata : “Ya Alloh, telah aku sampaikan” 3 x ( HR. Bukhari – Muslim )

Rosululloh juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya, sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi, hal ini dapat dilihat dari gambaran dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan beliau sebagaimana yang telah diriwayatkaan sendiri olehnya : “Aku pernah keluar bersama rosululloh SAW pada peperangan Dzatirriqo’, aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya, sehingga aku tertinggal jauh dari rosululloh SAW, kemudian Rosululloh SAW menemuiku seraya berkata : “ Kenapa engkau hai, Jabir “ “Ontaku Ya Rosulalloh…,jalannya lamban sekali” balasku. Kemudian Rosulluooh berkata lagi : “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu”, lalu aku berikan kepadanya dan beliaupun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya, lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu, demi Alloh tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat”. Kemudian obrolan berlanjut , Rosululloh SAW bertanya kepadaku : “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?”, “sudah ya rosulalloh” jawabku, “dengan janda atau gadis”?, tanya beliau lagi, “dengan janda ya Rosul” tegasku, “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat “mempermainkannya” dan ia dapat “mempermainkanmu”?, baalas rosululloh SAW dengan nada bertanya, lalu aku menjelaskan : “Ya Rasululloh sesungguhnya ayahku meninggal pada perang Uhud, dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang, maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat meenjadi pengasuh dan pembimbing mereka”. Kemudian Rosululloh berkata : “Engkau benar insya Alloh”.

Keteladanaan Para Sahabat RA

Dianatara paraa sahabaat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar as-Shiddiq RA, bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq, dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rosululloh SAW dalam perjalanaan hijrah ke Madinah, akan tetapi lebih dari itu karena Abu Bakar layak disebut sebagai “Murabbi hadzihil Ummah” sepeninggalnya Rosululloh SAW , beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahab!t yanG lainnya ketika mereka masih belum legowo menerim` berita wafatnya RosuLulloh SAW termasuk Umar bin khattab RA. Pada saAt itulah Abu bakar memberikan taujiHat tarbawy dengan membacakan fiPman Adloh SWT$ dalam surat Ali Imron : 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata – kata hikmahnya : “Man kaana ya’budu muhamma dan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budulloha fainnallaha hayyun laa yamuutu” (Barang siapa yang menyembah Muhammad seseungguhnya Muhammad telah tiada, tetapi Barang siapa yang menyembah Alloh SWT sesungguhnya Alloh Hidup dan tidak akan mati). Itulah keteladanan abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya Tarbiyah Aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa oleh gerakan pemurtadan (Harakatul Irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, maka lagi-lagi Abu bakar RA tampil sebagai pelopor Murabbi dalam hal ketegaasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar untuk memerangi mereka, banyak para sahabat termasuk umar bin Khattab RA masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan, maka Abu bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khusunya umar bil khattab RA seraya berkata : “ Hatta anta ya, Umar ajabbaarun fil Jahiliyah Khawwarun fil Islam ?, Wallaahi laa Yanqushuddinu wa anaa Hayyun, Lau mana’uuni ‘Uqqoolu ba’iirin yuadduunahi ila Rosuulillah lahaarobtuhu hatta tansalifa saalifaty” ( sampai engaku juga Ya Umar, apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa islam ?, Demi Alloh tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama akau masih hidup, Walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali unta yang harus diberikan kepada Rasululloh, maka tetap akan ku pernagi mereka sampaai urat leherku terputus”).

Bahkan keteladan Abu bakar sebagai Murabbi bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkrit, agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain, sebagaiman terjadi pada saat sebagian besar para sahabat (Kibaarusshahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rosululloh SAW sebelum wafatnya, dan abu bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rosululloh SAW, seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan meenuntun kudanya saampai perbatasan, sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara Ia berada diatas kudanya, lalu usamah menawarkaan agar ia turun Abu Bakar saja yang naik kuda, lalu abu bakar berkata : “Wallohi maa rokibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah” ( Demi Alloh, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun, biarkanlah kakiku bersimbah debu di jan Alloh )

Keteladanan Ulama Salafusshalih

Salah satu di antara mereka dadalah Atho bin abi Rabaah Rahimahulloh, yang memimpin halaaqah besar di masjidil haram, dimana Sulaiman bin abdil malik yang menjadi Khalifah pada saat itu juga sering menghadiri halaqohnya, Athu bin abi Rabah adalah seorang habsyi (Negro) yang pernah menjadi budak dari salah seorang wanita penduduk kota mekkah, lalu ia dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabah sebagai Murabbi adalaah kelembutannya dan ketajaaman nasehatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang, sebagaimana yang dikisahkan oleh Muhammad bin suqoh Salah seorang Ulama Kufah , bahwa suatu ketika atho bin abi rabah menasehatinya : “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan”, “lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan”? tanyaku, beliau melanjutkan nasehatnya seraya beerkata : “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih, bila dilaakukan selain dari Al-qur’an yang dibacaa dan difaahami, atau hadits rosululloh yang diriwayatkan, atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar, atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah”, kemudian beliau mengarahkan paandangannya kepada ku seraya berkata : “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kirooman kaatibiin) (Al-infithar : 10 – 11), wa anna m’a kullin minkum malakaini (‘Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) ( Qaf : 17 – 18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu”.

Kapabilitas takwiniyah Atha bin Abi rabah dalaam mentarbiyah bukan hanya kepaada kaalangan pembesar dan terpelajar tapi sampai seorang tukang cukur, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah : “Aku mel;akukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seoramng tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram, aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya :”berapa harganya”?, “semoga Alloh menunjukimu, ibadah tidak mensaratkan soal harga, duduk sajalah dulu, soal harga gampang” jawab tukang cukur, waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahklan duduku hingga menghadap kiblat, kemudian meenunjukan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kana, ketika aku dicukur ia melihaatku diam saja, lalu ia menegurku : “Kenapa koq diam saja, ayo perbanyaklah takbir”, maka akupun bertakbir, setelah selesai aku hendak langsung pergi, lalu ia berkata : “mau kemana kamu”?, “aku mau ke kendaraanku” jawabku, tukang cukur itu mencegahku seraya berkata : “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka” , Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalu bukan dia orang alim, lalu aku berkata kepadanya : “Dariman engkau dapati mengenai bebrapa manasik yang kau perintahkan kepadaku’?, Demi alloh aku melihat Atha bin abi rabah mempratekan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya”, jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar misalnya, akan tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat, sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi, hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang diantara mereka : “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna” ( Tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar ).

Adalah Said ibnul Musayyib rahimahulloh, juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para Murabbiyyiin, beliau memimpin halaqoh yang cukup besar di Masjid nabawi, di samping beliau juga terdapat halaqohnya ‘Urwah bin Zubair, dan abdulloh bin ‘Utbah rahimahumalloh, Said ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah, suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak datang halaqoh, tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya yang sudah mustawa qowy ini, beliau kahawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya, lalu beliau juga bertanya kepada ikhwah yang lainnya juga tidak ada yang tahu, akan tetapi bebrapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah, datang kembali sebagaimana biasa, maka sang Murabbi teladan said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian seraya berkata : “kemana saja engkau ya, aba wada’ah”?, “Isteriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah issterimu serta membantu segala keperluanmu” tanya Said kembali. “Jazaakallahu kahairan” jawab abu wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbynya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya seraya berkata : “Apakah engkau belum terpikir untu mencari isteri yang baru ya Aba Wada’ah”, “Yarhamukalloh, siapa orangnya yaang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap waqi’ terhadap keadaan dirinya, “aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku” tegas said, seraya terbata-bata Abu Wada’ah berucap : “ Eng,…engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku”, “Ya,…kenapa tidak, karena kami jika seudah kedataangan seseorang yang kami ridho terhadap agamanya dan akhlaknya maka kami kawinkan orang iyu, dan engkau termasuk orang yang kami ridhoi” jawab Said meyakinkan mutarabbinya. Lalu dipanggilnyalah ikhwah yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikahnya dengan mahar sebanyak dua dirham, Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu haruh berkata apa, antara kaget daan girang, ia pulang menuju rumahnya sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum, karena di tengah perjalaanan ia terus berfikir darimana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa?, tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghribpun tiba, lalu ia berbuka dengan sepotong roti, baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu, “siapa yang mengetuk pintu”, tanyanya dari dalam rumah, “Said” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya, setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya, Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang Murabbi seraya berkata : “Ya, aba Muhammad mengapa tidak kau untus sesorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu”, “Tidak engkau lebih barhak aku datangi hari ini”, setelah dipersilahkan masuk Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya seraya berkata : “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan sari’at alloh SWT sejak tadi pagi, dan aku tahu tidak ada seorangpun yang menemanimu, menghiburmu dan melipu kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini disuatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain, maka sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu” , lalu said menoleh kee arah puterinya seraya berkata : “masuklah engkau ke rumah suamimu wahai puteriku, dengan menyebut asma alloh dan memohon barokahNYA”, masuklah anak perempuan said , dan ketika melangkahkan kakiny nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hampir jatuh hampir jatuh terpeleset karaana saking malunya, “sedang aku juga Cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa” kata abu wada’ah mengenang kejadian itu, tapai kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah untuk mamanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul malik bin Marwan Khalifah bani uamayyah yang ingin meminang putrinya, malah beliau segara meengawinkan putrinya dengan Abu Wada’ah mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Subhanalloh,… ada ‘ngga ya, Murabbi seperti Said bin Musayyib rahimahulloh di zaman sekarang ini?, kalau ada alhamdulillah, kalau belum ada mudah-mudahaan selepas dauroh murabbi ini ada yaang berusaha meneladaninya. Amin Ya robbal alamin.

Lain lagi kisahnya dengan Imam abu hanifah, atau dikenal dengan nam nu’man bin tsabit rahimahulloh, beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang, berseri-seri, dalam penegtahuannya, manis tuturkatanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian, jika beliau datang ke majlisnya, maka semua orang yang ada disitu sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya.

Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai Murabbi yang dermawan, karena beliau juga dikenal sebagaai seoarang saudagar, tepatnya sebagai pedagang pakaian, kain dan sutera, beliaau berkeliling dari kota satu ke kota lainnya di wuilayah irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ketempat jualannya, ia minta dicarikan baju, lalu belaaiu mencarinya, sesuai dengan warna yang dimintanya lalu diberikan kepadanya, “berapa harganya ?”, tanya sang murid, “sedirham” jawab Imam, “satu dirham” tegas sang murid lagi penasaran dan campur heran kok murah banget, “ya, segitu”, tegasnya lagi, “yang bener nih…” kata muridnya lagi, “Aku tidak main-main, aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak, yang satu aku sudah jual dengan harga duapuluh dinar emas, sedang yang siasanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham, aku memang tidak mau mangambil untung terhadap murid-muridku”.

Suatu ketika Imam abu hanifah melahat salah seorang mutarabbinyaberpakaian lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang, setelah yang lainnya keluar dari majlis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majlis itu selain Imam abu hanifah dengan mutarabbinya tersebut, lalu beliau berkata kepadanya, “angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di bawahnya”, setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham, “ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu’ tegas imam abu Hanifah, lalu kata orang itu : “Aku sudah cukup, Alloh telah melimpahkan nikmatnya kepadaku, aku tidak membutuhkan uang ini”. Dengan cerdasnya imam abu hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu : “Jika memang benar-benar telah melimpahkan ni’matnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatanNYA itu, bukankah rosululloh SAW bersabda : “Innalloha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi” (sesungguhnya alloh SWT senang melihat bukti keni;matannya pada hambanya), karena itu sudah sepantasnya engkaumemperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu”.

Itulah beberapa keteladan Ulam salafussalih dalm mentyarbiyah para mutarabbinya, Wallohu ‘alamu bisshawaab.

Keteladanan Masyaikh Da’wah kita

Imam As-syahid Hasan al-banna, figur murabbi yang satu ini sudah barang tentu tidak asing bagi kita, juga bagi seluruh aktifis da’wah dan harakah islamiyah di mana saja berada. Adalah pantas bila beliau merupakan salah seorang sosok figur murabbi teladan abad 20.

Keteladanan Imam Hasan al-banna dapat disimpulkan dari pendekatan da’wahnya ke berbagai lapisan masyarakat, prinsip-prinsip pendekatan da’wah yang diisyaratkan dalam hadits rosululloh SAW seperti : “khoothibinnaasa ‘alaa qodri ‘uqulihim”, “khotibinnaasa ‘ala lughati qaumihim” (Ajaklah berbicara kaummu sesuai dengan kemampuan akal mereka, ajaklah berbicara kaummu sesuai dengan gaya bahaasa mereka). Tampak sekali hal ini dilakukan oleh beliau dalam menyemai benih-benih tarbiyah di tengah-tengah masyarakatnya.

Ketika beliau menetap di ismailiyah, yang terkenal sebagai kota pelabuhan, di mana banyak buruh-buruh pelabuhan menghabiskan waktu malamnya dengan nongkrong di kedai-kedai kopi, dari sinilah beliau memulai da’wahnya, beliau mengadakan pendekatan yang sangat hati-hati dan perlahan, beliau menyampaikan hal-hal yang bersifat umum seperti ingat kepada alloh dan hari akherat, tidak konfrontatif, penyampaian da’wah dikemas dengan sederhana, diselingi dengan bahasa ‘amiyah (pasaran), diselingi dengan cerita dan ilustrasi, dan lamanya hanya sepuluh menit atau paling laama seperempat jam.

TANYA USTADZ -- POLING KOMUNIKASI APRIL AKHIR--

Pertanyaan : bagaimana cara remaja sekarang untuk berta’aruf?

Jawaban:
Ustadzah Tasnim (Dosen Stain dan Pengajar Fikih Wanita Ponpes Muttaqien)

Ta’aruf secara bahasa artinya mengenal. Tujuan dari ta’aruf adalah untuk mengenal dan mengetahui, apakah kira-kira seseorang itu memiliki kepribadian, kecenderungan, mainset yang sesuai dengan diri kita.
Cara berta’aruf :
1. Melalui sahabat atau orang terdekat yang mengenal orang tersebut
2. Istikharoh ( untuk menentukan apakah dia yang terbaik atau bukan)
Selanjutnya yang menjadi permasalahan, bagaimana kalau berta’aruf itu melalui sms atau telephone? Boleh kah semancam itu?
Perlu diketahui bahwa ta’aruf itu ada kaidah dan batasan-batasannya. Batasan disini tentunya harus sesuai dengan syariat. Contoh: tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), tidak boleh menggunakan kata-kata yang memancing nafsu, menjaga pandangan. Dari sini dapat diketahui bahwa taaruf berbeda dengan pacaran. Kalau seseorang ingin mengenal melalui sms,dalam hal ini perlu ada batasanya jangan sampai berlebiahan seperti yang telah diutaran diatas.Perlu diingat bahwasanya seriing SMSan akaan banyak sekali madhorot yang akan timbul dengan tidak kita sadari secara langsung,dengan sering SMSan seperti “ dah sholat belum?”, sebenarnya lkalau kita lihat secara sekilas sms seperti itu masih dalam batas wajar tapi hal tersebut apa bila di lakukan secara terus menerus akan berdampak yang negative pada diri kita.Kalau kita lihat dari segi bahasanya arti dari ta’aruf sendiri adalah mengenal jadi apabila kita sudah mengenal dan merasa cocok serta yakin ngapain kita tunggu lama-lama?, langssung saja melangkah.
Ada sebuah kasus, mahaiswa aktivis kampus antar pria dan wanita mereka saling cocok dan sudah berta’aruf tapi diantara mereka belum ada persiapan untuk melangkah kejenjang selanjutnya,akhirnya mereka berkomitmen untuk melanjutkan kuliah dulu setelah itu baru melangkah kejenjang pernikahan saat lulus nanti.Dan pada saat kurun waktu yang sudah ditentukan mereka selalu berkomunikasi

Karakteristik Da’i Murabbi

Adapun beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang da’i Murabbi antara lain adalah :

1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan dida’wahkannya, karena seorang da’i Murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang trsebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang Murabbi, maka apabila seorang da’i Murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada Mad’u itu sendiri, yang paada gilirannya akan menimbulkan masal;aah dam pembentukan kepribadian muslim sang mad’u itu sendiri.

2. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang Da’i Murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas padaa prilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang da’i Murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladnan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Imam Hasan Al-Banna mensifati Da’i Murabbi dengan sebutan Da’i Mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i Mujahid adalah : “Sosok seorang Da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang Da’i, tercermin iman dan keyakinannya pada prilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang Da’i , bahwa pengaruh mereka terhadap banyaak orang lebih banyak berasal dari prilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikaataakn pulaa oleh ulama saalafusalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendiddikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik). Al-imam Syafi’i rahimahullohu berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanaan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).

3. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seoarang da’i Murabbi tidak lain adalah kejiwaaan, bergumul dengannya dan menjadikaannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam Tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras dan bebal dan sebagainya. Oleh karena itu seorang murabbi hendaknya mensikapui seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan streng kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok Murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli paara sahabtnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda : “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)

Berkaitan dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari Murabbi zaman ini, diantara mereka adalah imam Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog anatara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata : “sesungguyhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada antum, masaalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Imam Al-banna : “Sudahlah jangan bebani diri antum dengan masalah itu, serahkan urusan antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin antum tahu”, sergah Akh tersebut, “Sesungguhny ana sudah tahu” kata Imam seraya meyakinkan Akh tersebut, “Jadi ana bahagia kaalau antum mau tahu” balas akh tersebut. Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahauliku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercuccuran air mata”.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sesungguhnya Tarbiyah fardiyah merupakan seni yang hanya daapat dimainkan oleh para Da’i tertentu, dan seni yang satu ini memiliki garis yang jelas dan batasan syar’i yang telah dirumuskan dalam ajaran islam. Seni yang satu ini juga bukan perkara yang mudah, semudah menulis dan mengarang sebuah buku tentang pentarbiyahan, juga semudah merumuskan manhaj dalam khayalan, akan tetapi apalah artinya bila kemudian buku dan manhaj tersebut hanya menjadi tinta bisu diatas kertas tergantung diatas rak, karena tidak dirubah potensinya dalam gerak nyata yang tampak di permukaan bumi, menjadi manusia yang menterjemahkan buku dan manhaj tersebut kedalam prilakunya, gerak-geriknya, cita rasanya, struktur berfikir dan moralitasnya.

Nah, sekarang bagaimana kita mulai, dari mana dan kapan sasaran akhirnya, adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang jawabanyya ada pada sejauh mana kita dapat merealisasikan manhaj Tarbiah Fardiyah dengan segala uslub kerjanya.

Langkah pertama yang harus dimulai dalam menjhalankan misi Tarbiyah fardiyah ini adalah menjalin hubungan dengan seseorang yang hendak diproses, dan berusah semaksimal mungkin mengenali orang tersebut, mengenali pikirannya, pemahamannya, persepsinya dan mencermati sela-sela kelemahannya. Dengan begitu akan dapat dipastikan dan diketahui bentuk-bentuk pendekatan aplikatif apa yang mungkin bisa dimplementasikan terhadap orang tersebut. Setelah mengenali dan meyakini bahwa orang tersebut memamng maslahat untuk didakwahi, maka mulailah sang da’i bersama orang tersebut melakukan rekreasi spritual (Rihlatul Iman), dalam rihlah inilah sang mad’u digiring untuk melalui tiga tahap periode perkembangan yang terbangun di atasnya nilai-nilai kepribadian islam dan atribut-atribut keimanan, ketiga tahap priode perkembangan tersebut hendaknya secara tertib dan runtut harus dilalui oleh sang mad’u, karena hal itu merupakan faktor yang sangat mendasar bagi terbangunnya kepribadian islami yang menyeluruh dan terhindarnya kesalahn fatal dalm menyampaikan pesan-pesan da’wah.

Tiga periode perkembangan

Adapun ketiga periode perkembangan tersebut adalah :

Pertama : periode pembinaan akidah, periode ini merupakan periode yang sangat fundamental dalam membentuk kepribbadian seorang muslim, karena ia merupakan landasan pijak bagi periode perkembangan lainnya, akidah yang dimaksud bukanlah sekedar pengetahuan kering yang hanya membahas masalah-masalah yang tidak bermuara pada amal, dan tidak bermanfaat bagi pertuimbuhan ghirah islamiyah dan semangat berda’wah, akan tetapi akidah yang dimaksud adalah sebagaaimana yang dipersepsikan oleh as-syahid Sayyid Qutub Rohimahulloh diman beliau berkata : “Seyogyanya periode pembinaan akidah melewati masa yang panjang, sehingga langkah-langkah pembinaan secara perlahan dapat mendekati kesempurnaan, dengan kedalaman dan kemantapannya, sebaliknya seyogyanya periode ini jangan hanya sekedar menjadi pelajaran teoritis, akan tetapi periode ini secara prioritas harus dipahami sebgai periode menterjemahkan akidah dalam gambaran kehidupan nyata dengan segala kualitas perasaan dan amal perbautan yang tercermin dalam bangunan kehidupan berjamaah dengan gerakan kolektifnya. Adalah sebuah kesalahan fatal bila akidah hanya menjadi kerangka teori yang hanya sekedar dijadikan sebagai konsumsi pelajaran intelektual”.

Kedua : Periode aplikasi, setelah akidah tertanam kuat pada diri sang mad’u, dan ia meraasakan hubungan dan ketergantungan yang kuat kepada Alloh SWT, maka berikutnya adalah periode aplikasi , yaitu pantulan tabiat dari keyakinannya dalam prilaku, gerak-gerik, akhlak dan ubudiahnya, maka bila periode ini dapat dilewati dengan baik berart telah terjadi keselarasan “ bainal madzhhar wal jauhar” antara esensi dan substansi, antar kulit dan isi , antara teori dan praktek, antara konsep dan realita dan antara ilmu dan amal. Oleh karena tuntutan dan target periode ini adalah menggiring seseorang untuk membentuk dirinya sehingga terjadi kesesuian anatara apa yang diyakinaninya (akidahnya) dengan amalan syar’i yang lekat secara menyeluruh pada dirinya dan muncul dari refleksi akidahnya.

Ketiga : Periode pemetaan amal islami, setelaah akidah sang mad’u kuat dan amaliah syar’inya bagus, maka berarti ia telah menunjukan kesiapannya untuk dipetakan atau ditempatkan dalam proyek amal islami (amal da’wah) dibawah naungan jamaah dan da’wah, dan dijelaskan kepadanya dalil-dali syar’i yang mengarahkan kewajiban bekerja di bawah naungan jamaah dan tidak menghindar dari padanya walau hanya sejengkal. Kesimpulannya bahwa tarbiah fardiah dimulai dengan tarbiyah islamiyah dan diikat kemudian dengan aml jama’i.

Kaidah Asasiyah

Terakhir, yang menjadi catatan penting dalam mentarbiyah adalah kaidah-kaidah asasiyah yang harus di perhatikan oleh sang Murabbi, dan menerapkan kaidah-kaidah tersebut disela-sela aktifitasnya dalam menjalankan tarbiyah fardiyah. Kaidah-kaidah tersebut di antaranya adalah :

1. Ar-Rifq, yaitu kelemahlembutan, sebagaimana firman alloh SWT dalam surat al-Imran : 159, kelemah lembutan adalah asas dalam bermuamalah, seoarang da’i tidak dapat mengambil hati mad’unya, kecuali bila ia mempergaulinya dengan penuh lemah lembut sehingga menjadi mudah untuk menguasai hatinya.

2. Al-Ibti’adu anidzdzammi wattaa’aatubi, yaitu menjauhkan sikap agresif yang cenderung mencela dan mendiskriditkan, karena sesungguhnya da’wah tidak dibangun di atas celaan dan cemoohan, melainkan dengan Tanashuh (menjaga) dan Taghafur (mema’afkan) serta Al-Irsyad bil husna (membimbing dengan cara – cara yang baik. Sebagaiman Ibnussamak seorang Ulama yang zuhud – Rahimahulloh- ketika seseorang berkata kepaadanya : “Kita bertemu lagi besok dalam rangka saling mencela”, lalau jawab Ibnu samak : “Bal baini wa bainaka ghodan nataghafar” (Tidak, akan tetapi kita bertemu besok untuk saling memaafkan).

3. At-tarbiyah Tamhid wattasywiq, Tarbiah itu harus dijalankan dengan perlahan bukan dengan paksaan, dengan memunculkan kesenangan bukan ketakutan, hal ini tentu saja membutuhkan kesabaran, karena untuk dapat menikmati buahnya kadang harus menunggu masa panen yang butuh waktu lama.

4. At-Tasyji’, yaitu motivasi sang da’i Murabbi terhadap mad’unya, berupa “reward”, apresiasi dan penghargaan, untuk menambah semangat dan mendorongnya untuk beramal, sebagaiman yang telah dilakukan oleh Rosululloh kepada sahabat Suhaib bin sinan ar-rumy, yang hijrah ke Madinah dengan meninggalkan seluruh hartanya setelah diambil seluruhnya oleh orang-orang musyrikin, dan dia hanya bisa menyelamatkan agamanya, Rosululloh menyambut kedatangannya seraya berkata : “Rabiha Suhaib” (beruntunglah Suhaib).

Waallohu A’lamu bisshawab.

DIarsipkan di bawah: Tak Berkategori | Ditandai: da'i, da'i murobbi, karakter murobbi, karakteristik da'i, murobbi | Tinggalkan sebuah komentar »
Tarbiyah Fardiyah
Posted on April 3, 2010 by sangmutarobbi

Definis dan urgensi

Tarbiyah Fardiyah adalah peran dan tugas individu dalam konteks amal islami, dengan keharusan melakukan interaksi sosial yang bersifat personal untuk memperoleh satu tujuan dan sasaran dengan unsur-unsur pendekatan yang baru , diluar kelaziman pelaksanaan Tarbiyah Jama’iyyah pada umumnya seperti halnya dalam bentuk halaqoh. Unsur-unsur pendekatan dalam Tarbiyah Fardiyah diusahakan agar seseorang pada awalnya tertarik dengan fikrah Islam melalui proses Tarbiyah dan Takwin, baru setelah itu mengajaknya terlibat dan berpartisipasi lebih jauh lagi dalam amal da’wah. Dalam hal ini diberikan kebebasan bagi siapa saja yang hendak menjalankan misi Tarbiyah Fardiyah untuk memanfaatkan seoptimal mungkin seluruh akses (Relasi) dan prakondisi untuk melakuakn penetrasi fikroh dan mengupayakan kepuasan objek da’wah (Mutarabbi Fardy) dengan fikroh-fikroh yang ditawarkan kepadanya.

Lantas sejauh mana urgensi Tarbiyah Fardiyah dalam konteks amal islami?. Ikhwah Fillah, sesungguhnya amal Islami tidak dapat berjalan kecuali dengan satu proses dan cara sebagaiman yang telah dilalui dan dijalankan oleh para Rosul ‘alaihimussholaatu wassalaam melalui media tarbiyah yang digerakkan untuk menyingkap dan mengenali hakekat agama ini (Al-Islam) secara menyeluruh. Berkata Imam Hasan Al-banna : “Sesungguhnya Manhaj Ikhwanul Muslimin terwujud dalam pembatasan marhalah dengan kejelasan langkah-langkah nya, maka dari itu kita tahu sebenarnya apa yang kita inginkan, dan juga kita tahu sarana yang dapat merealisasikan keinginan – keinginan itu”.

Status hukum dan prinsip-prinsipnya

Tarbiyah fardiyah ditinjau dari kewajibannya secara hukum, dapat dipahami dari bentuk-bentuk audiensi firman Alloh SWT yang diarahkan secara eksplisit kepada setiap individu muslim, juga arahan nabawi yang mengarah kepada hal yang sama, semua itu adalah Taklif ynag memperkuat keharusan adanya rasa tanggung jawab pada setiap individu muslim untuk mengemban tugas da’wah islamiah, sebagaimana firman alloh SWT dalam surat Fusshilat : 33, As-syura : 15, dan an-nahl ; 125.

Adapun hadits Rosululloh SAW yang dapat dijadikan landasan syar’i Tarbiyah Fardiyah adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudry ; “Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa dengan lisannya, jika tidak bisa dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Juga dalam hadits riwaayat Muslim lainnya : “Barang siapa yang menunjukan kepada kebaikan maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengerjakannya”.

Berkaitan dengan tarbiyah fardiyah Imam Hasan Al-banna mengingatkan kita bahwa kewajiban Tarbiyah fardiah adalah kewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, dengan menempuh proses “Takwin ba’da Tanbih” (Pembentukan setelah pengarahan) dan “Ta’sis ba’da Tadris” (Pemantapan atau pengokohan setelah pengajaran).

Minimal ada enam prinsip untuk melancarkan efisiensi dan efektifitas tarbiyah fardiyah :

Pertama : Al-Manhaj As-salim, yaitu konsep yang benar, yang mampu mencetak pribadi dan generasi islami, konsep yang terpadu dan menyeluruh meliputi aspek-aspek tarbiyah fikriyah, ruhiyah dan akhlakiah.

Kedua : Al-qudwah al-hasanah, yaitu dalam hal ketaqwaan, kewaro’an dan pengamalan ilmunya.

Ketiga : Al-bi’ah As-sholehah, ya’ni dengan menyediakan nuansa dan iklim yang cocok untuk setiap individu, khusunya padaa masa-masa memasuki tahapan pembentukan pertama.

Keempat : At-Tajarrud, yaitu totalitas seorang Murabbi yang mengemban misi da’wah dalam rangka membentuk kepribadian individu muslim dan memfokuskan hal itu.

Kelima : Tadarruj, yaitu seorang Murabbi dalam konteks Tarbiyah fardiyah hendaknya memperhatikan tahapn-tahapan logis, seperti dengan stressing maslah-masalah aqidah sebelum masalah Ibadah , maslah Ibadah sebelum konsep kehidupan yang lebih luas, ringkasnya adaalah “Kulliat Qobla Juziyyat” .

Keenam : Arrifq wallin, sikap lembut dan halus adalah sarana dalam mentarbiyah, oleh karenanya hendaklah bersabar atas segala kegagalan dan kesalahan sampai datangnya satu masa dimana buah dari kesabaran itu akan tampak membuahkaan hasilnya.

Sarana dan keistimewannya

Adapun sarana tarbiah fardiyah banyak macamnya yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Murabbi terhadap Individu mad’unya. Dalam bentuk tatap muka misalnya (Liqo’), seorang Murabbi tarbiyah fardiah bisa memnfaatkan pertemuan dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadits atau siroh, pertemuan tersebut sedapat mungkin dicarikan waktu dan tempatnya yang cocok, bisa juga memanfaatkan pertemuan di Halaqoh (ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke Rumah makan, dalam bentuk yang lebih sederhana sarana Tarbiyah fardiah bisa dengan menghadiahkan sebuah buku yang bermuatan fikroh islam, sehingga pada pertemuan berikutnya bisa didiskusikan hasil dari bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebagian dari sarana-sarana tarbiyah fardiyah. Adapun selebihnya seorang murabbi dengan kecerdasaannya dapat mengeksplorasi dan mengembangkan sarana-sarana lainnya lebih banyak lagi.

Tarbiyah fardiyah bila dijalankan sesuai dengan manhajnya maka ia akan menjadi sarana yang paling efektif , paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitasnya terhadap individu mad’u, keistimewaan Tarbiyah fardiyah terletak pada fokus perhatian yang lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar pula tibgkat keberhasilan mengajak oarang ke jalan da’wah.

Tarbiyah fardiyah adalah salah satu gaya pendekatan (Uslub) dalam berda’wah, akan tetapi gaya pendekatan yang satu ini tidak mungkin efektif dan membuahkan hasil bagi kalangan juru dakwah dengan berbagai level mad’unya, karena para da’i yang memainkan da’waahnya dengan gaya ini dituntut untuk memiliki beberapa karakteristik khusus yang menjamin kapabilitas dirinya melalui jalan da’wah dengan gaya pendekatan yang satu ini. Dengan kata lain tarbiyah fardiyah tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang hanya disebut dan dikenal sebaagai Da’i saja, tapai harus oleeh seseorang yang telah mendaapat predikat Da’i plus yaitu Da’i Murabbi.

(-.-*)

Aku melangkah dengan langkah indahku untuk ke luar rumahku agar aku dapat menatap langit yang biru...
Dengan membawa Indahnya senyuman yang menggambarkan begitu besar CintaMu...
Senyuman yang dapat bercerita tentang indahnya Mahabbah Rabbku...
Keindahan yang tidak mampu dapat ditorehkan oleh tinta...
Atas Karunia Rabbku, aku mampu mempermanis manisnya senyum Indahku...
Agar dapat membawakan suatu gambar yang lebih Indah kepadamu tentang Keindahannya...
Karena aku tak mampu dapat menggoresnya pada sebuah kertas...
Aku datang dengan membawa segengam senyum di bibirku...
Agar dapat menggambarkan kepadamu tentang Indahnya Karunia itu melalui senyuman Indahku...
Sebagai bingkisan dariku kepadamu, Wahai jiwa-jiwa tenang yang penuh ketentraman...
Sehingga berpijarlah Karunia yang menghiasi dunia dengan Selendang Cahayanya...
Karunia yang hendak memberikan ketentraman bagi jiwa-jiwa yang tenang...
Yaa Rabb, tak ada dariku yang dapat melukiskan MahabbahMu, Kecuali Senyuman Indah ini...
Maka, Izinkanlah Senyuman ini dapat menjadi pena yang dapat melukiskan Indahnya MahabbahMu di Tempat aku berpijak...
Hingga Karunia itu dapat menguatkan pijarnya lagi ketika sempat terlelap dalam padamnya...
Allahuma Amiiin...

TIGA CALON PENGHUNI NERAKA

Oleh Al-Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawwaz

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dayyuts yaitu kepala rumah tangga membiarkan kemungkaran dalam rumah tangganya.” (HR. Nasa’I 5: 80-81; hakim 1: 72, 4: 146-147; Baihaqi 10: 226 dan Ahmad 2: 134)

Ajaran Islam adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia kemudian memberikan kepada mereka petunjuk agar selamat di dunia dan akhirat. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus ditaati dan diamalkan.

Barangsiapa yang menyimpang dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta mengabaikan perintah dan larangan-Nya akan memperoleh adzab. Allah Yang Maha Adil berkuasa memasukkan menusia ke dalam Surga atau Neraka, tergantung dari amal perbuatan mereka. Bila ada yang dimasukkan-Nya ke dalam Neraka maka halitu adalah berdasarkan keadilan-Nya, Dia sekali-kali tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya.

Perintah dan larangan Allah kepada manusia pada hakikatnya adalah demi kemashlahatan menusia itu sendiri. Kendatipun demikian, masih ada saja di antara manusia yang mengabaikan peringatan dan ancaman Allah itu. Maka sudah selayaknya bila Allah menimpakan hukuman akibat perbuatan mereka.

Di antara sekian banyak larangan Allah yang harus dijatuhi dan haram dikerjakan ialah:

Durhaka kepada Kedua Orang Tua

Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menrengkan kewajiban berbakti kepada orang tua. Hal ini menunjukkan betapa agungnya hak mereka dan haram mendurhakai mereka. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janagnlah sekali-kali kamumengucapkan ‘Ah’ dan janganlah kamu membentakmereka, akan tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan kasih saying, serta ucapkan: ‘wahai rabbku kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah mendidik aku di waktu kecil.’” (al-Isra’: 23-24)

Berdasarkan ayat di atas, ayah dan ibu adalah orang yang wajib ditaati sesudah Allah dan Rasul-Nya. Kebaikan mereka, khususnya ibu kepada anaknya, tidak dapat dinilai dengan materi. Ibu mengandungnya dengan susah payah, kemudian melahirkannya juga dengan susah payah dan terkadang harus berhadapan dengan maut, menyusui dalam masa berbulan-bulan, bekerja siang dan malam bahkan terkadang harus bengun di tengah malam demi menemani anaknya yang sakit pada saat manusia sedang tidur nyenyak.

Kedua orang tua merasa bertanggungjawab memelhara, mendidik, dan mencari nafkah untuk anak-anak mereka. Mereka pun akan merasa gembira ketika anaknya mendapatkan kesenangan, dan menangis serta bersedih bila si anak mendapatklan musibah. Kedua orang tua selalu memikirkan kabahagiaan masa depan si anak.

Kalaupun ada orang tua yang buruk akhlaknya, maka mereka tidak ingin anaknya rusak seperti keadaan mereka. Mereka pun tetap berharap agar anak-anak mereka menjadi anak yang shalih. Hal ini merupakan fitrah manusia.

Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan kepada setiap anak agar:

*

Berbuat baik kepada kedua orang tua
*

Bersyukur kepada Allah dan kepada mereka
*

Berlaku lemah lembut kepada mereka
*

Berkata perkataan yang baik dan penuh hormat
*

Mendo’akan keduanya

Perlu diingat bahwa ketaatan kepada orang tua tidak boleh dalam hal-hal yang bertentangan dengan syari’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan,

“Tidak boleh seseorang taat kepada siapapun (makhluk) dalam hal berbuat maksiat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 5/66, Hakim)

Jadi gambaran durhaka kepada orang tua yaitu anak tidak taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf (sesuai sayari’at).

Menurut para ulama, tanda anak durhaka itu ialah:

*

Anak yang tidak mau tahu hak-hak orang tua,
*

Tiadk mau mendengar nasihat mereka bahkan menjelekkannya,
*

Anak yang tidak mau membantu orang tuanya yang miskin padahal dia mampu,
*

Berkata kasar, membentak, memukul,
*

Selalu mengeluh dan membengkit-bangkitkan pemberiannya,
*

Memaksa kedua orang tuanya agar memenuhi kebutuhan dirinya. (As-Suluk Al-Ijtima’i fil Islam, al-Kabair, Buyut La Tadkhuluhal Malaaikah)

Anak yang durhaka tidak hanya mendapatkan siksa di akhirat, akan tetapi di dunia pun dia akan mendapatkan balasan buruk sebelum mati, berupa kehinaan, kefakiran, dan ditimpa berbagai macam penyakit. (Buyut La Tadkhuluhal Malaikah, hal. 35)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Ada dua perbuatan yang Allah segerakan siksanya di dunia yaitu melewati batas-batas Allah (zalim) dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Hakim; Lihat Shaih Jami’us Shaghir, 2810)

Wanita yang Menyerupai Laki-Laki

Pada zaman sekarang sekarang ini, media massa selalu membesar-besarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dengan istilah emansipasi. Para wanita menuntut agar haknya disamakan dengan laki-laki, padahal agama Islam telah mengatur bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Firman-Nya:

“Dan laki-laki itu tidak sama dengan perempuan.” (Ali Imran: 36)

Wanita sekarang menuntut ingin sama dengan laki-laki dalam segala hal, baik dalam lapangan kerja, pakaian, hak waris, maupun dalam masalah lainnya. Akibatnya, terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Merekamulai cenderung berorientasi pada materi. Setelah kesempatan kerja terbuka luas bagi wanita, mereka menjadi senang bertabarruj (buka aurat), menampakkan perhiasan dan auratnya serta mulai memakai pakaian yang tipis dan ketat. Mereka pun senang dan terbiasa berpakaian serupadengan laki-laki. Menurut mereka, :Ini adalah tuntutan profesi (karier)!!!???” Subhanallah.

Tahukah mereka bahwa Allah dan rasul-Nya melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya? Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alalihi wasallam telah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang mwmakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Dawud, ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan Ibnu Hibban)

Dari Abdullah bin Amr radhiallallhu ‘anhu, ia berkata: aku pernah mendengar rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. Ahmad 2/199-200, Thabrani, abu Nu’man dan Bukhari dalam kitab Tarikhnya)

Dayyuts

Golongan ini adalah orang –orang yang membiarkan terjadinya kemungkaran di rumah tangganya. Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-tahrim: 6)

Para ulama salafmenjaelaskan makna jagalah dirimu dan keluargamau dari api neraka, sebagai berikut:

1.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Beramallah dengan taat kepada Allah, takut berbuat maksiat, dan perintahkan keluargamu agar ingat hokum-hukum-Nya, niscaya Dia akan menyelamatkanmu dari api neraka.”
2.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Ajarkanlah akhlak dan kebaikan budi pekerti kepada mereka.”
3.

Mujahid rahimahullah berkata: “takutlah kepda Allah dan nasihatilah keluargamu supaya bertaqwa kepada-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/412-413)

Ayat di atas mewajibkan seorang suami atau kepala rumah tangga bertanggungjawab dalam rumah tangganya. Seorang bapak atau suami merupakan orang pertama dalam rumah tangga yang harus berusaha agar rumah tangganya damai, tenteram, dan penuh rahmat Allah. Untuk itu, diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh.

Terkadang seorang bapak mempunyai cita-cita seperti itu namun salah mengambil jalan sehingga cita-citanya tidak terwujud.

Karena itu, tarbiyyah (pendidikan) dan pembinaan rumah tangga harus mendapatkan priorotas utama. Seorang bapak harus berupaya membina isteri, anak, dan keluarga yang terdekat semisal mengingatkan mereka untuk shalat.

Jika seorang bapak atau suami bersikap diam dan merasa aman terhadap isteri dan anaknya yang sudah terperangkap dalam adat jahiliyah, atau telah melanggar syari’at Islam, maka suami atau bapak seperti inilah yang dinamakan dayyuts.

Sikap suami yang membiarkan isteri dan anaknya berbuat kejelekan dalam rumah tangganya sangat berbahaya. Ia membiarkan anak dan isterinya meninggalkan shalat, membiarkan mereka mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram. Ia menganggap baik perbuatan keji, zina beserta sarana yang membawa kepada zina. Ia tidak merasa cemburu pada perbuatan isteri dan anak-anaknya, bahkan ia membiarkan mereka berbuat maksiat. Maka, kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat.

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketauhilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin atas rakyatnya dan bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang perempuan juga pemimpin bagi rumah suami dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas itu semua, seorang hamba sahaya bertanggung jawab terhadap harta tuannya.” (HR. Bukhari, Muslim, ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.)

[Disadur dari tulisan Ust. Yazid di Majalah Salafy edisi …i dengan beberapa perubahan seperlunya –red]

((Disalin dari Buletin Dakwah al-Manar, Nomor: 11/ Th. I Mei 2001 M/ Shafar 1422 H, diterbitkan oleh Yayasan Al-Ittiba’ al-Islamy, Palembang))

i Tulisan dari sumbernya (bulletin) tidak jelas - pengutip

Rabu, 28 April 2010

AL - HAJJAJ BIN YUSUF ( 661 - 714 M )

AL - HAJJAJ BIN YUSUF ( 661 - 714 M )

Al – Hajjaj merupakan salah seorang praktisi administrasi yang paling ulung dalam sejarah. Perannya sangat besar dalam menjaga daulah Umawiyah ketika terjadi pergolakan dahsyat yang mengancam dari segala penjuru. Dialah pendiri kota wasith, yang terletak antara kuffah dan basrah. Kota itu ia adikan tempat tinggal karena letaknya yang strategis; terutama jika diihat dari kota – kota yang ada di irak. Dia pula yang ppertama kali membuat Mu’jam Al – Quran dan menemukan peletakan titik untuk huruf – huruf dalam bahasa arab. Meskipun jasa begitu besar, hamper tidak ada orang arab pada jaman dulu ataupun pada jaman modern mengingatnya. Dia hanya dikenal sebagai orang yang keras dan kejam terhadap musuh keturunan dinasti bani umayah.

Kehidupun politik dan militernya bermulai sejak dia memadamkan pergolakan yang dipimpin oleh Abdullah bin jubayr yang telah menguasai seluruh hijaj, dan menempatkan pusat kekuasaannya di kota mekah, dengan pertimbangan, tidak akan ada bala tentara musuh yang berani menodai kesucian dan kehormatan kota tersebut. Akan tetapi al Hajjaj memeranginya dengan melempari bom – bom Molotov yang dapat memorak porandakan orang – orang dekat Ibn Al – Zubayr, pada tahu 692 H. Abdul malik Bin Marwan memberi imbalan jasa kepadanya dengan mengangkatnya sebagai gubernur untuk dua wilayah yang lain, yaitu Yaman dan Yamanah. Hanya dalam jangka waktu dua tahun dia dapat memulihkan keamanan di wilayah tersebut untuk mengaturnya setelah beberapa tahun dilanda berbagai pergolakan politik. Setelah itu dia juga diserahi tugas yang sangat berbahaya oleh Abdul Malik, yaitu menjadi gubernur Irak. Dia menerima tawaran itu dan menyampaikan sebuat Khotbahnya yang sangat terkenal dalam sejarah Islam.
Tugas penting yang diemban oleh Al -Hajjaj di Irak sangat sulit. Hati orang Irak telah mengeras akibat peperangan yang cukup panjang, karena perselisihan pendapat mengenai masalah Kekhalifahan. Di Kuffah sedang terjadi pergolakan dan keguncangan politik yang dikobarkan oleh Mukhtar Al – Tsaqafi yang membuat kekacauan di kota itu. Orang – orang Khawarij yang bersenjata pun masih menghadangnya dipintu masuk kota Basrah. Pada saat yang sama muncul kelompok baru diantara mereka, yaitu al – azariqah, dibawah pimpinan Quthriy bin al – Fuja‘ah. Kelompok itu mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, bahkan menghalalkan darah istri dan anak – anaknya ; Akhirnya tentara Al – Hajjaj melakukan penyerbuan ke jantung kota Karman di Persia, dan membunuh Quthriy pada tahu 696 M. setelah itu muncul pemimpin Khawarij yang lain, yang bernama Syabib al – Syaibani yang selam dua tahun menggempur Irak dari kota moshul. Akan tetapi, gempuran kelompok itu dihadang oleh tentara Al – hajjaj. Tentara Al – Hajjaj berhasil menumpas pemberontak dan menenggelamkan Syabib di sungai Tigris.
Setelah berhasil menumpas para pemberontak di Provinsi Karman, al – Hajjaj mengirimkan pasukan bersenjata lengkap dan canggih untuk ukuran saat itu, untuk menundukan wilayah Sijistan, Negara tetangganya yang dia rebut dari tangan penguasa Turki, kemudian dia mengangkat Abdulrahman bin al – asy’ats sebagai komandan pasukan perangnya. Namun al – asy’ats menghianatinya dan melakukan desersi kepada Turki, kemudian bala tentaranya berbalik menyerang pasukan al – hajjaj. Ketika al – Hajjaj berhasil mumukul mundur pasukannya, al – asy’ats kembali ke Kuffah. Setelah itu pergolakan tidak kunjung padam sampai akhirnya Abdul Malik mengirimkan pasukan yang menghancurkannya di Dir al – jamajim, dan dia terbunuh pada tahun 704 M.
Kesuksesan Al – Hajjaj terletak pada ketegasannya dalam menangani suatu urusan, dan keberhasilnya memadamkan berbagai pergolakan di Irak. Oleh karena itulah sebelum Abdul Malik Meninggal Dunia pada tahun 705 M dia memberikan wasiat kepada anaknya, al – Walid untuk tetap mengandalkan kekuatan ditangan al – hajjaj, dan menyerahkan segala urusan kepadanya. Pada hakikatnya pada masa al – walid, al – hajjaj mulai merasakan hasil kerja keras dan penuh tantangan yang dilakukannya pada masa khalifah – khalifah sebelumnya. Khalifah yang baru sangat merasa berutang budi atas kerja keras yang telah dilakukan oleh orang ini. Al – hajjaj telah menjaga satu – satunya imperium Islam. Al – Hajjaj tetap disanjung dan ditempatkan secara terhormat pada masa kekhalifahan Al – Walid. Berkat jasa al – hajjaj lah pemberontakan ibn al – asy’ats dapat dipadamkan. Dia benar – benar berjuang secara tulus untuk memakmurkan Negara yang telah porak poranda dilanda pergolakan selama dua puluh tahun tanpa putus putusnya.
Pekerjaan pertama yang dilakukannya untuk memakmurkan Negara ialah membangun parit – parit yang mengalirkan air sungai tigris dan Euphrat ke seluruh pelosok negeri dan mengawasi pembangunannya. Dia juga melakukan perbaikan – perbaikan bendungan – bendungan untuk menghidupkan tanah – tanah pertanian agar tidak berubah menjadi gurun pasir yang tandus.



Di samping itu al – hajjaj juga menganjurkan perpindahan desa ke kota besar dan menciptakan iklimperdagangan yang didasarkan atas keperacayaan. Dia juga menciptakan system keuangan, timbangan, dan takaran. Selain itu dia juga menciptakan suasana aman, damai, teratur yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

PENILAIAN BERBASIS KELAS

A. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) adalah penilaian yang dilakukan oleh guru dalam rangka proses pembelajaran. PBK merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan ( standar komptensi, komptensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar). Penilaian Berbasis Kelas merupakan prinsip, sasaran yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang jelas mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. maksudnya adalah hasil Penilaian Berbasis Kelas dapat menggambarkan kompetensi, keterampilan dan kemajuan siswa selama di kelas.
Depdiknas (2002), menjelaskan bahwa Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam kurikulum berbasis kompetensi. PBK itu sendiri pada dasarnya merupakan kegiatan penilaian yang dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pen). Fokus penilaian diarahkan pada penguasaan kompetensi dan hasil belajar siswa sesuai dengan level pencapaian prestasi siswa.
B. Manfaat, Keunggulan dan Prinsip Penilaian Berbasis Kelas.
1) Hasil Penilaian Berbasis Kelas bermanfaat untuk :
1. Umpan balik bagi siswa dalam mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya.
2. Memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remidiasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya.
3. Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas.
4. Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda.
2) Keunggulan Penilaian Berbasis Kelas adalah
1. Pengumpulan informasi kemajuan belajar baik formal maupun non formal diadakan secara terpadu, dalam suasana yang menyenangkan, serta senantiasa memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, dipahami dan mampu dikerjakan siswa.
2. Pencapaian hasil belajar siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok (norm reference assessment), tetapi dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya kriteria pencapaian kompetensi, standar pencapaian, dan level pencapaian nasional, dalam rangka membantu anak mencapai apa yang ingin dicapai bukan untuk menghakiminya.
3. Pengumpulan informasi menggunakan berbagai cara, agar kemajuan belajar siswa dapat terdeteksi secara lengkap.
4. Siswa perlu dituntut agar dapat mengeksplorasi dan memotivasi diri untuk mengerahkan semua potensi dalam menanggapi, mengatasi semua masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri, bukan sekedar melatih siswa memilih jawaban yang tersedia.
5. Untuk menentukan ada tidaknya kemajuan belajar dan perlu tidaknya bantuan secara berencana, bertahap dan berkesinambungan, berdasarkan fakta dan bukti yang cukup akurat.
3) Prinsip-prinsip Penilaian Berbasis Kelas
1. Valid, penilaian memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar siswa.
2. Mendidik, penilaian harus memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian belajar siswa.
3. Berorientasi pada kompetensi, penilaian harus menilai pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
4. Adil, penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
5. Terbuka, kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka bagi semua pihak.
6. Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya. (Depdiknas, 2002).
C. Ranah Kognitif, Ranah Afektif dan Ranah Psikomotor sebagai Objek Evaluasi Hasil Belajar.
1. 1. Ranah Kognitif.
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom dalam Sudijono (2003:49) segala upaya yang menyangkut aktifitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat 6 (enam) jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang yang terendah sampai jenjang yang paling tinggi, yaitu : (a) Pengetahuan (Knowledge), (b) Pemahaman (Comprehension), (c) Penerapan (Application), (d) Analisis (Analysis. (e) Sintesis (Syntesis), dan (f) Penilaian/penghargaan (Evaluation). Keenam jenjang berpikir ranah kognitif ini bersifat kontinum dan everlap (tumpang tindih), dimana ranah yang lebih tinggi meliputi semua ranah yang ada di bawahnya.
1. 2. Ranah Afektif.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar menyatakan bhwa sukap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif ditaksonomi menjadi lebih rinci ke dalam 5 (lima) jenjang, yaitu: (a) Menerima atau memperhatikan (Receiving/Attending), (b) menanggapi (Responding), (c) menilai (Valuing). (d) menilai atau menghargai, (e) mengatur (Organization),
3. Ranah Psikomotor.
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.
D. Strategi Penilaian Berbasis Kelas.
Sekalipun tidak selalu sama, namun pada umumnya para pakar dalam bidang evaluasi/ penilaian pendidikan merinci kegiatan evaluasi hasil belajar ke dalam 6 (enam) langkah pokok, yakni:
1. Menyusun Rencana Evaluasi Hasil Belajar.
Sebelum evaluasi hasil belajar dilaksanakan, harus disusun lebih dahulu perencanaannya secara baik dan matang. Perencanaan evaluasi hasil belajar itu umumnya oleh Sudijono (2003:59) mencakup enam jenis kegiatan, yakni: (a) Merumuskan tujuan dilaksanakannya evaluasi. (b) menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi, (c) memilih dan menentukan teknik yang akan dipergunakan di dalam pelaksanaan evaluasi, (d) Menyusun alat-alat pengukur dan penilaian hasil belajar peserta didik, (e) Menentukan tolak ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau patokan dalam memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi dan (f) Menentukan frekuensi dari kegiatan evaluasi hasil belajar itu sendiri (kapan dan seberapa kali evaluasi hasil belajar itu akan dilaksanakan).
2. Menghimpun Data.
Dalam evaluasi hasil belajar, wujud nyata dari kegiatan menghimpun data adalah melaksanakan pengukuran, misalnya dengan menyelenggarakan tes hasil belajar (apabila evaluasi hasil belajar itu menggunakan teknik tes), atau melakukan pengamatan, wawancara, atau angket dengan menggunakan instrumen-instrumen tertentu berupa rating scale, check list, interview guide, atau questionnaire (apabila evaluasi hasil belajar menggunakan teknis non tes).
3. Melakukan Verifikasi Data.
Data yang telah berhasil dihimpun harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Proses penyaringan itu dikenal dengan istilah penelitian data atau verifikasi data. Verifikasi data dimaksudkan untuk dapat memisahkan data yang “baik” (yaitu data yang dapat memperjelas gambaran yang akan diperoleh mengenai diri individu atau sekelompok individu yang sedang dievaluasi) dari data yang “kurang baik” (yaitu data yang akan menguburkan gambaran yang akan diperoleh apabila data itu ikut serta diolah).
4. Mengolah dan Menganalisis Data.
Mengolah dan menganalisis hasil evaluasi dilakukan dengan maksud untuk memberikan makna terhadap data yang telah berhasil dihimpun dalam kegiatan evaluasi. Untuk keperluan itu, maka data hasil evaluasi perlu disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga “dapat berbicara”. Dalam menggolah dan menganalisis data hasil evaluasi itu dapat dipergunakan teknik statistik dan atau teknik non statistik, tergantung kepada jenis data yang akan diolah atau dianalisis. Dengan analisis statistic misalnya, penyusunan atau pengaturan dan penyajian data lewat tabel-tabel, grafik, atau diagram, perhitungan-perhitungan rata-rata, standar deviasi, pengukuran korelasi, uji benda mean, atau uji benda frekuensi dan sebagainya akan dapat menghasilkan informasi-informasi yang lebih lengkap dan amat berharga.
5. Memberikan Interpretasi dan Menarik Kesimpulan.
Memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi belajar pada hakikatnya adalah merupakan verbalisasi dari makna yang terkandung dalam data yang telah mengalami pengolahan dan penganalisisan itu. Atas dasar interpretasi terhadap data hasil evaluasi itu pada akhirnya dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan tertentu. Kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi itu sudah barang tentu harus mengacu kepada tujuan dilakukannya evaluasi itu sendiri.
6. Tindak Lanjut Hasil Evaluasi.
Bertitik tolak dari hasil evaluasi yang telah disusun, diatur, diolah, dianalisis dan disimpulkan sehingga dapat diketahui apa makna yang terkandung di dalamnya, maka pada akhirnya evaluator akan mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang dipandang perlu sebagai tindak lanjut dari kegiatan hasil evaluasi tersebut. Harus senantiasa diingat bahwa setiap kegiatan evaluasi menuntut adanya tindak lanjut yang konkrit. Tanpa diikuti oleh tindak lanjut yang konkrit, maka pekerjaan evaluasi itu hanya akan sampai kepada pernyataan, yang menyatakan bahwa; “saya tahu, bahwa begini dan itu begitu”. Apabila hal seperti itu terjadi, maka kegiatan evaluasi itu sebenarnya tidak banyak membawa manfaat bagi evaluator.
E. Pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas dalam Proses Pembelajaran.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari diri individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.
Dalam pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup 3 (tiga) tahapan yang dalam 3 (tiga) tahapan tersebut dapat dilakukan penilaian kelas. Tiga tahapan dimaksud, antara lain: (1) Pretest (tes awal). (2) Proses Pembelajaran. (3) Postest (tes akhir).
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Depdiknas, 2002. Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Hasan Chalijah, 1994. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Penerbit : Al-Ikhlas Surabaya
Soetopo H, 2002 : Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran PLH. Makalah disampaikan Pada seminar Nasional ‘ Pengembangan Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang Diselenggarakan Oleh Proyek PKLH Ditjen Dikdasmen Depdiknas Jakarta 20 agustus 2002.
Sudijono, Anas, 2003. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Thoha, M. Chabib, 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidkan Nasional (SISDIKNAS). Penerbit : CITRA UMBARA Bandung