Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Jumat, 30 April 2010

FIGUR MUROBBI TELADAN

Makalah ini disadur dari Kitab “Mamarratul haq”, Juz a dan ba, lissyaikh Ra’id Abdul hady.

FIGUR MURABBI TELADAN

Pernahkah anda mengalami suatu saaat ketika anda membuka mushaf dan anda mulai membaca al-qur’an kemudian anak-anak anda datang mendekati anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan?, Pernahkah anda mendapatkan Mutarabbi anda mengerjakan shaum sunnah padahal anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya ataau menginstruksikannya ?, hal tersebut dilakukan oleh Mutarabbi anda hanya karena ia mendaapatkan anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah anda mengalami khadimat anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga anda, mulai terbiaasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau paada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah?, padahal isteri anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-nur maupun Al-ahzab.

Itulah buah dari keteladanan, ketealadaanan adalah cara berda’wah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata, bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan, sebagaimaana adagium mengaatakan : “Lisaanul hal afshohu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerjaa lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain ketelaadanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya , tegaknya dan lain sebagainya, sebagaimana pepatah mengataakan : “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.

Oleh karena itu penting bagi kita para Murabiyyin untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan, agar keteladanaan kita memberikan keberkahan bagi perkembangan da’wah dan peningkatan kwalitas maupun kwantitas para Mutarabbi yang kita bina . Untuk memudahkan kita mencontoh hal-hal yaang baik yang sepatutnya disikapi oleh seoarang figur Murabbi, maka melalui makalah ini kita akan berinteraksi dengan beeberapa tokoh yang tercatat sebagai figur murabbi teladan dalam sejarah, dengan menampilak “Suratun Hayawiyyah” atau gambaran kehidupan mereka khusunya dalam melaakukan aktifitas pentarbiyahan.

Secara runtut sesuai dengan urutan zamannya , kita akan mulai membahas keteladanan figur murabbi dari “Murabbi hadzihil ummah”, yaitu Rosululloh SAW, kemudian kita telusuri keteladanan figur murabbi para Sahaabatnya, para tabi’in ,ualam salaafusslaih hingga para Masayikh da’wah di zaman kita sekarang ini. “Aina nahnu minhum”, kita sungguh tidak ada apa-apanya dibaanding mereka bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka, itulah satu perasaan yang akan terlintas pada benak kita ketika kita mengetahui keteladaanaan mereeka sebagai murabbi, akan tetapi kita dinasehati oleh satu pepatah : “Tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun”, Teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani oranorang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rosululloh SAW

Sebagai Murobbi Rosululloh SAW selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang telah direkomendasikan di dalam Al-Qur’an, bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan diantaranya adalah : “Qoulan Layyinan” ( 20 : 44 ), “Qoulan Maysuran” ( 17 : 28 ), “Qoulan Ma’rufan” ( 32 : 32 ), “Qoulan Balighan” ( 4 : 63 ), “Qoulan sadidan” ( 4 : 9 ), dan “Qoulan kariman” ( 33 : 31 ).

Sebagai Murabbi Rosululloh SAW, tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata , apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy RA, Ia berkata : “Nabi SAW telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat, setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Rosululloh SAW seraya berkata : “ini hasil dari tugas saya , saya serahkan kepada mu, dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya”, lalu Rosululloh SAW segera naik ke atas mimbar, setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Alloh SWT beliau berkhutbah seraya berkata : “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antaara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Alloh SWT kepadaku, lalu ia datang dan berkata : “ini untuk engkau dan yang hadiah untukku, jika orang itu benar , mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya, demi Alloh tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Alloh SWT membawa barang yang bukan menjadi haknya “, lalu Rosululloh SAW mengangkat keduabelah tangannya hingga tampak ketiaknya, seraya berkata : “Ya Alloh, telah aku sampaikan” 3 x ( HR. Bukhari – Muslim )

Rosululloh juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya, sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi, hal ini dapat dilihat dari gambaran dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan beliau sebagaimana yang telah diriwayatkaan sendiri olehnya : “Aku pernah keluar bersama rosululloh SAW pada peperangan Dzatirriqo’, aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya, sehingga aku tertinggal jauh dari rosululloh SAW, kemudian Rosululloh SAW menemuiku seraya berkata : “ Kenapa engkau hai, Jabir “ “Ontaku Ya Rosulalloh…,jalannya lamban sekali” balasku. Kemudian Rosulluooh berkata lagi : “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu”, lalu aku berikan kepadanya dan beliaupun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya, lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu, demi Alloh tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat”. Kemudian obrolan berlanjut , Rosululloh SAW bertanya kepadaku : “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?”, “sudah ya rosulalloh” jawabku, “dengan janda atau gadis”?, tanya beliau lagi, “dengan janda ya Rosul” tegasku, “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat “mempermainkannya” dan ia dapat “mempermainkanmu”?, baalas rosululloh SAW dengan nada bertanya, lalu aku menjelaskan : “Ya Rasululloh sesungguhnya ayahku meninggal pada perang Uhud, dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang, maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat meenjadi pengasuh dan pembimbing mereka”. Kemudian Rosululloh berkata : “Engkau benar insya Alloh”.

Keteladanaan Para Sahabat RA

Dianatara paraa sahabaat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar as-Shiddiq RA, bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq, dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rosululloh SAW dalam perjalanaan hijrah ke Madinah, akan tetapi lebih dari itu karena Abu Bakar layak disebut sebagai “Murabbi hadzihil Ummah” sepeninggalnya Rosululloh SAW , beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahab!t yanG lainnya ketika mereka masih belum legowo menerim` berita wafatnya RosuLulloh SAW termasuk Umar bin khattab RA. Pada saAt itulah Abu bakar memberikan taujiHat tarbawy dengan membacakan fiPman Adloh SWT$ dalam surat Ali Imron : 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata – kata hikmahnya : “Man kaana ya’budu muhamma dan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budulloha fainnallaha hayyun laa yamuutu” (Barang siapa yang menyembah Muhammad seseungguhnya Muhammad telah tiada, tetapi Barang siapa yang menyembah Alloh SWT sesungguhnya Alloh Hidup dan tidak akan mati). Itulah keteladanan abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya Tarbiyah Aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa oleh gerakan pemurtadan (Harakatul Irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, maka lagi-lagi Abu bakar RA tampil sebagai pelopor Murabbi dalam hal ketegaasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar untuk memerangi mereka, banyak para sahabat termasuk umar bin Khattab RA masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan, maka Abu bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khusunya umar bil khattab RA seraya berkata : “ Hatta anta ya, Umar ajabbaarun fil Jahiliyah Khawwarun fil Islam ?, Wallaahi laa Yanqushuddinu wa anaa Hayyun, Lau mana’uuni ‘Uqqoolu ba’iirin yuadduunahi ila Rosuulillah lahaarobtuhu hatta tansalifa saalifaty” ( sampai engaku juga Ya Umar, apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa islam ?, Demi Alloh tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama akau masih hidup, Walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali unta yang harus diberikan kepada Rasululloh, maka tetap akan ku pernagi mereka sampaai urat leherku terputus”).

Bahkan keteladan Abu bakar sebagai Murabbi bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkrit, agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain, sebagaiman terjadi pada saat sebagian besar para sahabat (Kibaarusshahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rosululloh SAW sebelum wafatnya, dan abu bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rosululloh SAW, seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan meenuntun kudanya saampai perbatasan, sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara Ia berada diatas kudanya, lalu usamah menawarkaan agar ia turun Abu Bakar saja yang naik kuda, lalu abu bakar berkata : “Wallohi maa rokibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah” ( Demi Alloh, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun, biarkanlah kakiku bersimbah debu di jan Alloh )

Keteladanan Ulama Salafusshalih

Salah satu di antara mereka dadalah Atho bin abi Rabaah Rahimahulloh, yang memimpin halaaqah besar di masjidil haram, dimana Sulaiman bin abdil malik yang menjadi Khalifah pada saat itu juga sering menghadiri halaqohnya, Athu bin abi Rabah adalah seorang habsyi (Negro) yang pernah menjadi budak dari salah seorang wanita penduduk kota mekkah, lalu ia dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabah sebagai Murabbi adalaah kelembutannya dan ketajaaman nasehatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang, sebagaimana yang dikisahkan oleh Muhammad bin suqoh Salah seorang Ulama Kufah , bahwa suatu ketika atho bin abi rabah menasehatinya : “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan”, “lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan”? tanyaku, beliau melanjutkan nasehatnya seraya beerkata : “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih, bila dilaakukan selain dari Al-qur’an yang dibacaa dan difaahami, atau hadits rosululloh yang diriwayatkan, atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar, atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah”, kemudian beliau mengarahkan paandangannya kepada ku seraya berkata : “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kirooman kaatibiin) (Al-infithar : 10 – 11), wa anna m’a kullin minkum malakaini (‘Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) ( Qaf : 17 – 18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu”.

Kapabilitas takwiniyah Atha bin Abi rabah dalaam mentarbiyah bukan hanya kepaada kaalangan pembesar dan terpelajar tapi sampai seorang tukang cukur, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah : “Aku mel;akukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seoramng tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram, aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya :”berapa harganya”?, “semoga Alloh menunjukimu, ibadah tidak mensaratkan soal harga, duduk sajalah dulu, soal harga gampang” jawab tukang cukur, waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahklan duduku hingga menghadap kiblat, kemudian meenunjukan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kana, ketika aku dicukur ia melihaatku diam saja, lalu ia menegurku : “Kenapa koq diam saja, ayo perbanyaklah takbir”, maka akupun bertakbir, setelah selesai aku hendak langsung pergi, lalu ia berkata : “mau kemana kamu”?, “aku mau ke kendaraanku” jawabku, tukang cukur itu mencegahku seraya berkata : “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka” , Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalu bukan dia orang alim, lalu aku berkata kepadanya : “Dariman engkau dapati mengenai bebrapa manasik yang kau perintahkan kepadaku’?, Demi alloh aku melihat Atha bin abi rabah mempratekan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya”, jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar misalnya, akan tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat, sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi, hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang diantara mereka : “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna” ( Tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar ).

Adalah Said ibnul Musayyib rahimahulloh, juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para Murabbiyyiin, beliau memimpin halaqoh yang cukup besar di Masjid nabawi, di samping beliau juga terdapat halaqohnya ‘Urwah bin Zubair, dan abdulloh bin ‘Utbah rahimahumalloh, Said ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah, suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak datang halaqoh, tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya yang sudah mustawa qowy ini, beliau kahawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya, lalu beliau juga bertanya kepada ikhwah yang lainnya juga tidak ada yang tahu, akan tetapi bebrapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah, datang kembali sebagaimana biasa, maka sang Murabbi teladan said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian seraya berkata : “kemana saja engkau ya, aba wada’ah”?, “Isteriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah issterimu serta membantu segala keperluanmu” tanya Said kembali. “Jazaakallahu kahairan” jawab abu wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbynya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya seraya berkata : “Apakah engkau belum terpikir untu mencari isteri yang baru ya Aba Wada’ah”, “Yarhamukalloh, siapa orangnya yaang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap waqi’ terhadap keadaan dirinya, “aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku” tegas said, seraya terbata-bata Abu Wada’ah berucap : “ Eng,…engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku”, “Ya,…kenapa tidak, karena kami jika seudah kedataangan seseorang yang kami ridho terhadap agamanya dan akhlaknya maka kami kawinkan orang iyu, dan engkau termasuk orang yang kami ridhoi” jawab Said meyakinkan mutarabbinya. Lalu dipanggilnyalah ikhwah yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikahnya dengan mahar sebanyak dua dirham, Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu haruh berkata apa, antara kaget daan girang, ia pulang menuju rumahnya sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum, karena di tengah perjalaanan ia terus berfikir darimana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa?, tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghribpun tiba, lalu ia berbuka dengan sepotong roti, baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu, “siapa yang mengetuk pintu”, tanyanya dari dalam rumah, “Said” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya, setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya, Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang Murabbi seraya berkata : “Ya, aba Muhammad mengapa tidak kau untus sesorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu”, “Tidak engkau lebih barhak aku datangi hari ini”, setelah dipersilahkan masuk Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya seraya berkata : “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan sari’at alloh SWT sejak tadi pagi, dan aku tahu tidak ada seorangpun yang menemanimu, menghiburmu dan melipu kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini disuatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain, maka sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu” , lalu said menoleh kee arah puterinya seraya berkata : “masuklah engkau ke rumah suamimu wahai puteriku, dengan menyebut asma alloh dan memohon barokahNYA”, masuklah anak perempuan said , dan ketika melangkahkan kakiny nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hampir jatuh hampir jatuh terpeleset karaana saking malunya, “sedang aku juga Cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa” kata abu wada’ah mengenang kejadian itu, tapai kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah untuk mamanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul malik bin Marwan Khalifah bani uamayyah yang ingin meminang putrinya, malah beliau segara meengawinkan putrinya dengan Abu Wada’ah mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Subhanalloh,… ada ‘ngga ya, Murabbi seperti Said bin Musayyib rahimahulloh di zaman sekarang ini?, kalau ada alhamdulillah, kalau belum ada mudah-mudahaan selepas dauroh murabbi ini ada yaang berusaha meneladaninya. Amin Ya robbal alamin.

Lain lagi kisahnya dengan Imam abu hanifah, atau dikenal dengan nam nu’man bin tsabit rahimahulloh, beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang, berseri-seri, dalam penegtahuannya, manis tuturkatanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian, jika beliau datang ke majlisnya, maka semua orang yang ada disitu sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya.

Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai Murabbi yang dermawan, karena beliau juga dikenal sebagaai seoarang saudagar, tepatnya sebagai pedagang pakaian, kain dan sutera, beliaau berkeliling dari kota satu ke kota lainnya di wuilayah irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ketempat jualannya, ia minta dicarikan baju, lalu belaaiu mencarinya, sesuai dengan warna yang dimintanya lalu diberikan kepadanya, “berapa harganya ?”, tanya sang murid, “sedirham” jawab Imam, “satu dirham” tegas sang murid lagi penasaran dan campur heran kok murah banget, “ya, segitu”, tegasnya lagi, “yang bener nih…” kata muridnya lagi, “Aku tidak main-main, aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak, yang satu aku sudah jual dengan harga duapuluh dinar emas, sedang yang siasanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham, aku memang tidak mau mangambil untung terhadap murid-muridku”.

Suatu ketika Imam abu hanifah melahat salah seorang mutarabbinyaberpakaian lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang, setelah yang lainnya keluar dari majlis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majlis itu selain Imam abu hanifah dengan mutarabbinya tersebut, lalu beliau berkata kepadanya, “angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di bawahnya”, setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham, “ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu’ tegas imam abu Hanifah, lalu kata orang itu : “Aku sudah cukup, Alloh telah melimpahkan nikmatnya kepadaku, aku tidak membutuhkan uang ini”. Dengan cerdasnya imam abu hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu : “Jika memang benar-benar telah melimpahkan ni’matnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatanNYA itu, bukankah rosululloh SAW bersabda : “Innalloha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi” (sesungguhnya alloh SWT senang melihat bukti keni;matannya pada hambanya), karena itu sudah sepantasnya engkaumemperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu”.

Itulah beberapa keteladan Ulam salafussalih dalm mentyarbiyah para mutarabbinya, Wallohu ‘alamu bisshawaab.

Keteladanan Masyaikh Da’wah kita

Imam As-syahid Hasan al-banna, figur murabbi yang satu ini sudah barang tentu tidak asing bagi kita, juga bagi seluruh aktifis da’wah dan harakah islamiyah di mana saja berada. Adalah pantas bila beliau merupakan salah seorang sosok figur murabbi teladan abad 20.

Keteladanan Imam Hasan al-banna dapat disimpulkan dari pendekatan da’wahnya ke berbagai lapisan masyarakat, prinsip-prinsip pendekatan da’wah yang diisyaratkan dalam hadits rosululloh SAW seperti : “khoothibinnaasa ‘alaa qodri ‘uqulihim”, “khotibinnaasa ‘ala lughati qaumihim” (Ajaklah berbicara kaummu sesuai dengan kemampuan akal mereka, ajaklah berbicara kaummu sesuai dengan gaya bahaasa mereka). Tampak sekali hal ini dilakukan oleh beliau dalam menyemai benih-benih tarbiyah di tengah-tengah masyarakatnya.

Ketika beliau menetap di ismailiyah, yang terkenal sebagai kota pelabuhan, di mana banyak buruh-buruh pelabuhan menghabiskan waktu malamnya dengan nongkrong di kedai-kedai kopi, dari sinilah beliau memulai da’wahnya, beliau mengadakan pendekatan yang sangat hati-hati dan perlahan, beliau menyampaikan hal-hal yang bersifat umum seperti ingat kepada alloh dan hari akherat, tidak konfrontatif, penyampaian da’wah dikemas dengan sederhana, diselingi dengan bahasa ‘amiyah (pasaran), diselingi dengan cerita dan ilustrasi, dan lamanya hanya sepuluh menit atau paling laama seperempat jam.

Tidak ada komentar: