Daun jarak
Brotowali
Biji mahoni
Syammahfuz Chazali: Juara Global Social Venture Competition yang Mengolah Kotoran Sapi Menjadi Batu Bata & Gerabah
Oktober 27, 2010
tags: Universitas Gadjah Mada, UGM, Syammahfuz Chazali, Global Social Venture Competition, bata tlethong sapi, Syam, Prasetiya Mulya Business School, batu bata dari kotoran sapi, gerabah dari kotoran sapi, batu bata lego, Wusana Bayu Pamungkas, Irawan Nurcahyo, tim Faerumnesia, wirausahawan muda terbaik versi Bank Mandiri, Indri Yuni Handayani, Marselina, Fika Nurfitriyana, Teuku Winnetou, Erma Melina Sarahwati, Yusuf Aria Putera
oleh indonesiaproud
Kotoran yang merupakan limbah hasil metabolisme hewan ternak seperti sapi ternyata masih berdaya guna dan dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia.
Apabila umumnya orang menganggap tlethong sapi (tlethong merupakan bahasa Jawa yang berarti kotoran) sebagai sesuatu yang menjijikkan dan tidak berguna, Syammahfuz Chazali, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, justru kebalikannya.
Syammahfuz yang kerap disapa Syam, bersama beberapa koleganya, berhasil meracik kotoran sapi sebagai bahan dasar batu bata dan gerabah. Dia mengaku inovasi tersebut telah dirintis sejak 2006, dan kini dirinya tengah berusaha serius membangun bisnis batu bata dan gerabah berbahan kotoran sapi tersebut. Harapan Syam memang bukan mustahil terwujud.
Pasalnya, inovasinya itu telah diapresiasi banyak pihak. Salah satu penghargaan paling bergengsi yang diperolehnya ialah juara pertama kompetisi business plan tingkat dunia yang bertema Global Social Venture Competition (GSVC) yang berlangsung dari 23 hingga 25 April 2009 di University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS) itu, Syam bersama 6 mahasiswa Prasetiya Mulya Business School mengajukan proyek penelitian dan pengelolaan kotoran sapi sebagai bahan baku pembuatan batu bata.
“Kini, seorang pengusaha dari Rusia menawari saya untuk membuat batu bata berbahan kotoran sapi itu menjadi produksi massal di sana. Namun, tawaran itu masih saya pikir-pikir karena saya berusaha untuk membuatnya di Indonesia terlebih dulu,” kata pria kelahiran Medan, 5 November 1984 ini.
Memang, batu bata berbahan kotoran sapi yang dikembangkan Syam itu sampai saat ini belum diproduksi massal karena terkendala masalah permodalan. Padahal, jika dilihat dari harga, produk bata bata dari kotoran sapi itu lebih murah dibandingkan dengan bata bata dari tanah liat.
Syam mengatakan harga batu bata hasil inovasinya hanya 280 rupiah per buah, sedangkan harga batu bata dari tanah liat paling murah 500 rupiah per buah. “Harga batu bata yang saya buat lebih murah karena bahannya berasal dari limbah,” ujar dia.
Selain harganya yang lebih murah, bata tlethong sapi sangat menguntungkan peternak. Pasalnya, para peternak dapat menjual kotoran sapi kepada Syam dengan harga 1.000 rupiah per kilogram. Sementara harga kotoran sapi di pasaran tidak sampai separuhnya.
Berdasarkan data, jumlah kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia mencapai sekitar 5,9 juta ton per tahun. Kebanyakan kotoran itu hanya dibuang tanpa dimanfaatkan sehingga mengotori lingkungan. Namun, dengan upaya pembuatan batu bata berbahan baku kotoran sapi yang dilakukan Syam, pencemaran lingkungan dapat diminimalisasi.
“Selain itu, proses produksi batu bata dari tanah liat bisa merusak lingkungan karena tanah dikeruk terus-menerus,” imbuh Syam.
Kelebihan lain yang dimiliki batu bata ini ialah berbobot lebih ringan 20 persen ketimbang batu bata dari tanah liat. Meski bobotnya lebih ringan, batu bata tersebut lebih kuat 20 persen dibandingkan dengan batu bata biasa. Syam mengklaim batu bata hasil inovasinya itu juga dapat mengurangi penggunaan semen hingga 60 persen.
Sebagai langkah awal pembuatan batu bata dari kotoran sapi, bahan utama dicampur cairan formula khusus. Campuran itu menghasilkan bahan yang sudah berwujud tanah liat. Setelah dicampur tanah keras dengan komposisi 80 persen berbanding 20 persen, campuran dicetak seperti batu bata biasa.
Langkah berikutnya, cetakan dikeringkan dan dibakar. Proses pembakaran biasanya menggunakan kotoran sapi sebagai bahan bakar biogas sehingga ramah lingkungan. Saat ini, Syam dan rekan-rekannya tengah berupaya pula membuat batu bata lego yang akan makin mengurangi penggunaan semen.
Nantinya, dengan adanya batu bata lego tersebut, bangunan tidak lagi mesti berbentuk persegi panjang, tetapi juga bisa dibentuk seperti halnya mainan lego. Syam mengisahkan pembuatan batu bata itu merupakan kelanjutan dari inovasi pembuatan gerabah berbahan baku kotoran sapi.
Syam bersama dua rekannya, Wusana Bayu Pamungkas dan Irawan Nurcahyo, dari Fakultas Peternakan UGM membentuk tim Faerumnesia (kotoran dari lambung sapi) untuk meneliti manfaat kotoran sapi pada 2006. Langkah pertama yang dilakukan Syam dan rekan-rekannya itu ialah mengolah kotoran sapi agar tidak berbau dan gatal.
Setelah itu, mereka bekerja sama dengan salah seorang perajin gerabah di Kasongan, Bantul, untuk membuat gerabah yang berbahan campuran kotoran sapi. “Hasilnya cukup mengejutkan. Gerabah dengan campuran kotoran sapi itu jauh lebih ringan dan kuat.”
“Saat dibakar, 90 persen bagian gerabah tidak pecah, tidak seperti gerabah pada umumnya. Selain itu, gerabah yang dihasilkan jauh lebih cemerlang dibandingkan dengan gerabah dari bahan biasa,” papar Syam. Sayangnya, Syam tidak bersedia menjelaskan secara detail komposisi bahan campuran gerabah itu.
Alasannya, saat ini dia tengah mengurusi hak paten produknya tersebut. Dia hanya menerangkan komposisi bahan pembuatan gerabah atau batu bata dari kotoran sapi, yakni 80 persen kotoran sapi dan 20 persen tanah keras. Selebihnya adalah cairan formula yang masih dirahasiakan kandungannya.
Syam mengatakan pembuatan gerabah dan batu bata berbahan baku kotoran sapi itu memerlukan waktu tiga minggu. Inovasi yang dibuat Syam dan rekan-rekannya tersebut cukup menarik perhatian masyarakat Indonesia maupun luar negeri. Buktinya, Syam mendapatkan pesanan gerabah dari Brunei Darussalam dan Belanda.
Atas prestasinya itu, pada 2008, Syam terpilih sebagai salah satu wirausahawan muda terbaik versi Bank Mandiri. Keberhasilan Syam dan rekan-rekannya dalam memproduksi gerabah yang berasal dari kotoran sapi menarik perhatian lima mahasiswa/mahasiswi program Magister Manajemen Prasetiya Mulya Business School (PMBS).
Indri Yuni Handayani, Marselina, Fika Nurfitriyana, Teuku Winnetou, Erma Melina Sarahwati, dan Yusuf Aria Putera mengajak Syam untuk bekerja sama mengembangkan inovasi lainnya, yaitu membuat batu bata dari kotoran sapi.
Syam mengatakan mereka akhirnya memilih membuat batu bata dengan pertimbangan harga gerabah lebih fluktuatif karena bergantung pada permintaan ekspor, sementara batu bata sangat dibutuhkan masyarakat dan merupakan material pokok untuk mendirikan bangunan.
“Kami sangat bangga bisa memenangkan kejuaraan GSVC, apalagi selama 10 tahun ajang itu digelar, belum pernah ada tim perguruan tinggi dari luar AS yang sukses menggondol juara pertama dan berhak atas hadiah 25 ribu dollar AS. Proposal bisnis kami dianggap visioner sekaligus ramah lingkungan,” tandas Syam.
Sumber: koran-jakarta.com, ristek, ugm
http://indonesiaproud.wordpress.com/2010/10/27/syammahfuz-chazali-juara-global-social-venture-competition-yang-mengolah-kotoran-sapi-menjadi-batu-bata-gerabah/
Mengganti BBM dan Elpiji dengan Kotoran Sapi
(Semarang)- Krisis energi tengah melanda banyak negara di dunia. Lonjakan harga BBM dunia dan kemungkinan habisnya energi yang berasal dari fosil, menjadi ancaman serius bagi dunia. Pemberitaan pun cukup gencar dilakukan. Dan, tampaknya krisis energi ini mendorong banyak orang menjadi kreatif. Yang menarik, sebuah penemuan telah dilakukan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah.
Sulit sekaligus mahalnya minyak tanah dianggap menjadi bukti nyata. Masyarakat di pelosok desa juga mulai mengeluhkannya. Beralih ke gas elpiji, rasanya terlalu mahal untuk ukuran ekonomi mereka. Kembali menggunakan kayu bakar ternyata juga mahal.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Slamet Supriyadi (44) untuk memutar otak. Dia hanyalah seorang petani asal Desa Ringgit, RT 03/RW 01, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. Jangankan sarjana, lulus SD saja tidak. Tapi nyatanya otak Slamet cukup kreatif dan patut diapresiasi.
Dia membuat rangkaian teknologi yang bisa merubah telethong (kotoran) sapi menjadi api. Hasilnya berupa biogas yang kualitasnya tidak kalah dengan elpiji yang harganya semakin melangit. Hasil terapan teknologinya itu, selain mampu mengatasi krisis energi --setidaknya untuk rumah tangganya sendiri-- sisa kotoran sapi yang sudah berubah menjadi cairan juga tetap bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Ditemui Suara Merdeka di rumahnya Selasa (8/7), Slamet mengungkapkan, usaha pembuatan biogas itu dirintis sejak tahun dua tahun lalu. ”Awalnya studi banding dulu ke Kulonprogo,” kata Slamet.
Untuk mengubah kotoran sapi menjadi biogas, teknologinya sangat sederhana. Yakni menimbun tlethong dalam jangka waktu tertentu sehingga berubah bentuk menjadi uap/gas. Sedang residu yang ditinggalkan berupa cairan akan menjadi pupuk. "Jadi manfaatnya ganda," katanya.
Teknik pengolahannya, lanjut Slamet, juga cukup sederhana. Hanya dibutuhkan satu ruangan yang agak luas untuk membuat ruangan dalam tanah (degester). Memanfaatkan sisa lahan berukuran sekitar 4 meter persegi, dibuatlah lubang sedalam sekitar satu meter. ”Agar lebih praktis, degester dibuat di dekat kandang sapi ini,” tutur Slamet sambil menunjukkan tempat yang dimaksud.
Kandang sapi diguyur air supaya mengalirkan telethong pada satu lubang yang telah disiapkan. Campuran tlethong dan air kemudian diaduk dan dimasukkan ke ruang degester utama dengan volume 4, 8 kubik. ”Dalam degester, tlethong campur air tadi akan berproses secara alamiah menjadi gas,” jelasnya.
Dari degester utama, gas dialirkan ke degester ke dua yang dibatasi dengan pintu. Dari degester ke dua, gas dialirkan melalui pipa paralon dan langsung bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Slamet mengingatkan, pada pintu degester kedua harus dibuatkan klep untuk membuang sisa gas yang tidak terpakai.
”Berapa gas yang tercipta kan tidak selalu digunakan, jadi sisanya harus dibuang. Kalau tidak, takutnya bisa meledak,” kata Slamet menambahkan semua bahan organik bisa menghasilkan gas metan dan bisa meledak.
Tekanan gas dalam pipa diukur menggunakan waterpass sederhana dari selang berisi air. ”Cara kerjanya seperti timbangan. Jika air dalam selang naik, berarti tekanan gas masih ada. Sebaliknya jika gas habis, air akan turun,” kata Slamet.
Hasil pembakaran menggunakan biogas tersebut ternyata sebanding dengan api dari gas elpiji.”Kotoran seekor sapi dalam sehari bisa menghasilkan gas untuk pengapian selama 2 jam lebih. Itu kalau ruang degesternya hanya 4,8 kubik seperti milik saya,” ujarnya.
Ditanya tentang yang dibutuhkan untuk membuat biogas tersebut, Slamet hanya tertawa ringan. ”Ibaratnya, jika dibanding membeli gas elpiji, dengan biogas ini untuk investasi selama dua tahun. Selanjutnya gratis,” ujar Slamet yang mengaku pembuatan struktur bangunan untuk membuat biogas tersebut memakan biaya hingga Rp 4,8 juta.
Rencananya, biogas hasil ujicoba tersebut akan dikembangkan secara luas bagi masyarakat sekitar. Bahkan se-Kabupaten Purworejo. ”Sementara bisa disalurkan untuk tetangga-tetangga dulu,” katanya. Ditambahkan, telethong yang menghasilkan gas itu juga akan menghasilkan ampas cair yang keluar secara otomatis melalui pipa pembuangan yang telah dibuat. ”Ini digunakan untuk memupuk tanaman. Kualitasnya tetap sama bagus daripada kotoran sapi yang masih asli,”.
http://www.emnufus.co.cc/2009/06/mengganti-bbm-dan-elpiji-dengan-kotoran.html
Biogas dan Kompos dari Tlethong Sapi
Sarjiyo MM yang Bisa Bikin Biogas
Secara formal, Sarjiyo hanya tamat SMP. Namun, dengan percaya diri dia mengenakan gelar MM. Bila berbicara tentang silkus energi dengan dia, tampak ketepatan gelar MM itu. Sarjiyo murah memberi kata-kata untuk menjelaskan rantai makanan dan perputaran energi di kosmos. Maka, gelar MM mempunyai akronim gurauan buatannya, Sarjiyo men mingkem (biar diam).
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty
Dengan satu tarikan napas, Sarjiyo men-jembreng-kan teori rantai makanan yang mudah diterima akal. Bila lawan bicaranya berasal dari Jawa, kosakata di sana-sini. Baginya, kesadaran tentang rantai makanan dan siklus energi inilan yang menjadi pemacu utama masyarakat membuat biogas.
Pria asal Kulon Progo, Yogyakarta, ini dikenal sebagai pembuat instalasi biogas. Sejak tahun 2004 dia berkelana dengan teori instalasi biogas dan ber-ekperimen membuat bangunan serta sistem yang bisa mengolah aneka limbah organik menjadi dua produk sekaligus, biogas dan kompos. Instalasi biogas pertama sekaligus laboratorium uji coba buat biogas ada di pekarangan rumahnya di Kulom Progo.
Butuh setahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan desain dan ukuran instalasi biogas yang pas. Dia juga menghitung jumlah kotoran ternak atau theletong. Dari catatannya, seekor sapi menghasilkan minimal 10-15 kilogram kotoran basah per hari.
Theletong itu lantas dimasukkan ke dalam ruang fermentasi biogas. Untuk kebutuhan satu-dua keluarga, ruang kedap udara (digester) yang dibutuh-kan berukuran sekitar 30 meter kubik. Instalasi itu cukup untuk mengolah kotoran yang dihasilkan dua ekor sapi. Hasil fermentasi kotoran dua ekor sapi setara dengan 0,5 liter minyak tanah dan bisa mencukupi kebutuhan bahan bakar memasak satu keluarga.
Kalau tak ada sapi, biogas masih bisa dihasilkan dari aneka jenis kotoran ternak, ampas produksi tahu, kulit kacang, atau limbah organik lain. Semua itu bisa diceplungkan ke tabung fermentasi sebagai prudusen gas metana.
Butuh satu tahun bagi Sarjiyo untuk mendapatkan konstruksi bangunan biogas yang sempurna. Biaya uji coba membuat satu instalasi bioags untuk mengolah kotoran dari dua ekor sapi itu sekitar Rp. 4,7 juta.
Setiap kali ada kelemahan, konstruksi biogas langsung diperbaiki. Sekarang, harga pembuatan instalasi biogas itu Rp. 9-10 juta karena kenaikan harga material.
Berawal dari Pertanian
Kisah biogas Sarjiyo berawal dari pertanian. Ketika itu, dia mengikuti pelatihan pertanian organik dan biogas yang diadakan salah satu LSM di Yogyakarta. Ada beberapa kawannya yang juga ikut pelatihan itu. Kata Sarjiyo, apa yang dia lakukan hanyalah melanjutkan teori ke praktek langsung.
Persoalan biogas dipahami Sarjiyo sebagai bagian dari pertanian organik. Biogas dihasilkan dari kotoran ternak atau limah pertanian. Setelah proses fermentasi, tak hanya biogas yang diperoleh, tetapi juga kompos padat dan cair. Kompos yang tak berbau ini bisa digunakan di sawah untuk menyu-burkan pertanian.
Setelah hasil dari pertanian dipanen manusia, limbahnya digunakan untuk pakan ternak. Ternak membantu kerja petani di sawah. Dari ternak itu juga, theletong diproduksi.
“Theletong itu bisa menjadi biogas lagi,” ucap Sarjiyo menjelaskan kesatuan rantai makan-dimakan serta alur energi terbarukan sekaligus sebuah pertanian terpadu.
“Pelaku biogas itu orangnya sendiri, jadi tergantung mau rajin atau tidak. Kalu rajin, ya kompos dibawa ke sawah, sawah pun subur. Kandang juga bersih karena kotoran disapu ke lubang instalasi biogas. Ini menjadi aspek sosialnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, Sarjiyo rajin berkeliling untuk menyebarkan pengetahuan tentang keseimbangan rantai makan-dimakan, pertanian terpadu, hingga biogas dan nol sampah. Petani juga bisa menghemat pengeluaran karena tak perlu lagi membeli bahan bakar untuk memasak.
Inilah yang disebut Sarjiyo dengan Fakta, sesuatu yang bisa dilihat manfaatnya secara kasatmata. Fakta juga membuat dia tak peduli dengan ejekan sejumlah kawan ketika Sarjiyo baru mulai membangun instalasi. Ejekan itu dilontarkan karena perhitungan instalasi biogas ala Sarjiyo tak sesuai dengan teori di buku. Teori dalam buku itu belum menjadi fakta. Ia percaya dengan hitungannnya sendiri.
Buktinya, setelah instalasi biogas terbangun, kerja instalasi ini jauh lebih maksimal dan awet dibandingkan instalasi bikinan orang lain. Di beberapa tempat, Sarjiyo bahkan membangun satu instalasi baru bersisian dengan instalasi biogas buatan salah satu perguruan tinggi.
Setelah berhasil, Sarjiyo semakin gencar membawa biogas ke pelbagai kalangan. Tak hanya petani, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat yang tertarik membangun instalasi biogas ala Sarjiyo.
Di Kulom Progo, Sarjiyo dibantu 80-an orang berusia 18-40 tahun yang tergabung dalam Sanggar Solidaritas Petani Lestari. Mereka juga yang membantu Sarjiyo mengerjakan instalasi biogas di berbagai tempat.
Sejak tahun 2004, ada 400 instalasi biogas yang dibuat Sarjiyo. Itu pun baru di wilayah Provinsi DI Yogyakarta. Kalau ditambahkan instalasi dari berbagai daerah di Indonesia, jumlahnya bisa ribuan.
“Karena Biogas, saya bisa jalan-jalan ke berbagai tempat, dari Sabang sampai Merauke. Tentunya sembari membahas biogas,” ucapnya
Jadilah Sarjiyo berkeliling Nusantara ”memasarkan” biogas, instalasi buatannya, dan pertanian terpadu. Begitulah asal mula dia secara bergurau memberi gelar MM bagi dirinya sendiri. “Sarjiyo MM alias me mingkem, biar dia. Ini karena saya terlalu sering jualan kata-kata (tentang biogas dan pertanian terpadu) ha-ha-ha,” ujar pria penyuka humor ini.
http://parnihadikascing.blogspot.com/2009/11/biogas-dan-kompos-dari-tlethong-sapi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar