Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v
Minggu, 29 Mei 2011
Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi dengan Media Gambar pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Bangkuang Kabupaten Barito Selatan Ichyatul Afrom
Ichyatul Afrom
Abstrak
Tujuan pembelajaran menulis di SD diarahkan pada tercapainya kemampuan mengungkapkan pendapat, ide gagasan, pengalaman, informasi pesan, menggunakan ejaan dan memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam menulis. Pencapaian tujuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah media pembelajaran. Media pembelajaran dapat meningkatkan motivasi siswa dalam menciptakan suasana belajar secara kolaboratif, dan membuat siswa aktif. Salah satu media pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas siswa adalah media gambar. Dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis puisi, media gambar dapat mengatasi masalah yang sering dialami siswa, memadukan empat aspek keterampilan berbahasa, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam proses menulis.
Tujuan penelitian ini adalah menigkatkan kemampuan menulis puisi dengan media gambar pada tahap pratulis, tahap tulis, dan tahap pascatulis itu dapat dilihat dari peningkatan kemampuan siswa dalam menulis puisi dengan media.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan. Rancangan disusun dalam satuan siklus dengan sistem berulang, setiap siklus berisi aktivitas pembelajaran pratulis, saat tulis, pascatulis, dan refleksi. Refleksi dilakukan pada setiap akhir siklus. Hasil refleksi digunakan sebagai dasar untuk perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya. Data penelitian diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil analisis data penelitian menunjukan bahwa pembelajaran menulis puisi dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dengan media gambar. Peningkatan kemampuan menulis puisi dilakukan dalam tahap pembelajaran yang meliputi tahap pratulis, tahap menulis dan tahap pascatulis.
Pada tahap pratulis peran guru sebagai fasilitator dan motivator dalam kegiatan belajar siswa dilakukan melalui aktivitas: (1) mengadakan apersepsi, (2) menampilkan gambar, (3) melakukan tanya jawab untuk membangkitkan skemata siswa tentang puisi, dan (4) menjelaskan langkah-langkah menulis puisi; sedangkan aktivitas siswa pada tahap pratulis dalam kegiatan pembelajaran yaitu: (1) memperhatikan gambar yang ditampilkan, (2) menjawab pertanyaan guru, dan (3) menyimak penjelasan tentang langkah menulis puisi.
Pada tahap menulis aktivitas guru yaitu; (1) membagikan gambar kepada siswa, (2) siswa diminta memilih dan menyebutkan isi gambar, (3) meminta siswa menentukan ide dan mengembangkan ide tersebut menjadi draf puisi, (4) meminta siswa mengembangkan draf menjadi puisi utuh dengan memperhatikan gambar; Sedangkan aktivitas siswa yaitu: (1) memperhatikan gambar yang dibagikan, (2) memilih dan menyebutkan isi gambar, (3) menentukan ide dan mengembangkan ide menjadi draf puisi, (4) mengembangkan draf menjadi puisi utuh.
Pada tahap pascatulis, peran guru sabagai fasilitator dan motivator dengan melakukan aktivitas: (1) menyiapkan karangan yang akan dipublikasikan, (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca karyanya, (3) melayani siswa dengan berdiskusi dan bertanya-jawab, (4) memberikan perhatian terhadap siswa yang berdiskusi dengan mengamati, menunjukkan reaksi yang positif, memotivasi siswa, dan (5) mencatat kelebihan dan kelemahan siswa; sedangkan aktivitas siswa pada tahap pasca tulis ini yaitu; (1) membacakan hasil karya mereka. (2) memperhatikan dan mengomentari hasil karya tersebut, (3) karya yang sudah diperbaiki, dipajang di majalah dinding.
Dengan prosedur yang demikian, diperoleh kemampuan menulis puisi siswa yang meningkat pada setiap tahapan. Secara kuantitatif, kemampuan menulis puisi siswa pada tahap pratulis siklus I adalah 71,5 dan pada siklus II 76,6. Secara kualitatif hasil belajar pada tahap pratulis adalah berkembangnya kemampuan siswa yang mencakup (1) suasana belajar siswa dapat terkendali, (2) siswa dapat berinteraksi dengan temannya, (3) siswa berani menceritakan pengalamannya dan mengemukakan pertanyaan yang berkaitan dengan puisi, dan (4) siswa berani menjawab pertanyaan dari guru mengenai unsur-unsur puisi.
Hasil tindakan pada tahap menulis secara kuantitatif pada siklus I adalah 71 dan pada siklus II 76,5. Secara kualitatif, berkembangnya kemampuan siswa dalam menulis puisi yang ditandai dengan kemampuan (1) mengidentifikasi gambar, (2) menentukan ide sesuai gambar, (3) menulis draf puisi sesuai dengan ide yang ditemukan, dan (4) menggunakan pilihan kata (diksi) dalam menulis puisi.
Hasil tindakan pada tahap pascatulis, secara kuantitatif pada siklus I adalah 72,8 dan siklus II 80. Secara kualitatif, berkembangnya kemampuan siswa dalam memublikasikan karya, yang ditandai dengan (1) keberanian membacakan hasil karyanya, (2) kemampuan merespon hasil karya temannya, (3) kemampuan melakukan perbaikan terhadap hasil karyanya, (4) dapat menunjukkan hasil karyanya di mading atau papan pengumuman.
Penggunaan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran di kelas V Sekolah Dasar terteliti meliputi ketiga tahap tersebut yakni (a) tahap pratulis: pembangkitan skemata, (b) tahap menulis: menulis puisi, dan (3) tahap pascatulis: pemublikasian hasil karya siswa.
Pembelajaran menulis puisi dengan media gambar juga berdampak positif bagi psikologis siswa, pada mulanya siswa hanya diam dan tidak mempunyai keberanian untuk berinteraksi, baik dengan guru maupun dengan temannya, dan pada siklus II melalui strategi tebak gambar, akhirnya para siswa berani mengemukakan pendapat dan berinteraksi baik dengan guru maupun dengan temannya.
Bertolak dari hasil penelitian ini, maka disarankan kepada guru SD untuk menggunakan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi, dengan meningkatkan aktivitas siswa dengan merangsang keterlibatan emosional, perhatian, motivasi, dan ketekunan siswa dalam pembelajaran menulis puisi.
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/868
Rabu, 18 Mei 2011
Awal itu Penting, Namun Proses Lebih Penting
Oleh : Cahyadi Takariawan
Kehidupan rumah tangga, sama seperti sebuah organisasi, perusahaan, atau bahkan sebuah negara, memerlukan prinsip-prinsip dasar pembentukan dan penjagaannya. Sebuah organisasi berdiri karena tujuan yang jelas, karena motivasi yang kuat, dan karena adanya dukungan positif dari seluruh anggotanya. Untuk itu organisasi harus dijaga dengan mekanisme internal yang solid, untuk memastikan agar terjadi kebaikan dalam segala sisinya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Cara pandang tentang keluarga, pada setiap komunitas masyarakat bisa berbeda-beda. Masyarakat Barat memiliki perspektif tersendiri tentang keluarga, sebagaimana masyarakat Batak, masyarakat Aceh, masyarakat Bugis, masyarakat Jawa, masyarakat Papua dan lain sebagainya, memiliki perspektif yang khas, sesuai dengan kultur kebudayaan lokal yang dominan dan berkembang.
Umat Kristiani memiliki cara pandang tersendiri tentang keluarga, sebagaimana umat Hindu, umat Budha juga memiliki cara pandang sesuai keyakinan agama masing-masing. Maka, dalam ajaran Islam, terdapatlah sejumlah prinsip fundamental untuk membentuk dan menjaga keutuhan serta kebahagiaan rumah tangga. Apabila setiap komunitas masyarakat kembali kepada keluarga mereka, untuk mengevaluasi dan menata ulang landasan konsep dan perilaku berumah tangga, niscaya akan bisa membawa kebahagiaan yang semakin sempurna.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai fenomena keluarga yang rapuh dan tidak memiliki landasan berpijak lagi. Sebuah rumah tangga yang oleng karena tidak jelas pemimpinnya, tidak jelas arah yang akan dituju, tidak jelas orientasi yang akan mereka jalani. Hidup hanya menjalani rutinitas, yang sangat membosankan dan sangat memberatkan hati serta perasaan.
“Kembalilah kepada ajaran agama anda. Sebagai muslim, masalah anda harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah”, kata seorang ustadz, konsultan keluarga kepada pasangan suami isteri yang hampir memutuskan untuk bercerai.
“Masalahnya ustadz,” kata sang suami, “Kami tidak tahu bagaimana cara kembali kepada ajaran agama kami”.
“Sejak awal kami berumah tangga, tidak pernah ada kesadaran untuk memulai dari Al Qur’an dan Sunnah, lalu bagaimana kami akan kembali?” tanya sang isteri.
“Lalu bagaimana anda menempuh hidup berumah tangga selama ini ?” tanya sang ustadz keheranan.
“Kami berumah tangga mengalir begitu saja. Bergulir bersama edaran waktu, dari hari ke hari, itulah yang kami lakukan selama ini. Pada awalnya hal ini tidak ada masalah, namun begitu bertemu masalah, kami merasakan selalu tidak bisa menyelesaikan. Selalu bertemu jalan buntu. Kami berpikir, inilah akhir kebersamaan kami”, kata sang suami.
“Dalam batas tertentu, kami merasa telah melaksanakan Al Qur’an dan Sunnah. Saya dan suami rajin mengerjakan shalat dan puasa. Dengan ini kami merasa muslim, dan melaksanakan sebagian kewajiban agama, lalu apa lagi yang harus kami lakukan untuk kembali kepada ajaran agama ?” tanya isteri.
Buntu, tidak menemukan jalan keluar. Terperangkap dalam lautan luas permasalahan, tanpa ada penunjuk arah keselamatan.
Sebagai muslim, kewajiban yang melekat dengan kita bukan hanya shalat, puasa, zakat dan haji. Bahwa ada sejumlah identitas standar sebagai muslim yang semestinya teraplikasikan dalam perilaku individu, keluarga dan sosialnya. Tatkala bekerja misalnya, ia tidak sekedar berpikir mencari uang sebanyak-banyaknya, namun tengah ada sebuah misi dan orientasi yang jelas dalam menunaikan pekerjaannya. Tanpa itu, ia akan terjebak dalam rutinitas.
Demikian pula tatkala menempuh kehidupan rumah tangga, semestinya ia mengawali dengan motivasi yang kokoh untuk ibadah kepada Allah. Dengan motivasi suci ini, akan menbuat ia melakukan proses secara benar, tidak melakukan penyimpangan yang dibenci agama. Dengan ini pula, ia akan selalu berusaha lurus dalam menempuh kehidupan berumah tangga. Apabila ada permasalahan yang menimpa mereka, cepat bisa diselesaikan dengan rujukan asasi dari syari’at Islam. Awalnya, adalah kesadaran motivasi.
Awal itu sangat penting, jangan pernah mengabaikan. Seseorang yang mengawali kehidupan rumah tangga dengan motivasi ibadah akan menghantarkan kepada kemuliaan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun jika hanya karena dorongan syahwat semata, kebahagiaan yang dirasakan pun baru sebatas pemukaanya. Sebab, sifat asal dari syahwat adalah tidak pernah terpuaskan, selalu menuntut kelanjutan dan pemuasan nafsu. Maka, mulailah dari awal yang baik, sebagaimana dikehendaki Allah.
Sejak awal, Allah telah menjadikan proses penciptaan manusia penuh dengan kebaikan.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya…” (At Tin: 4 ).
Setelah kebaikan penciptaan manusia dideklarasikan dalam ayat di atas, Al Qur’an memberikan gambaran yang sangat jelas dan tegas tentang tujuan penciptaan manusia. Allah telah menetapkan misi yang harus diemban oleh manusia, sejatinya keberadaan manusia di muka dunia bukanlah untuk bermain-main tanpa tujuan yang pasti. Allah telah berfirman:
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami ?” (Al Mu’minun: 115).
Dalam ayat yang lain, Allah bertanya retoris:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban) ?” (Al Qiyamah: 36).
Kemudian Al Qur’an menjelaskan bahwa misi penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah semata-mata. Sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” (Adz Dzariyat: 56).
Hakikat ibadah adalah ketaatan dan ketundukan yang mutlak kepada Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diperbuat seseorang karena ketaatan dan ketundukannya kepada Allah adalah ibadah. Abul A’la Maududi menjelaskan :
“Takut anda kepada Allah dalam segala urusan hidup anda pada setiap waktu, sikap anda yang menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan anda, kesediaan anda untuk mematuhi undang-undang-Nya, penolakan anda terhadap tiap-tiap keuntungan yang anda dapat atau mungkin anda dapat dengan durhaka kepada-Nya, dan kesabaran anda atas tiap-tiap kerugian yang menimpa anda karena taat kepada-Nya, itu semua termasuk ibadah anda kepada Allah Swt. Kehidupan anda dengan jalan ini dari awalnya hingga akhirnya adalah ibadah”.
“Makan, minum, tidur, jaga, duduk, berdiri, berjalan, berkata-kata dan diam adalah semata-mata sebagian dari ‘ibadah dalam suatu kehidupan seperti ini”, jelas Al Maududi.
Manusia dicipta bukan untuk mempertuhan materi. Bukan untuk mendewakan sains dan teknologi. Bukan untuk menyembah kedudukan duniawi. Bukan untuk mengikuti hawa nafsu. Tetapi mereka dicipta untuk tugas peribadatan, pengabdian tulus ikhlas kepada Allah, menjadi hambaNya yang salih. Mereka diciptakan untuk beribadah, dan kemudian menjadi khalifah.
Di antara makhluk ciptaan Allah, manusia mendapatkan amanah yang amat berat. Pada kenyataannya tidak satupun makhluk Allah yang diberi amanah kekhalifahan, kecuali manusia:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Al Baqarah: 30).
Bahkan sebelum limpahan tugas dan tanggung jawab besar itu dibebankan kepada manusia, telah ditawarkan kepada seluruh makhluk yang lain. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia ” (Al Ahzab: 72).
Ibnu Jarir berkata, “Maksud ayat tersebut adalah: sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dariKu yang akan menggantikan Aku dalam menegakkan hukum di tengah-tengah makhluk ciptaanKu di muka bumi. Dan khalifah tersebut adalah Adam dan orang-orang yang menggantikan kedudukannnya dalam taat kepadaKu dan menegakkan hukum dengan adil di tengah makhluk ciptaanKu. Adapun yang berbuat (kerusakan) dan menumpahkan darah bukan dengan cara yang haq adalah bukan dari para khalifahKu.”
Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan mengenai pemuliaan manusia sebagai khalifah di muka bumi:
“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di muka bumi” (Fathir: 39)
Dengan penegasan ini, tampaklah sebuah permulaan yang serius dalam proses penciptaan manusia. Awal itu penting, bahwa dari awal Allah telah menitipkan misi atas keberadaan manusia di muka bumi untuk beribadah dan sebagai khalifah. Bukan untuk melakukan pemuasan nafsu dan memperbudak diri sendiri di hadapan dunia, dan juga bukan untuk bersenang-senang saja sebagaimana sifat orang yang tidak beriman:
“Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” (Muhammad: 12 ).
Titik kesadaran awal dalam membangun rumah tangga adalah momentum untuk dijadikan sebagai landasan perubahan di masa-masa yang akan datang. Dengan kesadaran ibadah di awalnya, akan menyebabkan terangkatnya momentum tersebut dalam setiap aktivitas kerumahtanggaan. Apabila terjadi penyimpangan, akan segera bisa diingatkan dengan titik kesadaran awal bermulanya rumah tangga tersebut.
Namun, ada pula awal yang terlanjur buram, bahkan ada yang tidak merasakan berawal. Tiba-tiba telah terkurung dalam ritual keluarga, dengan segala atribut hak dan kewajiban yang tidak mungkin dilepaskan. Bisakah mereka diminta kembali mundur ke belakang, untuk mengulangi sejarah dari awal pembentuka rumah tangga mereka ?
Kalaupun awalnya tidak baik, sesungguhnya bisa dihapuskan dengan proses berikutnya. Maka, awal memang penting, namun lebih penting lagi adalah proses. Dalam kehidupan berumah tangga, selalu ada proses yang berjalan. Sejak proses adaptasi dengan suasana baru, kebiasaan baru, peran baru, sampai pola interaksi dan komunikasi yang baru, jika dibandingkan dengan sebelum berumah tangga.
Dosa-dosa masa lalu harus dikubur. Jika bersedia mengawali dari titik nol, dengan taubat kepadaNya, maka hadirlah sosok baru dalam keluarga. Yang penting adalah menjaga agar proses internalisasi kebaikan selalu terjadi dalam diri, tidak pernah berhenti. Jika kemaring masih suka maksiat, sekarang harus mengganti dengan taat kepadaNya. Jika kemarin masih malas ibadah, sekarang mendekatlah kepadaNya. Jika kemarin belum menemukan kesalihan diri, sekarang hadirkanlah jiwa kesalihan yang murni. Inilah yang dimaksud proses.
Tidak cukup mengandalkan awal yang baik, karena jika tidak ditindaklanjuti dengan proses yang baik, semua bisa berantakan dan tidak menemukan pulau harapan. Untuk itulah, perlu mengerti beberapa prinsip fundamental yang menyusun kebahagiaan rumah tangga. Agar, mereka yang memulai dari yang baik maupun tidak, bisa berproses dalam kehidupan keluarga menuju kebahagiaan hakiki, yang diidamkan semua orang, didambakan semua pasangan, dicita-citakan semua insan.
Sekarang, cobalah berproses untuk membangun dan menjaga kebahagiaan rumah tangga anda. Saya yakin, insya Allah, anda bisa mendapatkannya.
juara^^
MENJEMPUT KESETIAAN
MENJEMPUT KESETIAAN Oleh : Cahyadi Takariawan Engkau aktif dalam kegiatan dakwah ? Engkau telah bekerja melakukan berbagai upaya menebarkan kebaikan di daerah ? Jika ya, maka mungkin engkau pernah mendengar ucapan-ucapan seperti ini, entah dari siapa. “Luar biasa aktivitas anda membesarkan dakwah di daerah. Sayang sekali, senior anda yang di pusat justru mengkhianati perjuangan anda. Mereka telah mengejar harta, tahta dan wanita, dan melupakan tujuan perjuangan. Lalu, untuk apa anda tetap berpayah-payah di daerah?” “Sia-sia semua yang kalian kerjakan. Hasilnya dirampas oleh sebagian kecil elit di antara kalian. Apa kalian masih akan bertahan ?” “Lihatlah apa yang terjadi pada kalian. Setiap hari bertabur berita jelek di media. Itu menandakan aktivitas dakwah kalian sudah jauh menyimpang, karena kerakusan para pemimpin kalian. Mereka telah gila dunia dan melupakan akhirat”. Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mereka yang tidak mengerti makna ucapannya sendiri. Seakan-akan semua yang diucapkannya adalah kebenaran. Seakan-akan yang disampaikan adalah data dan fakta yang telah teruji kebenarannya, lalu semua yang mendengarkan diharapkan segera beriman. Seakan-akan semua yang mereka ungkapkan adalah dalil pembenaran untuk meninggalkan gelanggang perjuangan. Alkisah, seorang kader dakwah merasa tengah mengalami titik kejenuhan. Banyak beban dakwah dan beban kehidupan harus dihadapi sendiri. Ia mulai merenung, berpikir, dan akhirnya merasa semakin lemah. Aktivitas dakwah yang semula menumpuk setiap hari, perlahan mulai dikurangi. Dikumpulkannya “kata orang” tentang pemimpinnya. Dia belanja isu tentang kehidupan para pimpinan dakwah. Cukup banyak sudah isu dikumpulkan, semua semakin melemahkan semangat dakwahnya. Ia mulai menghitung ulang keterlibatannya dalam aktivitas dakwah, dan mempertimbangkan langkah mundur ke belakang. Di hadapanku ia curahkan semua isi hatinya. Sesak, gumpalan beban menghimpit dada dan hatinya. Lelah, penat, jenuh, kecewa, sedih, bercampur aduk.... Air matanya tumpah ruah saat bercerita tentang kepedihan hatinya. Aku merasakan bendungan perasaan itu ambrol, air bah kekecewaan mengalir sangat deras tidak terbendung. Dahsyat, luar biasa.... Aku segera menceritakan makna ikhlas bagi kader yang berada di lapangan. Aku hanya kader lapangan, waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku tidak bisa menjelaskan dengan rangkaian teori yang “tinggi-tinggi”. Ilmuku adalah ilmu lapangan, ilmu aplikasi, berisi pengalaman dan akumulasi rekaman kejadian setiap hari. Teoriku adalah teori kehidupan, yang aku dapatkan langsung dari medan perjuangan. Merekam detail hikmah yang muncul dari perjalanan di sepanjang wilayah dakwah. Saudaraku, aku ajak engkau melihat benih-benih yang kita semai di ladang-ladang dakwah di berbagai wilayah. Subhanallah, benih itu tumbuh subur menghijau, membuat takjub siapapun yang melihat dan merasakan detak pertumbuhannya. Kita sirami benih itu, dan kita rawat dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Perasaan lelah dan jenuh menghadapi berbagai kendala, segera hilang sirna dengan sempurna, saat menyaksikan hasil semaian di ladang-ladang dakwah kita. Rasa jenuh dan lelah bisa hinggap pada hati dan pikiran siapa saja. Pekerjaan rutin sehari-hari membuat kita mudah mengalami kejenuhan, apalagi jika yang dihadapi hanya koran, berita televisi, internet dan kata orang. Dunia disempitkan oleh media, bukan diluaskannya. Lalu apa yang menyemangati kita ? Mari berjalan menikmati hijaunya lahan-lahan semaian dakwah yang telah kita rawat lebih dari dua puluh tahun lamanya. Berjalan, bertemu kader-kader dakwah di setiap daerah, menyapa dan membersamai aktivitas mereka. Subhanallah, lihat wajah-wajah cerah yang tampak di setiap pertemuan. Di sebuah mushalla kecil di kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, aku merasakan optimisme dan membuncahnya harapan. Di sebuah ruang sederhana di Gendeng, Baciro, Kota Jogja, aku menjadi saksi kesetiaan tanpa jeda. Di sebuah gedung pertemuan di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, aku merasakan detak jantung penuh cinta. Di sebuah ruangan di Baubau, Sulawesi Tenggara, aku merasakan getar kesadaran akan kemenangan. Di sepanjang bumi Sumatera aku melihat dan merasakan pancaran semangat yang membara. Di berbagai belahan Kalimantan aku mendapatkan suasana gelegak kehangatan tak terkalahkan. Di Nusa Tenggara Barat, yang muncul hanyalah optimisme menghadapi medan perjuangan. Di Maluku, kepal tangan yang terangkat kuat menandakan tak akan menyerah menghadapi kendala dakwah. Di Papua, minoritas bukanlah alasan untuk merasa lemah dan kalah. Lalu apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Berjalanlah, dan semua wilayah ini adalah bumi dakwah, tempat kita menyemai cinta. Bergeraklah, dan semua daerah ini adalah bumi perjuangan, tempat kita menanamkan harapan. Dimanapun engkau berjalan, dimanapun engkau bergerak, akan merasakan kesegaran udara yang sangat jernih. Tak ada polusi di sana, polusi itu justru ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu menggambarkan betapa besar sesungguhnya ukuran cinta dan harapan yang ada pada dada para kader di sepanjang wilayah dakwah. Tulisan yang saya khawatirkan justru menyempitkan makna kesetiaan dan keikhlasan setiap titik perjuangan kader di seluruh bumi Allah. Maka bergeraklah, berjalanlah, beraktivitaslah bersama kafilah dakwah. Rasakan sendiri, lihat sendiri, dengarkan sendiri kata-kata mutiara yang muncul dari lapangan. Diam telah membuatmu merasakan kejenuhan. Tidak bergerak menyebabkan pikiranmu dipenuhi pesimisme dan kegalauan. Tidak berkegiatan membuat hatimu selalu dalam kebimbangan dan keputusasaan. Bergeraklah di lapangan dakwah, engkau akan menemukan sangat banyak harapan dan untaian mutiara kesabaran. Jadi, apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Lihat sendiri, dengan mata kepalamu sendiri, bagaimana wajah-wajah penuh kecintaan akan selalu engkau dapatkan. Kemanapun engkau pergi, yang engkau temui adalah benih-benih tersemai dengan pupuk keimanan dan keutamaan. Kemanapun engkau melangkah, yang engkau dapatkan adalah buah-buah yang terawat oleh cinta dan kasih sayang para pembina. Para pembina telah mencurahkan cinta, telah menorehkan kasih, telah memahatkan sayang di hati sanubari semua benih dakwah di sepanjang daerah. Bisakah engkau menanamkan bibit-bibit kebencian, kemarahan, dendam dan kesumat, lalu menyuburkannya hanya dengan pupuk isu serta gosip sepanjang masa? Bisakah engkau menciptakan lahan-lahan yang akan tersuburkan dengan fitnah, caci maki dan sumpah serapah ? Siapa yang akan bisa memberikan cinta, jika yang engkau keluarkan untuk mereka adalah dendam membara ? Siapa yang akan memberikan kesetiaan, jika yang engkau tanam adalah benih-benih permusuhan ? Siapa yang akan memberikan ketulusan, jika yang engkau taburkan adalah kebencian ? Jadi, apa yang menggelisahkanmu saudaraku ? Seorang kader dakwah di Paniai, Papua, menitipkan pesan penting saat aku kesana. “Yang sangat kami perlukan adalah kehadiran para Pembina. Kami sangat optimis dengan medan dakwah di sini”. Subhanallah, seperti terbawa mimpi. Paniai bahkan tidak engkau kenal wilayahnya ada dimana. Engkau tidak mengetahui bahwa di tempat yang sangat jauh dari keramaian kota itu ada banyak harapan untuk kebaikan. Benar kan, di sana tidak ada polusi? Karena polusi itu ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu merangkum kuatnya kecintaan dan tulusnya harapan dari kader-kader di daerah. Di sebuah ruang sederhana, di Wamena, Papua, aku mendapatkan dan merasakan gelora semangat yang sedemikian membahana. Demikian pula di Merauke. Sekelompok kader telah bekerja melakukan apa yang mereka bisa, dan ternyata lahan-lahan kering itu sedemikian suburnya. Tak dinyana, semula kita membayangkan akan kesulitan menanam benih di lahan yang teramat kering kehitaman. Namun taburan benih tak ada yang sia-sia. Semangat demikian tinggi mengharap kehadiran kita untuk menyaksikan pertumbuhan, karena benih telah dirawat dan dipelihara dengan sepenuh jiwa. Di sebuah pojok ruang di Manokwari, Irian Jaya Barat, tak kalah semangat menjalani aktivitas perjuangan. Beberapa gelintir generasi dakwah, telah menanamkan benih-benih di berbagai wilayah. Siapa menyangka ternyata kecintaan dan kesetiaan yang tulus dimiliki oleh mereka yang tinggal jauh di ujung Indonesia. Genggaman tangan sangat kuat dan hangat masih aku rasakan, seakan tak mau melepaskan. Bahkan mereka menghantarkan aku hingga di depan tangga pesawat terbang. Kisah-kisah heroik aku dapatkan selama menemani mereka menyemai benih di bumi Irian Jaya Barat. Insyaallah pahala berlipat telah Allah limpahkan untuk mereka. Jadi, hal apa lagi yang meresahkanmu, saudaraku ? Pernahkah engkau mendengar Polewali, Majene, Mamuju dan Mamasa ? Mungkin engkau belum pernah mencarinya di dalam peta. Itu nama-nama kabupaten yang ada di Sulawesi Barat, propinsi yang terbentuk setelah dimekarkan dari Sulawesi Selatan. Aku telah melawat berhari-hari lamanya, menemukan bongkahan semangat yang sangat potensial. Sangat banyak luapan energi yang siap untuk mencerahkan wilayahnya. Mereka menjemput kesetiaan dengan melakukan sangat banyak kegiatan, di tengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi. Aku juga mengunjungi dan menyapa kader-kader di Mataram, Lombok, Sumbawa, Dompu dan Bima. Luar biasa semangat kader-kader dakwah di sana. Di sudut-sudut ruangan, aku menemukan kenyataan cinta itu hidup segar, bersemi indah dan terawat dengan cermat. Tangan-tangan halus para pembina telah membentuk karakter yang kuat pada para aktivis dakwah, sehingga mereka terus menerus bekerja tanpa mengenal lelah, padahal tidak ada yang memberi upah. Hanya Allah yang menjadi tumpuan harapan kerja mereka. Luar biasa. Di sepanjang ruas jalan yang aku lalui di Balikpapan, Samarinda, Kutai Timur, Kutai Kertanegara, Penajam, Berau, yang terhirup adalah udara jernih, bukti kemurnian tujuan perjuangan. Demikian pula saat aku menapaki Banda Aceh, Pidie, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh, yang terasakan hanyalah semangat berkontribusi tanpa henti. Para kader telah bertahan di medan perjuangan dengan segenap kecintaan dan harapan. Tak ada polusi di sana, karena polusi itu adanya di sini. Di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu mengkabarkan dengan tepat betapa keutuhan dan ketulusan langkah perjuangan kader-kader dakwah di sepanjang wilayah. Sepanjang mata memandang, yang tampak adalah dinamika berkegiatan, berlomba melakukan hal terbaik yang bisa mereka lakukan, berlomba mencetak prestasi dan karya besar bagi bangsa dan negara. Maka, apa yang meragukanmu, saudaraku ? Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, kata-kata itu ? Aku bukan seseorang yang berwenang menjelaskan. Maka aku tak mau mendengarkannya, karena sama sekali tidak ada artinya bagiku. Aku hanyalah seorang kader lapangan. Waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku merasakan gairah pertumbuhan, aku mendengarkan degup jantung penuh kecintaan, aku mencium harum aroma kemenangan, aku melihat gurat keteguhan, aku menikmati cita rasa kesetiaan. Aku menjadi saksi betapa suburnya cinta dan kesetiaan kader di sepanjang jalan dakwah, di sepanjang bumi Allah. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda bahkan jiwa telah mereka sumbangkan dengan sepenuh kesadaran. Tidak ada yang terbayang dalam benak mereka, kecuali upaya memberikan yang terbaik bagi perjuangan. Berbagai kekurangan dan kelemahan mereka miliki, namun tidak menyurutkan semangat dan memadamkan gairah yang menggelora di dada. Mereka yakin akan janji-janji Ketuhanan, bahwa kemenangan itu dekat waktunya. Mereka menjemput kesetiaan dengan selalu bergerak, berbuat, beraktivitas di lapangan. Bukan duduk diam menunggu sesuatu, atau melamunkan sesuatu. Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, caci maki itu, apakah masih ada artinya jika engkau telah menghirup nafas dari udara yang sangat jernih di wilayah dakwah ? Apakah masih membuatmu gelisah jika tubuhmu telah basah oleh keringat dari perjalanan panjang yang sangat menyenangkan di berbagai daerah ? Apakah masih membuatmu ragu jika matamu telah memandang kehijauan lahan-lahan yang kita semai di sepanjang bumi Allah ? Apakah masih membuatmu gundah jika hatimu telah bertaut dengan aktivitas kader-kader dakwah yang menjemput kesetiaan dengan bertahan di medan-medan perjuangan ? Sungguh, aku menjadi saksi kesetiaan mereka di sepanjang jalan dakwah. Aku menjadi saksi hasrat dan kecintaan mereka yang sedemikian besar kepada perjuangan dakwah. Aku juga berharap, kader-kader di daerah mengerti betapa besar cinta kami kepada lahan-lahan yang tumbuh bersemi. Aku selalu memohon perlindungan dan kekuatan kepada Allah, semoga Allah selalu melindungi dan menjaga dakwah dan para qiyadah. Aku selalu memohon kepada Allah, agar semangat dan gairah dakwah tidak pernah melemah. Ya Allah, beritahukan kepada kader-kader yang setia berjaga di garis kesadaran dan harapan, betapa besar cinta kami kepada mereka. Ya Allah sampaikan kepada para kader yang telah bekerja sepenuh jiwa, betapa hati kami selalu tertambat kepada mereka. Beritahukan ya Allah, cinta kami sangat tulus untuk mereka. Selamanya. Selamanya ! Pancoran Barat, 3 Mei 2011 |
Menyublimkan kepedihan
Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri.
Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.
Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.
Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.
Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.
Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.
Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.
Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.
Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.
Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.
Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah pecundang?
Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.
Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang superman, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.
Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.
Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.
Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.
Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?
Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.
Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang?
Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.
Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama KONTRIBUSI.
Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan?
Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?
Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
10 Muwashofat Kader Dakwah
10 Muwashofat Kader Dakwah
Kepribadian seorang muslim haruslah berlandaskan Al Quran dan As sunnah. karena keduanya merupakan warisan Rasulullah untuk ummatnya, dari Allah SWT. Bila disederhanakan, sekurang- kurangnya ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku,
semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS 6:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam dawahnya
kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
2. Shahihul Ibadah.
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam
satu haditsnya; beliau menyatakan: ³shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat´. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq.
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk- makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Quran, Allah berfirman yang artinya:Da n
sesungguhnya
kamu
benar-benar
memiliki
akhlak
yang
agung
(QS
68:4).
4. Qowiyyul Jismi.
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaranIslam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalamIslam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di
jalan
Allah
dan
bentuk-bentuk
perjuangan
lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit- sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim).
5. Mutsaqqoful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting.
Karena itu salah satu sifat Rasul adalahfa to n a h (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-
ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya
kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: ³pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya´. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ³Yang lebih dari keperluan´. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
Di dalamIslam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: ³samakah
orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? ´, sesungguhnya orang-orang yang
berakallah
yang
dapat
menerima
pelajaran
(QS
39:9).
6. Mujahadatul Linafsihi.
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran
Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia
menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
7. Harishun Ala Waqtihi.
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya.
Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: ³Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu´. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk mengatur waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin. Janganlah kita terpedaya dengan 2 nikmat .
8. Munazhzhamun fi Syuunihi.
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukumIslam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian
secara
serius
dalam
menunaikan
tugas-tugasnya.
9. Qodirun Alal Kasbi.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim.Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena itu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi.
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya:s eb a ik-b a i k
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu
yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
Ini yang mesti dipahami oleh kader dakwah.
Terkadang kita sebagai kader dakwah sering mersa puas dengan hasil kerja sehingga kita lebih sering meminta daripada memberi. Minta perhatian khusus, minta dihargai, minta diakui, minta dipuji, tapi tidak pula minta dinasehati.,,ini yang bikin repot! Terkadang ada juga kejenuhan yang dirasakan oleh kader itu sendiri, kejenuhan yang telah mencapai titik kulminasi dapat menyebabkan pemberontakan yang dapat diekspresikan melalui tindakan misalnya merajuk, marah, berhenti sejenak atau bahkan selamanya.
Dari manakah itu bermula? Tak tahu, yang jelas berawal dari kebiasaan diri yang belum hilang bawaan sejak jahilnya. Namun ini dapat diobati dengan tabiyah yang sehat. Kalau kita sadar, bahwa kader dakwah kampus selama menunaikan amanah dan pekerjan di kampusnya itu adalah sebagai sarana latihan/tadhribat semata. Kita belumlah teruji dengan dakwah yang sebenarnya. Kita masih berada dalam tahap latihan, tetapi yang lebih istimewa adalah latihan itu diberi ganjaran pahala oleh Allah SWT. Dan uniknya lagi, Allah tidak melihat pada hasil latihan tetapi menilai pada proses latihan yang dapat dinilai dengan berlipat-lipat ganjaran pahala. Karena dalam proses ini terdapat ramuan mujarab, ramuan ikhlas dicampur tawadhu, ketaatan dan pemahaman yang benar terhadap proses. Tetapi tidaklah semua kader paham dengan nilai istimewanya sebuah prose situ. Kita sering menganggap hasil adalah segala-galanya, latihan ini adalah segala-galanya sehingga tak sedikitpun terasa nikmat prose situ.
Apakah proses latihan itu?
Apakah antum/antunna tidak menikmati bagaimana nikmatnya syuro dengan tausyah didalamnya? Apakah Anda tidak menikmati saat-saat berbeda pendapat di dialamnya? Apakah Anda tidak menikmati saat rukhiyah Anda naik saat qiyamul lail dan tilawah qur¶an? Apakah Anda tahu jika esok Anda sudah selesai kuliah dan tidak di kampus ini, Anda masih bisa bersama ikhwah lagi dalam suka cita dan cerita indahnya?? Apakah«apakah..masih banyak lagi. Maka nikmati saja, air mata dan keringatmu bagaikan sungai surge yang mengalir membasahi kulit kering yang semakin hai semakin tua.
Andai semua kader menegtahui ini, kita pasti tak akan main-main dalam bekerja, selelu mengeluarkan keringat dan air mata karena kesungguhan dalam bekerja. Buat kampus ini dengan dinamika- dinamikanya, dinamika yang mengeluarkan banyak peluh dan air mata para pendahulu kit
a. Hari ini kita belumlah istirahat«dan tidak akan beristirahat, istirahat yang panjang adalah kelak di Syurga- Nya. Amiin«
Jadilah Kader Dakwah Yang Bermuwashofat.
10 Muwashofat Kader
Dari manakah itu bermula? Tak tahu, yang jelas berawal dari kebiasaan diri yang belum hilang bawaan sejak jahilnya. Namun ini dapat diobati dengan tabiyah yang sehat. Kalau kita sadar, bahwa kader dakwah kampus selama menunaikan amanah dan pekerjan di kampusnya itu adalah sebagai sarana latihan/tadhribat semata. Kita belumlah teruji dengan dakwah yang sebenarnya. Kita masih berada dalam tahap latihan, tetapi yang lebih istimewa adalah latihan itu diberi ganjaran pahala oleh Allah SWT. Dan uniknya lagi, Allah tidak melihat pada hasil latihan tetapi menilai pada proses latihan yang dapat dinilai dengan berlipat-lipat ganjaran pahala. Karena dalam proses ini terdapat ramuan mujarab, ramuan ikhlas dicampur tawadhu, ketaatan dan pemahaman yang benar terhadap proses. Tetapi tidaklah semua kader paham dengan nilai istimewanya sebuah prose situ. Kita sering menganggap hasil adalah segala-galanya, latihan ini adalah segala-galanya sehingga tak sedikitpun terasa nikmat prose situ.
Apakah proses latihan itu?
Apakah antum/antunna tidak menikmati bagaimana nikmatnya syuro dengan tausyah didalamnya? Apakah Anda tidak menikmati saat-saat berbeda pendapat di dialamnya? Apakah Anda tidak menikmati saat rukhiyah Anda naik saat qiyamul lail dan tilawah qur’an? Apakah Anda tahu jika esok Anda sudah selesai kuliah dan tidak di kampus ini, Anda masih bisa bersama ikhwah lagi dalam suka cita dan cerita indahnya?? Apakah«apakah..masih banyak lagi. Maka nikmati saja, air mata dan keringatmu bagaikan sungai surge yang mengalir membasahi kulit kering yang semakin hai semakin tua.
Andai semua kader menegtahui ini, kita pasti tak akan main-main dalam bekerja, selelu mengeluarkan keringat dan air mata karena kesungguhan dalam bekerja. Buat kampus ini dengan dinamika- dinamikanya, dinamika yang mengeluarkan banyak peluh dan air mata para pendahulu kit
a. Hari ini kita belumlah istirahat«dan tidak akan beristirahat, istirahat yang panjang adalah kelak di Syurga- Nya. Amiin«
Jadilah Kader Dakwah Yang Bermuwashofat