Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Rabu, 18 Mei 2011

Awal itu Penting, Namun Proses Lebih Penting

bismillah, coba dah dibaca. . . .


Oleh : Cahyadi Takariawan

Kehidupan rumah tangga, sama seperti sebuah organisasi, perusahaan, atau bahkan sebuah negara, memerlukan prinsip-prinsip dasar pembentukan dan penjagaannya. Sebuah organisasi berdiri karena tujuan yang jelas, karena motivasi yang kuat, dan karena adanya dukungan positif dari seluruh anggotanya. Untuk itu organisasi harus dijaga dengan mekanisme internal yang solid, untuk memastikan agar terjadi kebaikan dalam segala sisinya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Cara pandang tentang keluarga, pada setiap komunitas masyarakat bisa berbeda-beda. Masyarakat Barat memiliki perspektif tersendiri tentang keluarga, sebagaimana masyarakat Batak, masyarakat Aceh, masyarakat Bugis, masyarakat Jawa, masyarakat Papua dan lain sebagainya, memiliki perspektif yang khas, sesuai dengan kultur kebudayaan lokal yang dominan dan berkembang.

Umat Kristiani memiliki cara pandang tersendiri tentang keluarga, sebagaimana umat Hindu, umat Budha juga memiliki cara pandang sesuai keyakinan agama masing-masing. Maka, dalam ajaran Islam, terdapatlah sejumlah prinsip fundamental untuk membentuk dan menjaga keutuhan serta kebahagiaan rumah tangga. Apabila setiap komunitas masyarakat kembali kepada keluarga mereka, untuk mengevaluasi dan menata ulang landasan konsep dan perilaku berumah tangga, niscaya akan bisa membawa kebahagiaan yang semakin sempurna.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai fenomena keluarga yang rapuh dan tidak memiliki landasan berpijak lagi. Sebuah rumah tangga yang oleng karena tidak jelas pemimpinnya, tidak jelas arah yang akan dituju, tidak jelas orientasi yang akan mereka jalani. Hidup hanya menjalani rutinitas, yang sangat membosankan dan sangat memberatkan hati serta perasaan.

“Kembalilah kepada ajaran agama anda. Sebagai muslim, masalah anda harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah”, kata seorang ustadz, konsultan keluarga kepada pasangan suami isteri yang hampir memutuskan untuk bercerai.

“Masalahnya ustadz,” kata sang suami, “Kami tidak tahu bagaimana cara kembali kepada ajaran agama kami”.

“Sejak awal kami berumah tangga, tidak pernah ada kesadaran untuk memulai dari Al Qur’an dan Sunnah, lalu bagaimana kami akan kembali?” tanya sang isteri.

“Lalu bagaimana anda menempuh hidup berumah tangga selama ini ?” tanya sang ustadz keheranan.

“Kami berumah tangga mengalir begitu saja. Bergulir bersama edaran waktu, dari hari ke hari, itulah yang kami lakukan selama ini. Pada awalnya hal ini tidak ada masalah, namun begitu bertemu masalah, kami merasakan selalu tidak bisa menyelesaikan. Selalu bertemu jalan buntu. Kami berpikir, inilah akhir kebersamaan kami”, kata sang suami.

“Dalam batas tertentu, kami merasa telah melaksanakan Al Qur’an dan Sunnah. Saya dan suami rajin mengerjakan shalat dan puasa. Dengan ini kami merasa muslim, dan melaksanakan sebagian kewajiban agama, lalu apa lagi yang harus kami lakukan untuk kembali kepada ajaran agama ?” tanya isteri.

Buntu, tidak menemukan jalan keluar. Terperangkap dalam lautan luas permasalahan, tanpa ada penunjuk arah keselamatan.

Sebagai muslim, kewajiban yang melekat dengan kita bukan hanya shalat, puasa, zakat dan haji. Bahwa ada sejumlah identitas standar sebagai muslim yang semestinya teraplikasikan dalam perilaku individu, keluarga dan sosialnya. Tatkala bekerja misalnya, ia tidak sekedar berpikir mencari uang sebanyak-banyaknya, namun tengah ada sebuah misi dan orientasi yang jelas dalam menunaikan pekerjaannya. Tanpa itu, ia akan terjebak dalam rutinitas.

Demikian pula tatkala menempuh kehidupan rumah tangga, semestinya ia mengawali dengan motivasi yang kokoh untuk ibadah kepada Allah. Dengan motivasi suci ini, akan menbuat ia melakukan proses secara benar, tidak melakukan penyimpangan yang dibenci agama. Dengan ini pula, ia akan selalu berusaha lurus dalam menempuh kehidupan berumah tangga. Apabila ada permasalahan yang menimpa mereka, cepat bisa diselesaikan dengan rujukan asasi dari syari’at Islam. Awalnya, adalah kesadaran motivasi.

Awal itu sangat penting, jangan pernah mengabaikan. Seseorang yang mengawali kehidupan rumah tangga dengan motivasi ibadah akan menghantarkan kepada kemuliaan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun jika hanya karena dorongan syahwat semata, kebahagiaan yang dirasakan pun baru sebatas pemukaanya. Sebab, sifat asal dari syahwat adalah tidak pernah terpuaskan, selalu menuntut kelanjutan dan pemuasan nafsu. Maka, mulailah dari awal yang baik, sebagaimana dikehendaki Allah.

Sejak awal, Allah telah menjadikan proses penciptaan manusia penuh dengan kebaikan.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya…” (At Tin: 4 ).

Setelah kebaikan penciptaan manusia dideklarasikan dalam ayat di atas, Al Qur’an memberikan gambaran yang sangat jelas dan tegas tentang tujuan penciptaan manusia. Allah telah menetapkan misi yang harus diemban oleh manusia, sejatinya keberadaan manusia di muka dunia bukanlah untuk bermain-main tanpa tujuan yang pasti. Allah telah berfirman:

“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami mencipta­kan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembali­kan kepada Kami ?” (Al Mu’minun: 115).

Dalam ayat yang lain, Allah bertanya retoris:

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban) ?” (Al Qiyamah: 36).

Kemudian Al Qur’an menjelaskan bahwa misi penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah semata-mata. Sebagaimana firman Allah:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” (Adz Dzariyat: 56).

Hakikat ibadah adalah ketaatan dan ketundukan yang mutlak kepada Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diperbuat seseorang karena ketaatan dan ketundukannya kepada Allah adalah ibadah. Abul A’la Maududi menjelaskan :

“Takut anda kepada Allah dalam segala urusan hidup anda pada setiap waktu, sikap anda yang menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan anda, kesediaan anda untuk mematuhi undang-undang-Nya, penolakan anda terhadap tiap-tiap keuntungan yang anda dapat atau mungkin anda dapat dengan durhaka kepada-Nya, dan kesabaran anda atas tiap-tiap kerugian yang menimpa anda karena taat kepada-Nya, itu semua termasuk ibadah anda kepada Allah Swt. Kehidupan anda dengan jalan ini dari awalnya hingga akhirnya adalah ibadah”.

“Makan, minum, tidur, jaga, duduk, berdiri, berjalan, berkata-kata dan diam adalah semata-mata sebagian dari ‘ibadah dalam suatu kehidupan seperti ini”, jelas Al Maududi.

Manusia dicipta bukan untuk mempertuhan materi. Bukan untuk mendewakan sains dan teknologi. Bukan untuk menyembah kedudukan duniawi. Bukan untuk mengikuti hawa nafsu. Tetapi mereka dicipta untuk tugas peribadatan, pengabdian tulus ikhlas kepada Allah, menjadi hambaNya yang salih. Mereka diciptakan untuk beribadah, dan kemudian menjadi khalifah.

Di antara makhluk ciptaan Allah, manusia mendapatkan amanah yang amat berat. Pada kenyataannya tidak satupun makhluk Allah yang diberi amanah kekhalifahan, kecuali manusia:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Al Baqarah: 30).

Bahkan sebelum limpahan tugas dan tanggung jawab besar itu dibebankan kepada manusia, telah ditawarkan kepada seluruh makhluk yang lain. Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia ” (Al Ahzab: 72).

Ibnu Jarir berkata, “Maksud ayat tersebut adalah: sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dariKu yang akan menggantikan Aku dalam menegakkan hukum di tengah-tengah makhluk ciptaanKu di muka bumi. Dan khalifah tersebut adalah Adam dan orang-orang yang menggantikan kedudukannnya dalam taat kepadaKu dan menegakkan hukum dengan adil di tengah makhluk ciptaanKu. Adapun yang berbuat (kerusakan) dan menumpahkan darah bukan dengan cara yang haq adalah bukan dari para khalifahKu.”

Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan mengenai pemuliaan manusia sebagai khalifah di muka bumi:

“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di muka bumi” (Fathir: 39)

Dengan penegasan ini, tampaklah sebuah permulaan yang serius dalam proses penciptaan manusia. Awal itu penting, bahwa dari awal Allah telah menitipkan misi atas keberadaan manusia di muka bumi untuk beribadah dan sebagai khalifah. Bukan untuk melakukan pemuasan nafsu dan memperbudak diri sendiri di hadapan dunia, dan juga bukan untuk bersenang-senang saja sebagaimana sifat orang yang tidak beriman:

“Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” (Muhammad: 12 ).

Titik kesadaran awal dalam membangun rumah tangga adalah momentum untuk dijadikan sebagai landasan perubahan di masa-masa yang akan datang. Dengan kesadaran ibadah di awalnya, akan menyebabkan terangkatnya momentum tersebut dalam setiap aktivitas kerumahtanggaan. Apabila terjadi penyimpangan, akan segera bisa diingatkan dengan titik kesadaran awal bermulanya rumah tangga tersebut.

Namun, ada pula awal yang terlanjur buram, bahkan ada yang tidak merasakan berawal. Tiba-tiba telah terkurung dalam ritual keluarga, dengan segala atribut hak dan kewajiban yang tidak mungkin dilepaskan. Bisakah mereka diminta kembali mundur ke belakang, untuk mengulangi sejarah dari awal pembentuka rumah tangga mereka ?

Kalaupun awalnya tidak baik, sesungguhnya bisa dihapuskan dengan proses berikutnya. Maka, awal memang penting, namun lebih penting lagi adalah proses. Dalam kehidupan berumah tangga, selalu ada proses yang berjalan. Sejak proses adaptasi dengan suasana baru, kebiasaan baru, peran baru, sampai pola interaksi dan komunikasi yang baru, jika dibandingkan dengan sebelum berumah tangga.

Dosa-dosa masa lalu harus dikubur. Jika bersedia mengawali dari titik nol, dengan taubat kepadaNya, maka hadirlah sosok baru dalam keluarga. Yang penting adalah menjaga agar proses internalisasi kebaikan selalu terjadi dalam diri, tidak pernah berhenti. Jika kemaring masih suka maksiat, sekarang harus mengganti dengan taat kepadaNya. Jika kemarin masih malas ibadah, sekarang mendekatlah kepadaNya. Jika kemarin belum menemukan kesalihan diri, sekarang hadirkanlah jiwa kesalihan yang murni. Inilah yang dimaksud proses.

Tidak cukup mengandalkan awal yang baik, karena jika tidak ditindaklanjuti dengan proses yang baik, semua bisa berantakan dan tidak menemukan pulau harapan. Untuk itulah, perlu mengerti beberapa prinsip fundamental yang menyusun kebahagiaan rumah tangga. Agar, mereka yang memulai dari yang baik maupun tidak, bisa berproses dalam kehidupan keluarga menuju kebahagiaan hakiki, yang diidamkan semua orang, didambakan semua pasangan, dicita-citakan semua insan.

Sekarang, cobalah berproses untuk membangun dan menjaga kebahagiaan rumah tangga anda. Saya yakin, insya Allah, anda bisa mendapatkannya.

Tidak ada komentar: