Apa Hukumnya Merayakan Maulid Nabi ? (2)
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (1173-1250H)
PEMBAHASAN BUKU
Buku ini walaupun ringkas akan tetapi sangat besar sekali manfaatnya, dikarenakan penulisan buku ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan sebuah buku, akan tetapi ia merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang datang kepada Al Imam Asy-Sayukany, maka beliau menuliskan jawabannya ini, dan beliau menguatkan jawabannya dengan berkata:
[1]. Saya tidak mendapatkan sebuah dalilpun akan disyariatkannya perayaan ini, baik dalam Al Qur'an atau As-Sunnah atau qiyas atau yang dalil lainnya.
[2]. Beliau menukilkan ijma kaum muslimin bahwa perayaan ini tidak pernah dilaksanakan pada generasi yang paling mulia, generasi sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan juga tidak pada generasi setelahnya.
[3]. Tidak ada seorang ulama-pun yang menukilkan dari ulama sebelumnya bahwa acara ini bukanlah acara bid'ah, bersamaam dengan itu mereka sepakat bahwa setiap perbuatan bid'ah merupakan kesesatan.
[4]. Beliau membantah pendapat orang yang membagi bid'ah menjadi lima hukum, bahwa pembagian ini tidak ada dalilnya dan juga sama sekali tidak beralasan.
[5]. Pengaruh kekuatan para pemimpin dan raja serta kesholihan mereka dalam mengarahkan rakyat menuju kepada jalan selamat dan untuk tidak mengambil pendapat siapapun yang tidak berdasarkan pada dalil.
[6]. Begitu cepatnya amalan bid'ah menyebar pada masyarakat apabila para ulama tidak berjuang menjelaskan akan buruknya amalan bidah, dan menerangkan akan kejahatan para ulama jahat, atau yang kurang ilmunya, dan kejahatan orang yang berusaha mendapatkan kedudukan dunia dalam rangka mengumpulkan harta dengan cara memberikan contoh buruk.
[7]. Perjuangan ahli bid'ah untuk menyebarluaskan kehinaan dan simbol-simbol yang berbau khurofat di tengah-tengah masyarakat, serta mereka akan marah apabila masyarakat enggan untuk menerimanya, sebagaimana diungkapkan oleh pengarang: Masyarakat tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut dijadikan perantara untuk dilakukannya segala bentuk kemungkaran, dan sebagai penghalang bagi setiap orang yang akan mengingkarinya, dan mereka akan melakukan dalam perayaan maulid mereka, yang tidaklah dihadiri kecuali oleh orang-orang rendahan- segala kemungkaran, dengan beralasan : Telah hadir dalam perayan maulid si fulan dan si fulan dan seterusnya.
[8]. Perayaan maulid seperti ini pasti disertai dengan berbagai bentuk kemungkaran dan hal-hal ang diharamkan dalam agama.
[9]. Usaha untuk menutup semua celah yang akan menghantarkan kepada hal-hal yang diharamkan, dan ini merupakan salah satu dari tujuan syariat ini.
[10]. Semua orang yang mengarang buku tentang maulid Nabi tidak mampu mendatangkan satu alasanpun yang berdasarkan kepada dalil yang syar'i dan kuat, bersamaan dengan itu mereka semua mengakui bahwa perayaan maulid adalah sebuah bid'ah, sehingga mereka membikin syarat-syarat yang sangat sulit dalam perayaannya.
KETERANGAN PARA ULAMA TENTANG BID'AHNYA PERAYAAN MAULID
Para ulama baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak telah sepakat bahwa perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (ulama terdahulu), dan diantara pernyataan mereka :
[1]. Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya "Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim", hal: 295 tentang Maulid Nabawy: "Tidak pernah dilakukan oleh as-salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama terdahulu) -semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan". Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab "Al Fatawa Al Misriyah" 1/312.
[2]. Pernyataan Al- Allamah Al- Imam As Syaikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya "Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid".
[3]. Beberapa ulama berpegangan dengan pernyataan Al-Fakihany dalam bukunya ini, diantaranya :
[a]. Al Maliky dalam Hasiyahnya terhadap kitab "Mukhtashor As-Syaikh Kholil Al- Maliky", 7/168, dalam pembahasan Al-Washiyah, beliau menyatakan: "Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al-Fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya".
[b]. Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya "Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik", 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata "Kalau Allah menyembuhkan sapi-ku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : "Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah disunnahkan".
[4]. Ungkapkan pengarang kitab "Al Mi'yar Al Maqhrib" dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib "Ustadz Abu Abdillah Al-Hiar" terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut adalah Bid'ah, mewakafkan pohon tersebut adalah satu sebab masih berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam ungkapan beliau: "cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara yang benar (disyari'atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari'at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan mengikuti para salaf sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka".
[5]. Ungkapan Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syaikh Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda'wah kepada kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: "Sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula keterangan dan hujah syar'iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari'at penghulu segala rasul (agama Islam)", di kutip dari "Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed", hal: (4 / 440).
[6]. Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka sebut "nafilah", dan apa yang dilakukan pada tanggal 27-Rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian amalan malam nisfu sya'ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: "Semua hal tersebut adalah Bid'ah, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata.
"Artinya : Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak".
Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan.
"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid'ah, dan setiap Bid'ah itu adalah sesat".
Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi'in, telah disebutkan dalam hadist yang shohih.
"Artinya : Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak".
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.
Sebagaiman firman Allah Subahanhu wa Ta'ala.
"Artinya : Apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari'at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah". [Asy-Syuura: 12].
Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lebih mengetahui". [Dinukil dari Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed bagian II. ha l: 4/357-358].
[7]. Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab : "Perbuatan maulid adalah perbuatan bid'ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut adalah bid'ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang melakukannya". [Dinukil dari "Ad-Durar as-sunniyah", hal : 7/285].
[8]. Jawaban Imam Asy-Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab : "Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid'ah yang diada-adakan, setiap bid'ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid'ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini". [Dikutip dari Fatwa Asy-Syatiby, no: 203, 204]
[9]. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar Al-Qusyairy dalam kitabnya "As-sunan wal mubtadi'aat al muta'alliqah bil azkar wash sholawaat", hal : 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi'ul Awal dan bid'ah melakukan maulid pada waktu itu. "Tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi'ul Awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum'at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid'ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi'in serata para ulama yang hidup setelah mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid'ah kemudian diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
[10]. Perkataan Ibnul Hajj dalam kitab "Al Madkhal", hal : (2/11, 12) setelah ia menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud melaksanakan maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid'ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al Makky dalam sebuah karangannya sungguh telah disebutkan dalam hadist.
"Artinya :Tidak akan terjadi hari kiamat sampai yang ma'ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma'ruf".
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan, barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.
Ibnul Hajj menambahkan lagi : Sebagian penyair telah menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,
Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar,
Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan
Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing,
Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,
Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat,
Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya,
Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,
Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,
Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.
Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, hal: 25 : "Berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang digambarkan syara (agama)".
[11]. Perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya "I'lamu Al Muwaaqi'in", hal: (2/ 390-391). "Jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut tidak ada".
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta apa yang beliau sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang sama juga, dan seterusnya, maka terbuka lebarlah pintu bid'ah, setiap orang yang melakukan bid'ah akan berkata : Dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak dilakukan Rasulullah".
[12]. Jawaban Al Hafizh Abu Zur'ah Al-Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: "Memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan". Lihat Tasyniiful Azan, hal: 136.
[13]. Fatwa Abu Fahdal Ibnu Hajar Al-Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As-Suyuthy dalam kitabnya "Husnul maqsad fi 'amalil maulid", di situ Ia katakan: "Asal perbuatan maulid adalah bid'ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama". Lihat "Al-Hawy lil Fatawa", hal: 1/196.
[14]. Fatwa Syaikh Zhohiruddin Ja'far Al Tizmanty tentang hukum maulid: "Melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara mereka terhadap nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau hanya secuil". Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At Thobaahk dan Al Tizmanty oleh pengarang kitab "Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil-ibad", hal: 1/441-442
[15]. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari lahirnya nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu Abdillah Al-Hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab Al Mi'aar, hal: 7/100. Yang berbunyi : "Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama) tidak pernah membedakan antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi'ul Awal, kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut.
[16]. Ditambah lagi dibalik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.
Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab Al-Madkhal, hal: (2/15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: "Yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembira-ria untuk kelahiran nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku". Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tanpa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan dalam kematian Rasulullah:
Hitam kelam pandangan ku,
Hitam atas kepergian mu,
Ku relakan kematian selain mu,
Kecemasanku hanya atas kepergian mu.
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut (Rab'iul Awal) jusru mereka bergembira-ria dan berjoget-joget, bukanya menangis dan bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya. Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan bid'ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib bagi setiap muslim, tetapi bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan, gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahawat dan kesenangannya.
Jika ada yang berpendapat : Saya melakukan malid karena merasa bahagia dan gembira atas kelahiran nabi Muhammmad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian pada hari yang lain saya khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.
Jawabannya adalah :"Telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap bid'ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid'ah dalam sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid'ah, dan semakin banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu 'alam.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya "Al Maurid fi 'Amalil Maulida" : Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut".
Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya.
Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa yang telah berusaha melarang bid'ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab "Tarikh Al Islam", hal: (4/181). "Al Afdhal", semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, upacara maulid fathimah, upacara maulud Ali, dan upacara maulid khalifah Al qoim biamrillah".
Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -Asy-Syaukany- dalam kitab ini hal: (50). Ketika ia memuji khalifah Al-Mahdy lidinillah bin Abbas Al Mashur, dan menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.
Barang siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendak jangan sampai melaksanakan bid'ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran -yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala- untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid'ah yang tersebar di sana yang telah berlangsung lebih dari dua abat setengah.
Bilamana pemberantasan bid'ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja, sebaliknya membiarkan bid'ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.
Semoga Alla memberi taufik dan kebaikan kepada kita semua terhadap segala hal yang Ia cintai dan diredhaiNya, salam sejahtera buat nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari buku "Maa hukmul Ihtifal bi maulidin Naby", ditulis oleh Imam Syaukani, editor Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih, diterjemahkan oleh Ali Musri Lc, Aspri Rahmat Lc, Arifin Badri Lc, dan M. Nur Ihsan Lc.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar