Aku adalah gadis yang biasa dididik di lingkungan ‘agamis’, yaitu lingkungan ponpes dari salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Meski orang tuaku tidak begitu paham agama, tapi sejak kecil aku sudah biasa ikut mengaji kesana kemari, mulai dari TPA, mendatangkan ustadz ke rumah sampai akhirnya di ponpes.
Saat SMP aku begitu ingin memakai jilbab saat ke sekolah, karena aku malu jika bertemu teman pondokku di jalan. Tapi aku tidak enak mau minta baju baru ke orang tuaku. SMP kelas 3, di depan rumah guru lesku ada sebuah tempat penyewaan buku-buku Islami. Entah mengapa aku begitu ingin kesana. Akhirnya aku kesana dan menemukan buku-buku tentang hijab wanita muslimah, dari situ aku baru tahu bahwa berhijab itu wajib, bukan hanya pada saat sholat atau pengajian. Aku sama sekali tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang hijab selama mengaji di ponpes. Hal tersebut membuat keinginanku untuk berjilbab semakin menggebu-gebu. Aku juga jadi suka membaca buku-buku Islami di luar kitab-kitab kuning yang selama ini kupelajari di ponpes.
Aku juga ingin sekali mondok yang jauh dari rumah agar aku bisa mandiri dan bisa belajar banyak tentang ilmu agama, tapi ayahku tidak mengizinkan, beliau tidak tega karena aku anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Akhirnya aku bersekolah di sebuah SMA negeri di salah satu kota di Jawa Timur. Di kelas, aku mendapat teman yang ‘sealiran’, maksudnya sama-sama ngaji di pondok, bahkan dia anaknya kyai. Aku jadi makin bersemangat. Aku merengek-rengek pada orang tua agar aku dipondokkan. Akhirnya aku dipondokkan di ponpes dekat rumah. Saat SMA itu aku sudah mulai berkerudung meski belum sempurna. Di sekolah aku juga menjadi anggota rohis. Dari situ aku tahu juga bahwa pakaian wanita itu harus longgar. Dan aku mulai berproses memakai rok dan gamis yang lebar dan panjang. Suatu hari saat acara keputrian di rohis, aku bertanya pada kakak kelasku yang berjilbab lebar. Aku tanya kenapa ia dan beberapa akhwat senior lain memakai jilbab lebar. Jawabannya sangat mengejutkan, ia menjawab bahwa itu bergantung kenyamanan masing-masing. Dan mereka merasa nyaman dengan jilbab lebar itu. Dari situ akhirnya aku tetap istiqomah dengan kerudung kecilku karena aku merasa nyaman dengan kerudung itu. Sungguh minimnya ilmu agamaku saat itu.
Sekitar 1 bulan mondok, aku tidak tahan karena barang-barangku banyak yang hilang, dan teman-teman sekamarku (sekamar 10 orang) suka meminjam peralatan milikku dan tidak membersihkan/mengembalikannya saat selesai memakai. Intinya mereka menurutku suka ghosob. Aku tidak mau mondok lagi, tapi aku kembali seperti dulu hanya ikut sekolah diniyyah sehabis maghrib sampai jam 09.30 malam.
Kelas XI SMA, aku mulai menjadi pengurus rohis. Biasanya kegiatan-kegiatan di rohis diisi oleh orang-orang haroki. Pada hari yang telah ditentukan, ternyata ‘ustadz’ yang biasanya mengisi kegiatan selalu tidak bisa hadir, sehingga kegiatan sempat vakum beberapa bulan. Suatu hari, ketua rohis mengumumkan bahwa akan diadakan kajian di masjid. Aku sangat bersemangat, meski aku belum tahu siapa yang mengisi kajian tersebut. Hari itu dibahas mengenai makna Laa ilaaha illallooh, suatu bahasan yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Ustadznya juga membahas tentang bid’ahnya tahlilan, yasinan, barzanji, dll. Aku sangat kaget, karena kegiatan-kegiatan itu merupakan kegiatan rutin di ponpes dan lingkungan rumahku. Tapi hal itu justru membuatku semakin penasaran untuk mendalami apa yang disampaikan ustadz tersebut.
Akhirnya aku tahu bahwa itu adalah kajian bermanhaj salaf. Aku terus mencari tahu melalui bertanya, ikut kajian di sekolah, dan membaca buku-buku yang dipinjamkan oleh teman-temanku yang sudah bermanhaj salaf. Memang sangat bertolak belakang dengan yang aku pelajari selama ini, terutama masalah ‘aqidah. Dari kajian salaf aku tahu bahwa Alloh itu di atas langit. Lalu aku tanyakan hal itu pada orang-orang di pondokku, tapi aku malah kena marah dari mereka. Ketika aku punya pertanyaan, aku selalu menanyakan hal itu pada dua orang, satu pada teman pondokku yang sudah senior, satu lagi kepada ikhwah salaf. Jawaban dari teman pondokku itu selalu tidak masuk akal dan berbau sufi, sedangkan para ikhwah salaf selalu menjawabnya dengan dalil-dalil dan keterangan para ‘ulama. Dari situ aku semakin yakin atas kebenaran manhaj salaf. Tapi saat itu aku belum tahu cara berdakwah yang benar, yaitu dengan lemah lembut. Aku sangat frontal berdakwah pada keluargaku. Aku tidak mau yasinan, tahlilan, dll. Keluargaku marah besar. Semua buku-buku bermanhaj salaf dan kaset-kaset kajian yang kupinjam dari temanku disita oleh orang tuaku dan entah dibuang kemana. Aku juga mulai berjilbab lebar, karena aku sudah tahu bahwa itu dicontohkan oleh istri-istri Rosululloh dan para shohabiyah. Ibuku sangat tidak suka dengan cara berpakaianku saat itu. Apalagi aku tidak pernah melepas jilbabku jika ada non mahrom, meskipun di dalam rumah.
Ayahku melapor pada kepala sekolah tentang kajian salaf di sekolahku itu. Kami yang istiqomah ikut kajian salaf disidang di sekolah. Terutama para ikhwan karena celana mereka jadi cingkrang (di atas mata kaki). Guru agama di sekolahku terus menasihati agar kami tidak terjerumus pada aliran sesat. Kami hanya tersenyum mendengar nasihat itu.
Tapi ujian itu tidak berhenti sampai disini. Aku sendiri disidang oleh ustadz dari ponpes dan ortu memaksaku mengaji pada ustadz tersebut. Kami sempat debat masalah wajibnya hijab, aku tunjukkan dalilnya, dia blingsatan kebingungan bahkan sepertinya dia tidak pernah tahu tentang dalil itu. Lucunya lagi, ustadz tersebut menolak saat aku minta agar dia mengajariku tafsir Ibnu Katsir. Alasannya harga kitabnya mahal, aku tantang bahwa ayahku pasti sanggup membelikannya, dia bingung. Lalu dia jawab bahwa kyai ponpes saja belum pernah belajar tafsir itu dan untuk ‘kelas teri’ sepertiku harusnya belajar tafsir jalalain. Subhanalloh.. begitulah makar ahli bid’ah yang suka ngeyel...
Selain itu, aku dipingit, sekolah diantar jemput dan tidak boleh pergi kemanapun setelah pulang sekolah. Bahkan aku pernah diusir dari rumah oleh orang tuaku. Mereka mengusirku di depan saudara-saudara dan tetanggaku, karena saat itu aku mencoba menjelaskan tentang bid’ah pada mereka. HP-ku juga disita, sehingga aku tidak bisa berhubungan dengan teman-temanku yang bermanhaj salaf. Artikel-artikel bermanhaj salaf di komputerku juga dihapus permanen semuanya. Aku juga pernah dituduh termasuk golongannya teroris yang ngebom disana-sini. Saat itu tiada hari tanpa menangis dan terus memohon pertolongan pada Alloh agar aku bisa terbebas dari semua ini.
Lalu seseorang menasihatiku dengan firman Alloh,
‘Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?’ [QS. AL-ANKAABUT: 2]
Tiada seorangpun yang semakin tinggi derajat keimanannya melainkan pasti akan semakin besar pula ujian yang akan dihadapinya.
Ikhwah salaf lainnya juga menasihatiku agar aku berakhlaq baik terhadap orang tua, tidak frontal dalam berdakwah dan menunjukkan bahwa aku bisa menjadi semakin baik setelah ikut ngaji salaf, serta aku harus SABAR. Aku ikuti nasihat-nasihat dari para ikhwah tersebut. Alhamdulillah.. saat itu nilai-nilai akademikku juga tidak mengecewakan. Aku berusaha berbakti pada orang tuaku selama tidak dalam kemaksiyatan, sambil mendakwahi mereka dengan lemah lembut. Dan tak lupa selalu berdo’a pada Alloh.
Tahun demi tahun berganti, hati orang tuaku luluh.. wal hamdulillah... Setelah masuk kuliah (aku dipaksa kuliah oleh orang tua) aku diperbolehkan ikut kajian salaf, memakai jubah dan berjilbab lebar. Buku-buku bermanhaj salaf juga tidak disita lagi. Aku bebas mendengarkan audio kajian salaf di rumah. Bahkan ayahku mau membelikan buku-buku bermanhaj salaf saat ada Islamic book fair di kotaku. Beliau juga mau membelikan tafsir As-Sa’diy untukku. Alhamdulillah..
Aku sangat bersyukur... Ibuku bahkan sekarang gemar menjahitkan jubah untukku. Aku juga sudah bisa mulai bercadar saat keluar rumah, meskipun saat kuliah belum bisa (karena tidak diizinkan pihak kampus). Orang tua sekarang juga sedikit-sedikit sudah mulai menerima da’wah salaf, meski belum mengamalkannya. Mereka juga mulai sering bertanya masalah dien kepadaku. Wal hamdulillah..
Inilah manisnya buah kesabaran...
Katakanlah, “yang haq pasti akan menang dan kebathilan pasti lenyap.”
--Zahrotul ‘Azizah As-Salafiyyah—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar