Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Selasa, 09 Februari 2010

Dia Bukan Teroris!!

Dia Bukan Teroris!!
Pertama kali masuk kampus UII…Tegang sih, tapi, ah mungkin itu cuma perasaanku saja. Setelah seminggu OSPEK, akhirnya aku resmi menjadi warga kampus ini dan tercatat sebagai mahasiswa. Para mahasiswa disini kayaknya juga alim-alim. Aku memperhatikan sambil meneguk segelas es kelapa muda di kantin samping kampus. Tak kusadari ternyata sedari tadi ada yang memperhatikanku di bangku tengah deretan paling kanan. Kulihat seorang akhwat tersebut menggeser kursi duduknya kebelakang dan langsung menghampiri aku.
“Assalamu’alaikum!” sapa gadis itu.
“Wa’alaikumussalam!” jawabku masih bingung.Kulihat dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
“Afwan, kemarin terjatuh!” katanya sambil menyodorkan sebuah blocknote kepadaku.
“Oh, ya! Terimakasih banyak ya…” balasku sambil mengangsurkan tangan mengambil blocknote tersebut. Ini kan blocknote catatan OSPEK kemarin, kok bisa sampai terjatuh sih? Dimana? Baru saja pertanyaan itu hendak kulontarkan padanya, segera ia mengucapkan salam dan berlalu dengan tergesa-gesa. Alhamdulillah, batinku! Akhirnya ketemu juga.
Pffiiuuhh… capek juga pulang dari kampus. Kurebahkan tubuhku yang lungkrah ini keatas permadani empuk yang sudah sedari pagi tadi kutinggalkan. Tapi pikiranku masih penuh. Aku masih harus mencari kost-kostan di dekat kampus. Soal jarak antara rumahku dengan kampus jangan ditanya. 1 jam perjalanan setiap hari bukanlah perkara sepele. Maka itu aku harus cepat-cepat dapat kost sebelum tugas kuliahku semakin menumpuk. Perlahan mataku terasa berat…..
~~**~~


Acara nyari kost yang sungguh melelahkan. Padahal di kost tu nggak semuanya enak. Apa-apa sendiri, dan memang harus mandiri. Nggak beda donk sama kayak di pesantren.
“Tapi kan mendingan di kost-an. Kalo di pesantren, dari mata melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan ditaati. Setidaknya kalau disini kita sedikit lebih bebas.” begitu tutur Nur Ichwan Ergin Ramadhani yang akrab kusapa Ergi. Dia adalah seniorku yang rela membagi kamarnya untukku. Lumayan luas dengan 2 tempat tidur, bersih, MCK terjamin. Meski senior, tapi dia nggak ‘sok kaya senior yang lain. Dia baik, tenang, bijaksana, dan yang pasti alim. Percaya nggak percaya ternyata dia adalah ketua umum rohis di kampusku yang kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Waktu SMP kelas 1, aku sempat mengikuti program Pesantren Kilat di Ponpes desaku. Aku kira disana itu enak, eee…nggak taunya malah bikin stress. Gimana enggak, betul kata Ergi barusan! Dari mulai mata melek sampai melek lagi semuanya sudah diatur. Bayangkan, bangun jam 03.00 dini hari. Lalu sholat malam, muhasabah yang bikin nangis (meski hanya sementara), tadarus sampai subuh. Sholat subuh, dengerin kul en tum (bukan kuliah tujuh menit lagi, tapi kuliah enam puluh tujuh menit!!) begitu seterusnya. Udah tidur kurang, makan nggak enak, kebanyakan kegiatan sih. Sampai sempet sakit segala. Itulah sebabnya kenapa aku anti pati dengan yang namanya pesantren.
Aku baru tahu, kalau Ergi tuh jebolan pesantren juga. Pantesan aja kalau aku ngomongin pesantren dia langsung nyambung. Malah aku pernah dikisahin tentang pesantren yang telah berperan penting dalam hidupnya.

Sejak berumur 7 tahun, Ergi sudah ditinggal kedua orangtuanya. Lalu dia hanya tinggal bersama kakeknya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Akhirnya Ergi diserahkan sepenuhnya ke pesantren agar tetap dapat menuntut ilmu meskipun tidak memiliki biaya yang cukup. Di pesantren Ergi memang mendapat banyak ilmu, ilmu agama khususnya. Namun dengan kondisi seperti itu, Ergi harus bekerja ekstra untuk memenuhi tuntutan pesantren.
Bangun jam 3 dini hari, membersihkan mushola, mengisi air untuk wudhu dan mandi para santri, menyapu halaman, kelas-kelas, aula dan masih banyak lagi pekerjaan yang harus ia kerjakan setiap harinya. Meski para santri juga dijadwalkan untuk membersihkan pesantren, tapi tetap saja bagian Ergi paling banyak. ‘Kalau begini terus, kapan saya belajarnya Pak?’ protes Ergi kala itu. ‘Lho, kenapa? Kamu nggak terima kalau harus membantu operasional pesantren ini? Le, kamu itu disini ibaratnya cuma numpang. Ya jelas beda dong tugas kamu dengan mereka. Tapi kan kamu masih bisa belajar disaat waktu luang kamu, ya to?’ Waktu luang? Kapan? Dari hari masih gelap sampai gelap lagi seolah-olah waktu luang tidak bersahabat dengannya.

“Dasar mata duitan! Kamu tahu Lang, saat itu ingin sekali sapu lidi yang ada ditanganku kulemparkan padanya. Pemimpin tidak adil…” lanjutnya.
“Kenapa tidak kau lakukan saja?”
“Nggak mungkin lah, usahaku untuk protes itu saja kupikir sudah tindakan yang cukup berani untuk seorang bocah sepertiku.” kenangnya.Sekilas kulihat raut wajah Ergi berubah. Raut wajah yang menggambarkan perasaannya. Mungkin marah, sedih, atau menyesal. Menyesal karena telah dilahirkan untuk menjalani hidup yang mungkin tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Dari sini aku bisa melihat kelelahan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang lelah, pikiran yang lelah dan hati yang lelah. Tapi semua itu tidak dirasakannya demi menggapai segala tekad dan harapan yang sudah meleleh dihatinya, mengalir dalam darah merah semerah semangatnya untuk mendapatkan segala asa yang menggantung dibenaknya.
~~**~~

Di kampus, tidak sengaja aku melihat gadis yang menemukan blocknote ku kemarin. Dia terlihat manis dengan baju gamis dan jilbab lebarnya yang berwarna biru muda. ‘Anggun sekali gadis itu’ batinku. Tanpa kusadari, hatiku ingin tahu juga mengenai gadis tadi. Paling nggak namanya siapa…
“Assalamu’alaikum!” terucap sebuah salam dari bibirnya saat kami berpapasan di koridor kampus. Kulihat dibibirnya menyunggingkan senyum manis khas wanita muslimah.
“Wa’alaikumussalam…” jawabku membalas salamnya. Hanya itu yang bisa kulakukan… Andai aku tahu banyak tentangnya, andai Allah… Ah, aku tidak mau berkhayal terlalu tinggi. Nanti kalau jatuh pasti sangat sakit rasanya. Saat pelajaran usai, aku berniat untuk segera pulang dan mengerjakan tugas kampus yang siap untuk aku garap. Saat menyusuri koridor, aku melihat Ergi dengan teman-temannya sedang berkumpul dibangku depan perpustakaan. Aku baru berniat untuk menghampiri ketika ada 3 orang akhwat yang lebih dulu menghampiri mereka. Aku mengurungkan niatku saat kulihat salah satu dari mereka adalah gadis berjilbab biru muda. Mereka kemudian tenggelam dalam diskusi. Akan tetapi tidak lama gadis itu pergi dan langsung diikuti oleh kedua temannya. ‘Kenalkah mereka?’ batinku bertanya.
~~**~~

Sampai kost, kulihat Ergi sudah berada di kamar sedang membaca buku. “Darimana? Kok baru nyampe?” tanyanya melihat aku yang capek dan berpeluh.
“Iya nih, tadi nyari buku dulu muter-muter. Susah banget!”
“Dapet nggak?”
“Alhamdulillah…nie!” Dia hanya melirik dan sepertinya pikirannya masih disibukkan dengan buku yang ada di tangannya. Langsung kurebahkan tubuhku dan kulemparkan ransel yang sedari tadi menggantung dipunggungku kesamping kasur. Aku menghela nafas panjang, mataku terasa berat sekali setelah seharian beraktivitas. Tapi tugas kampus tetep nggak bisa nunggu.
“Huuh…capek nih! Tugas masih banyak lagi…”
“Ya udah buruan kerjain, jangan tidur! Ntar kebablasan malah repot! Kerjakanlah tugas dengan baik mumpung masih ada kesempatan. Jangan sampai kita menyesal esok hari!”Adduh..kalo Ergi udah ngomong gitu, kayaknya dalem banget. Nasehat apa nakut-nakutin ni Mas??
Setelah semua selesai, aku berniat mandi untuk menyegarkan pikiran kembali. Setelah itu barulah aku dan Ergi menunaikan sholat Maghrib berjamaah di mushola sebelah. Selesai dzikir, tanpa terasa kami terlibat dalam diskusi kecil.

“Lang, kamu pernah berfikir nggak bisa mendapatkan penghargaan dunia akhirat?” tanya Ergi padaku membuka diskusi malam itu.
“Apa? Penghargaan dunia akhirat? Maksudnya apa sih?” tanyaku polos tidak mengerti.
“Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Dzat yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini.” sambung Ergi.
“Caranya?” tanyaku masih belum mengerti sepenuhnya apa yang sebenarnya Ergi bicarakan.
“Caranya dengan kita selalu mengikuti syariah Islam. Melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Amar ma’ruf nahi munkar. Menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Bukan hanya menjauhi, tapi kita juga harus membasmi habis kejahatan dan kemaksiatan yang ada dimulai dari sekitar kita. Karena itulah sumber kemunkaran didunia ini. Bagaimanapun caranya, meski kita harus mengorbankan nyawa sekalipun.” tuturnya panjang lebar.

“Semacam gerakan berani mati?” tanyaku.
“Kenapa? Masih takut? Percayalah, Allah telah berfirman sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”Aku hanya bisa diam saat Ergi mengakhiri kalimat yang barusan ia ucapkan.
“Er, kenapa kamu tanyakan ini kepadaku? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?” aku berusaha mencari tahu apa sebenarnya maksud Ergi.
Kulihat dia hanya tersenyum tipis. Selalu itu yang dia lakukan bila kutanya sesuatu dan dia tidak hendak menjawabnya. Sayup-sayup terdengar adzan Isya’ dikejauhan. Dan saat itulah diskusi kami berakhir. Kemudian Ergi berdiri dan mengumandangkan adzan dengan hidmat dan penuh syahdu. Kami kembali sholat berjamaah dengan khusyu’. Terasa benar keheningan malam itu.
~~**~~

“Eh, Gilang, ntar abis kuliah lo mau kemana? Nggak langsung pulang kan?” pertanyaan keras Firman sejenak membuyarkan pikiranku tentang diskusiku dengan Ergi tadi malam.
“Emang kenapa? Mau nraktir makan siang dulu?” godaku.
“Yaah, boleh deh! Tapi bantuin gue nyari buku di perpus dulu ya, soalnya gue belum punya, tuh buku kan buat referensi ngerjain tugas kemarin. Lo udah dapet belum?” cerocosnya sambil ngeluarin buku-buku dari ranselnya sebagai bukti kalau dia bener-bener belum punya referensi satu buku-pun.
“Gue juga baru nyari kemarin di toko buku. Iya deh, ntar gue bantu nyari!” Setelah kuliah selesai, kami berdua bergegas ke perpustakaan. Nyari disana, nggak beda sama nyari di toko buku. Tetep susah… Setelah hampir satu jam, akhirnya aku temukan juga buku yang sama persis dengan yang kubeli kemarin. ‘Tau disini ada, kemarin nggak perlu muter-muter dan nggak perlu ngeluarin duit banyak kan’ pikirku.
“Nih, persis sama dengan buku yang gue beli kemarin.” kataku sambil menyodorkannya ke Firman. Sejenak dia memperhatikan dengan seksama sebelum akhirnya berkata, “Ini dia buku yang gue cari. Thank’s ya…Eh, kantin udah nunggu tuh!” katanya konyol padaku sambil memutar-mutar buku diatas jari telunjuk.

Ketika kami menyusuri koridor menuju kantin, kembali aku melihatnya. Seorang akhwat yang selalu mengundang rasa ingin tahuku padanya. Aku hendak bertanya pada Firman siapa gadis itu saat dia menyapa,
“Assalamu’alaikum ukhti Salma!”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh…” jawabnya lengkap, tak lupa sambil tersenyum manis.
“Eh, lo kenal dia? Sejak kapan? Kok nggak pernah cerita sih?” tanyaku dengan penuh rasa kaget dan nggak percaya kalo ternyata temenku yang satu ini kenal dengan gadis yang selama ini ingin kuketahui siapa dia.“Yaah, gimana sih?! Katanya satu kost sama Mas Ergi, kok nggak tahu menahu gitu?”
“Maksud lo apa sih? Kok bawa-bawa nama Ergi segala? Emang ada hubungannya?” tanyaku dengan penuh ketidakmengertian.
“Waduuh, ni anak kebangetan ya! Ya Allah, bukakanlah jalan fikiran temanku yang satu ini agar dia lebih mengetahui apa-apa yang ada dihadapannya dan apa-apa yang pantas untuk diketahuinya Ya Allah….” kata Firman sambil mengangkat tangan seperti layaknya orang yang sedang berdo’a.
“Eh, serius dong!! Ada hubungan apa mereka berdua?” tanyaku semakin heboh dan masih memendam rasa penasaran yang luar biasa.
“Ya ampun, jadi temen kost satu kamar lo itu bener-bener nggak cerita ya? Kayak gue dong, proaktif mencari fakta-fakta yang tersebar keseluruh kampus. Ni ya, Mbak Salma itu adalah mahasiswi jurusan Teknik Informatika FTI semester 3 di kampus kita. Naah, menurut narasumber yang dapat dipercaya Mbak Salma ini sebentar lagi mau dikhitbah oleh seseorang yang menginginkannya sebagai istri dan pendamping hidup. Karena kira-kira seminggu yang lalu Mas Ro’ib, senior yang satu kost denganku mendampingi ikhwan yang ingin melamar Mbak Salma untuk ta’aruf.“ tuturnya panjang lebar. Sejenak aku terdiam sambil menebak-nebak siapa orang yang ingin melamar Mbak Salma.

“Mau tahu siapa ikhwan yang seminggu lalu melakukan ta’aruf dengan Mbak Salma? Ya temen kost satu kamar lo itu! Ketua umum rohis di kampus kita. Kalau masih nggak percaya, tanya aja ma dia langsung. Udah jelas belum?” sambungnya. Sesaat seperti ada yang memukul kepalaku dengan benda keras. Dan meskipun seporsi mie bakso lengkap dengan daging ayam dan segelas es kelapa muda kesukaanku sudah terhidang didepanku, rasanya aku tak sanggup untuk menyantapnya saat ini. Mendadak aku kehilangan selera makan. Kulihat Firman sudah sibuk dengan hidangan didepannya. Aku undurkan kursi yang sedari tadi aku duduki, berdiri dan pamit pada Firman kalau aku mendadak nggak enak badan. Jadi pengen langsung pulang dan tidur. Sempat kulihat raut wajah bingung dari Firman ketika aku pamit.

“Eh, kok pulang sih? Ni baksonya belum dimakan. Kalau gitu buat gue aja ya Lang!” katanya menanggapi. Aku hanya bisa mengangguk perlahan sambil melangkah cepat keluar kantin.Dalam perjalanan pulang pikiranku penuh sesak layaknya bis yang kunaiki dipenuhi oleh para penumpang. Memang benar aku akhirnya mengetahui siapa gadis yang aku kagumi itu, namanya, jurusannya, semester berapa. Tapi bersamaan dengan itu pula aku mengetahui berita yang membuatku cukup shock. Salma, gadis yang sangat kukagumi dan aku berharap bisa lebih dekat dengannya ternyata sebentar lagi akan dikhitbah oleh teman kost satu kamarku sendiri. Dan anehnya aku mengetahui ini bukan dari Ergi sendiri, tapi dari orang lain. Ya Allah…
~~**~~

“Hei, Gilang bangun. Udah sore, udah sholat Asar belum?” sayup-sayup kudengar suara Ergi membangunkanku. Sesaat kubuka mataku yang masih ngantuk.
“Hmm…jam berapa nih?” tanyaku setengah sadar.
“Jam 5 lewat, buruan jangan sampe telat. Wudhu di mushola sekalian.” Aku bangun dan duduk menyandar di tembok sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
“Kenapa? Nyawanya belum kumpul ya?” ledek Ergi.Ergi, dia bukan sekedar sahabat bagiku. Dia baik, bijaksana, pandai menyelesaikan masalah, sering memberi nasihat tanpa maksud menggurui. Dan itulah yang kukagum padanya. Nggak salah dia mendapatkan seorang wanita yang kukagumi pula. Dalam hati aku mendoakan semoga pernikahan mereka kelak diberkahi Allah dan menjadi keluarga yang sakinah. Tapi, perasaanku tidak dapat dibohongi. Aku yakin ada rasa yang aneh dan rasa sedikit kehilangan bila mengingat Salma akan segera menjadi bagian dari hidupnya.

“Udah hampir sepuluh menit kamu duduk melamun, kalau digunakan berjalan ke mushola aku rasa udah sampai dari tadi!” tegurnya.Bergegas aku mengambil sarung dan pergi ke mushola.
Setibanya di kost, kulihat Ergi sibuk menyeterika baju yang menumpuk. Dia hanya melirik saja saat aku masuk kamar.
“Banyak banget seterikaannya!”
“Pantes banyak, beberapa waktu kedepan kan bakalan sibuk jadi nggak sempet nyeterika kan?” pancingku. Dan ternyata Ergi hanya diam menanggapi perkataanku barusan.
“Iya, soalnya kan harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara khitbah dalam waktu dekat ini. Iya kan?” tanyaku lagi. Mendengar kalimatku ini, dia langsung menoleh kearahku dengan pandangan yang bertanya-tanya.
“Darimana kamu tahu?” akhirnya dia menanggapi juga.
“Darimana aku tahu? Kayaknya akan lebih aneh kalau aku bilang aku tahu dari orang lain dan bukan dari orang yang bersangkutan langsung. Padahal kalau dipikir, dia itu satu atap denganku!!” sergahku dengan sedikit jengkel. Sejenak dia menghentikan kegiatannya.
“Gilang, maafkan aku kalau kamu lebih dulu tahu soal ini dari orang lain dan bukan dari aku. Tapi aku sungguh tak bermaksud merahasiakan ini dari kamu. Tapi sekarang kan udah jelas, jadi nggak ada masalah dong. Oiya, acara khitbah Insyaallah akan dilaksanakan 2 minggu kedepan. Kamu ikut ya.”

Aku hanya diam mendengarnya. Meskipun aku turut mendoakan supaya pernikahan mereka diberkahi, tapi aku masih merasa cemburu. Mengingat wanita yang akan dijadikan istrinya itu adalah Salma. Wanita yang selama ini diam-diam aku kagumi.
“Eh, kamu sudah tahu belum…”
“Sudah!” kataku memotong perkataannya yang aku yakin dia akan menanyakan aku sudah tahu belum tentang calon istrinya itu.
“Er, kamu memang pantas mendapatkan istri seperti Salma. Dia baik, dia cantik, dia solehah. Aku hanya bisa kasih doa semoga pernikahan kalian diridhoi Allah.” sambungku. Lalu aku berdiri dan pergi ke kamar. Sekilas aku melihat Ergi berubah raut wajahnya. Dia menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti sepenuhnya. Merasa bersalahkah ia padaku, tapi atas dasar apa? Toh dia tidak tahu perasaanku pada Salma.
Setelah selesai menyeterika, Ergi lalu menata bajunya dilemari. Aku berpura-pura sibuk dengan tugasku.

“Kamu kenal dengan Salma?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Nggak, cuma tahu aja. Dulu dia pernah menemukan blocnote-ku yang ternyata terjatuh di kampus. Lalu dia menyerahkannya padaku. Itu saja!”
“Dia itu, wanita yang dikenalkan temanku padaku. Dia wanita yang gigih dan pantang menyerah. Disini dia kuliah dengan tekad dan harapan yang besar. Aku salut padanya.”Memang cocok denganmu Er, kamu juga orang yang gigih dan pantang menyerah.
“Itukah yang membuat kamu berniat untuk menikahinya?”
“Bukan hanya itu, tapi itulah salah satunya.”
Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Lalu ia melanjutkan menata baju di lemari.
~~**~~

Perlahan aku membuka mataku. Gelap! Ternyata diluar gerimis. Jam berapa ini? Aku mengambil jam beker diatas meja. Dengan bantuan remang-remang cahaya dari atas jendela akhirnya aku tahu juga saat itu pukul 3 tepat dinihari. Shubuh masih satu jam lagi. Aku berniat mengambil senter, karena kebetulan aku pengen kebelakang. Aku bangunkan Ergi dimana ia tadi tidur disampingku. Mana dia? Kok nggak ada? Lalu aku mengambil senter dan segera kuarahkan ke tempat dimana tadi Ergi tidur. Benar saja, kasurnya kosong. Pergi kemana dia malam-malam gerimis begini?

Setibanya dari toilet, Ergi belum pulang. Mata udah nggak bisa merem. Tak terasa aku memikirkan sahabatku itu. Selama bersahabat dengannya, hampir tidak pernah aku dirugikan olehnya. Malah sebaliknya, banyak pelajaran hidup yang kuperoleh dari Ergi. ‘Hidup itu sebuah proses. Masalah kita berhasil atau tidak, ya tergantung bagaimana kita dalam mengikuti proses tersebut. Sesuai prosedur atau cuma ngawur. Secara kita sudah disediakan buku pedoman dan prosedur bagaimana untuk menjalani hidup ini dengan benar supaya nggak kesasar!’ begitu katanya kala itu. Ergi juga menerapkan, kita berani karena benar, takut karena salah. Bukannya takut salah atau takut mengakui kesalahan. Benar juga….
Jadi inget waktu kejadian di bis 3 hari lalu. Waktu itu kami pulang berdua dengan naik bis. Karena sudah penuh sesak, kami terpaksa berdiri. Dalam keadaan seperti itu aku sempat berfikir, kalau disini ada orang yang suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan pasti nggak akan ketahuan. Lihat saja, dengan keadaan penuh dengan penumpang dan barang seperti ini mustahil seseorang akan memperhatikan kantong mereka. Lebih mungkin mereka disibukkan dengan bagaimana mencari pegangan saat pak sopir mengerem dan menginjak gas supaya tidak terjatuh bergulingan dalam bis dan tidak menerima tatapan aneh dari sesama penumpang.

Barusaja aku membuang jauh-jauh pikiran itu, tiba-tiba Ergi yang sedari tadi berdiri dibelakangku menarik lengan seseorang dan langsung memukulnya tepat dibawah wajahnya. Aku yang melihat kejadian itu, kontan terkejut.
“Eh, kamu apa-apaan sih Er??” sergahku pada Ergi.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung merampas dompet yang ada ditangan orang itu dan menyerahkannya padaku. Sejenak aku terdiam. Haa?! Itukan dompetku! Segera saja aku tahu apa yang barusaja terjadi. Pikiranku tadi telah menjadi kenyataan rupanya, dengan mangsa…ya aku sendiri. Ya Allah, untung Ergi mengetahui niat jahat orang itu. Kalau tidak, aku bisa tidak makan 3 hari. Terimakasih ya Er, aku udah ngira kamu suka mukul orang tanpa sebab. Dia emang berani, karena benar. Sejak saat itu, aku menjadi lebih berhati-hati. Baik dengan keadaan maupun dengan pikiranku sendiri.
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang. Sudah shubuh rupanya. Aku bergegas mengambil sarung hendak pergi ke mushola. Didepan aku bertemu dengan ibu kost. Sepertinya beliau mau pergi ke pasar. ‘Pagi buta begini??’ batinku.

“Mau ke mesjid ya le?” tanyanya padaku.
“Eh, iya Bu.” jawabku. Rupanya ibu kost mau menjual hasil panen kangkung dibelakang rumah kemarin. Aku dan Ergi-pun kemarin turut membantu memanen kangkung. Lumayanlah, didapur masih ada persediaan untuk 2 hari kedepan. Siap-siap ngantuk aja…
“Oya, Bu. Kok Ergi tadi di kamar nggak ada. Kira-kira pergi kemana ya?” tanyaku terus terang.
“Oo, paling ada keperluan mendadak lagi. Dia anaknya memang sibuk. Ibu sendiri sampai heran. Bukan satu dua kali dia pergi malem pulang pagi, tapi udah sering. Kalau ditanya, pasti ada urusan penting ndak bisa ditunda. Tadi sih sama temannya. Maklumlah, dia itukan mahasiswa pinter jadi mungkin dibutuhkan dimana-mana gitu ya…!” jelasnya.
“Oh, kalau begitu terimakasih ya Bu. Mari…” ucapku mengakhiri pembicaraan.
~~**~~

Setibanya di kampus, aku bertemu Ergi.
“Er, eh, tadi malem kamu kemana? Pergi nggak bilang-bilang!” tanyaku. Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Tadi malam aku ada urusan, mendadak. Jadi nggak sempet bangunin kamu. Lagian kenapa sih? Takut tidur sendiri?” ejeknya.
“Malah ngeledek. Oya, kata ibu kamu sama temen ya? Siapa?”
“Mereka seangkatanku!”
Lalu dia mendahului aku. Aku hanya bisa memandangnya dengan bingung. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh padaku.
“Ntar pulang jam berapa?”
“Jam 1, emang ada apa?”
“Bisa aku ajak ke rumah temen sebentar?”
“Kemana?”
“Bisa nggak? Kalau bisa tunggu di depan perpus ya!” lanjutnya sambil berlalu. Setelah sekitar limabelas menit menunggu, akhirnya kulihat Ergi dengan beberapa temannya keluar dari kelas. Aku kira aku mau diajak pergi kerumah mereka. Tapi setelah Ergi dan temannya itu berpisah, aku baru tahu kalau bukan rumah mereka yang akan kami tuju. Ergi lalu mengajakku keluar kampus dan segera menuju ke rumah temannya.
Kami menyusuri gang sempit dan becek karena terguyur hujan tadi malam. Langkah Ergi cepat dan panjang, aku sampai ketimpangan mengikutinya. Gang ini terlalu sempit untuk dua orang yang berjejer, maka aku terpaksa berjalan dibelakang Ergi dengan tergesa-gesa agar jangan sampai tertinggal.

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya langkahnya terhenti didepan sebuah rumah kecil berbata merah yang sengaja tidak dipoles dengan semen dan cat layaknya rumah-rumah sebagaimana mestinya. Setelah mengetuk pintu beberapa kali dan mengucapkan salam, akhirnya pintu itu terbuka. Ergi langsung masuk dan duduk setelah dipersilahkan. Kemudian mereka memperkenalkan diri padaku. Yang satu lelaki paruh baya, agak jangkung, dan penampilannya perlente. Aku tidak terlalu dengar saat ia menyebutkan namanya. Tapi aku rasa dia bilang ‘Jhon’. Ya, mungkin itu namanya. Laki-laki yang satunya, juga memperkenalkan diri. Dia lebih muda, tapi tidak jangkung. Penampilannya terkesan apa adanya.Dan jelas dia menyebutkan namanya ‘Fauzan’. Setelah memperkenalkan diri lalu si Jhon tadi menjamu kami dengan segelas teh pahit dan beberapa potong pisang rebus. Selanjutnya mereka terlibat dalam diskusi yang tak kumengerti. Sudah hampir 1 jam lebih mereka berdiskusi. Akhirnya saat-saat yang kutunggupun tiba. Setelah selesai dengan urusannya, Ergi pamit pulang. Kamipun kembali menyusuri gang sempit dan becek.
~~**~~

Sepanjang jalan sampai di kost aku tidak berkata apa-apa. Begitu juga dengan Ergi. Mungkin kami kelelahan setelah berjalan cukup jauh. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan apa yang dibicarakan dengan temannya tadi. Saat ada kesempatan, aku langsung bertanya, “Er, tadi apa yang kalian diskusikan? Kayaknya penting banget. Aku nggak ngerti deh!”
“Bukan apa-apa.” Jawabnya singkat. Apa maksudnya? Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar jawabannya itu.
~~**~~

“Tolong, jangan pecahkan barang-barang saya… saya janji lusa akan saya bayar. Beri saya tempo…tolong…”
‘Prraaanngg!!!’ kemudian terdengar benda pecah berantakan. Aku dan Ergi seketika terbangun dan keluar guna memastikan apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ternyata itu suara induk semangku yang….sepertinya ditagih utang sama orang-orang yang berdiri dihadapannya.
“Halah!! Heh, kalau nggak bisa bayar nggak usah ngutang sekalian! Kemarin minta tempo, setelah dikasih malah minta tempo lagi. Sekarang bayar utangmu yang dua juta sekaligus dengan bunga yang 40% perbulan itu. Gampang kan!?! Jangan sampai kesabaran kami habis ya!!!”

Masyaallah, hutang dua juta dengan bunga 40% perbulan?? Hampir setengahnya! Ini namanya sudah lintah darat. Bagaimana bisa ibu kost terlilit hutang dengan para rentenir itu. Apa kiranya dengan hasil menyewakan kamar pada para mahasiswa masih kurang untuk mencukupi hidup yang hanya dua orang. Tapi kan kami tidak pernah nunggak sampai berlama-lama.
Kami berdua hanya bisa melihat kejadian itu didepan pagar rumah ibu kost dengan mengintip lewat jendela rumah. Saat aku menoleh, Ergi sudah tidak ada disampingku. Waduh, kemana dia? Terlihat tangan salah seorang dari rentenir itu mengambil vas dan akan dibanting didepan ibu kost. Dengan tiba-tiba Ergi datang dan menampik tangannya hingga vas terlempar jauh kesamping. Kontan saja aku terkejut melihat kejadian itu. Semakin tidak percaya, saat Ergi tiba-tiba merogoh kantong jaketnya dan kemudian mengeluarkan segepok uang seratus ribuan.

“Bisa nggak kalian lebih sopan dalam memperlakukan orang lain?? Ini kan yang kalian mau?” katanya sambil melemparkan uang tadi diatas meja. Haa!? Dari mana dia punya uang sebanyak itu? Selama ini kan keadaan keuangannya nggak jauh beda dengan keuanganku. Selalu pas dan jarang kelebihan duit. Aku nggak habis pikir! “Semuanya tiga juta! 2.800.000 untuk melunasi hutang beserta bunganya, dan sisanya, anggap saja sebagai denda keterlambatan!” kata Ergi dengan tenang namun tetap siaga. Kemudian orang yang berjaket kulit hitam mengambil uang itu dan langsung menghitungnya. Lalu mereka tersenyum puas atas apa yang mereka dapat.
“Hmm, anak muda! Ternyata kau…”
“Bukankah kalian sudah dapatkan apa yang kalian mau?. Sekarang saya minta kalian pergi dari sini dan jangan banyak omong. Atau mulut kalian akan aku sumpal dengan pecahan beling ini…!” kata Ergi memotong perkataan orang itu dengan tidak kalah ketus. Lalu mereka pergi karena memang yang mereka inginkan sudah didapatkan. Mungkin sebenarnya hati mereka jengkel juga karena telah diancam oleh seorang anak muda seperti Ergi. ‘Kadang, mengancam itu perlu untuk melindungi diri dari kesewenang-wenangan.’ begitu kata Ergi beberapa waktu lalu.

Aku masih berada diluar saat insiden itu terjadi. Lalu aku masuk rumah dan membantu menenangkan ibu kost dan membereskan barang-barang yang berantakan dilantai. Sejenak aku melihat kesedihan dan ketakutan pada sorot mata pasangan suami istri itu. Aku jadi ingat bapak ibu dirumah.
Aku hanya bisa berpandangan dengan Ergi. Sepertinya dia tahu, akan banyak pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya setelah kejadian ini. Pertanyaan pertama sudah terjawab mengenai ibu kost yang terlilit hutang dengan para lintah darat itu. Ternyata adiknya yang ada di Solo mau dioperasi. Dan uang itu untuk membantu biaya operasi, mengingat ibu kost adalah anak tertua yang selayaknya membantu beberapa adiknya yang membutuhkan uluran tangan. Lalu beberapa pertanyaan berikutnya yang masih menggantung dalam pikiranku? Cukup aku simpan saja, kalaupun aku tanyakan pada Ergi aku sudah bisa menebak apa jawabannya. Kalau bukan, ‘Nggak penting!’ ya ‘Nanti kamu juga tahu. Sekarang belum saatnya.’ Kenal betul aku watak sahabatku yang satu itu…
~~**~~

Hari ini di kampus ada pengajian akbar yang digelar di aula. Baguslah, jadi hari ini kan tidak harus menghadapi pelajaran dan dosen yang membosankan. Sepuluh menit lagi acara akan dimulai. Sudah banyak mahasiswa dan para dosen yang berkumpul dan duduk dikursi masing-masing untuk mengikuti pengajian akbar guna menyambut datangnya bulan Ramadhan tahun ini. Ya, kita semua memang butuh spirit rohani untuk dapat menjalani Syahru Al Mubarokah ini. Aku, Firman dan teman- temanku yang lain sudah mendapatkan tempat yang nyaman dan siap mengikuti acara.

Di barisan akhwat, tiga baris dari depan aku melihat Salma. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat dia. Meski sebentar lagi akan menjadi istri sahabatku sendiri, jujur perhatian dan kekagumanku padanya tidak berkurang sedikitpun. Kemudian aku ingat Ergi. Dimana dia? Dengan menjabat sebagai ketua umum rohis, seharusnya dia kan ada diacara-acara seperti ini.
Sejenak aku memperhatikan Salma kembali. Dia dari tadi hanya menunduk saja. Lalu Firman menyenggol lenganku. Aku sedikit terkejut.

“Heh, ngapain lo? Ngliatin siapa? Serius amat!” tanyanya curiga.Aku hanya bisa mengalihkan pandangan cepat-cepat dan tidak menanggapi pertanyaan usil dari Firman.
Sesaat pembicara sudah naik panggung diiringi dengan musik yang wuuh… menentramkan jiwa. Kami semua menyimak ceramah dari H. Ahmad Bashori dengan seksama.
“Sebentar lagi umat islam diseluruh belahan dunia akan menjalani satu bulan penuh berkah. Bulan penuh diskon. Diskon pahala besar-besaran, dengan bonus tidak main-main. Kita umat islam yang taat beribadah dan senantiasa bertaqwa kepada Allah akan mendapatkan diskon pahala dan bonus yang luar biasa. Apa bonusnya? Yaitu malam Lailatul Qadr. Malam seribu bulan….” begitulah penggalan ceramah dari pak haji yang menyedot perhatian semua jamaah pengajian.

Tak sadar mataku beradu pandang dengan seseorang yang membuat hatiku teduh bila melihatnya. Dengan segera ia berpaling dan menundukkan kepalanya kembali. Ya Allah, sesaat aku melihat matanya yang indah berubah sembab kala itu. Bukan hanya sembab, tapi juga sepertinya menyimpan beban masalah yang membuatnya sedih. Tapi apa? Andai aku bisa membantunya…
“Eh, lo ngliatin Salma ya? Heh?! Waduuh, kacau nih! Calon istri sahabat sendiri mau diembat juga!” sergah Firman yang ternyata sedari tadi memperhatikanku. Mendengar itu, kontan saja aku terkejut setengah mati. Aku harus segera mencari jawaban yang tepat supaya si Firman ini nggak mikir yang nggak-nggak. “Astaghfirullah, jangan sembarangan dong. Aku kan masih tahu batasan-batasan.” jawabku masih berusaha untuk tenang.
~~**~~

Kupercepat langkahku supaya segera sampai ke kost. Meskipun cuma duduk mendengarkan ceramah ternyata melelahkan juga. Sampai kamar, aku harus segera menyelesaikan semua tugasku. Kulihat Ergi sudah berada disana sedang sibuk membaca buku yang kemarin aku lihat. ‘Be Mujahid, It’s Me!!, begitulah judul buku yang sedari tadi sibuk dibacanya. Segera kukeluarkan buku-buku tugasku dan langsung kukerjakan. Setengah perjalanan, pulpenku macet. Aku geleng-geleng kepala saking jengkelnya. Baru seminggu yang lalu aku membelinya, udah abis aja. Aku celingukan mencari pulpen cadangan. Nampaknya Ergi mengamati gerak-gerikku. Lalu kulihat ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah kotak kecil panjang. Tiba-tiba dia menyodorkannya padaku. Aku belum menerimanya karena masih belum mengerti apa sebenarnya maksudnya.

“Ini ada hadiah kecil untukkmu.” katanya. Aku menerimanya dengan penuh rasa penasaran. Apa maksudnya?
“Emang aku ulang tahun ya?” tanyaku heran. Segera aku membuka kotak itu. Ternyata didalamnya sebuah pena, indah. Dengan warna keperakan dengan cincin-cincin kecil berwarna merah maroon melingkar ditengahnya.
“Kemarin aku lewat depan toko lalu aku lihat pena itu. Kupikir nggak ada salahnya kan aku memberikannya padamu? Terserah kamu mau menganggap itu sebagai apa. Hadiah, tanda persahabatan atau kenang-kenangan.” lanjutnya. Aku masih memperhatikan benda panjang itu. Pas banget, kebetulan tintaku habis.

“Ya ampun, makasih banyak ya Er. Ini kuanggap sebagai tanda persahabatan kita. Pas banget sih, kaya sinetron aja. Tuh pulpenku abis.” kataku.
“Kenapa nggak dianggap kenang-kenangan?” tanyanya.
“Yaah, mungkin sekarang belum saatnya. Kelak kalau kita berpisah setelah menyelesaikan studi dan kembali ke rumah masing-masing, naah, mungkin itulah benda ini berubah status. Sebagai tanda persahabatan sekaligus kenang-kenangan.”
“Ya, siapa tahu kita sebentar lagi akan berpisah. Nggak mesti nunggu besok-besok kan?”Aku hanya terdiam mendengar perkataannya barusan. Seperti masih ada yang disembunyikan.
~~**~~

Seperti biasa, sepulang dari kampus langsung kurebahkan badanku di kasur. Lelah sekali rasanya. Sudah tiga hari ini aku tidur sendiri. Ergi sedang pergi ke Semarang. Katanya keluarganya ada hajatan. Sepi juga nggak ada dia. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan kepadanya. Mengenai Salma, yang akhir-akhir ini kulihat dia tidak seindah dulu. Sering kelihatan kalau di hatinya terpendam suatu masalah yang cukup berat. Meskipun dia selalu saja menyembunyikannya pada setiap orang yang ditemuinya. Pasti Ergi tahu masalah ini, batinku. Dia kan, calon suaminya.Petang ini, selesai mengerjakan tugas kuliah aku pergi ke mushola untuk sholat Maghrib. Segera aku mengambil sarung dan bergegas menuju masjid. Ditengah jalan, aku melihat serombongan bapak-bapak yang akan pergi ke masjid juga. Heran, perasaan kemarin-kemarin nggak seramai ini. Apa karena mau bulan puasa? Tapi ternyata di mushola dekat kosan ku itu sedang diadakan pengajian.

“Assalamu’alaikum Mas Gilang..” sapa salah seorang dari mereka.
“Wa’alaikumussalam Pak..” jawabku.
“Mau ke mesjid juga ya? Lho, mas Erginya mana? Biasanya kan bersama-sama pergi ke mesjid?” Tanya yang lain.
“Iya, Pak. Ergi sudah tiga hari pergi ke Semarang. Katanya keluarga disana ada yang hajatan.” Jawabku.
“Oo…mari Mas Gilang, kami duluan ya..!”
“Eh, iya Pak. Silahkan..” Kulihat di teras masjid banyak anak muda yang sedang ngobrol. Remaja putri maupun yang laki-laki, jadi satu. Astaghfirullah…batinku.

“Assalamu’alaikum,” ucapku.
“Wa’alaikumussalam, Mas..” jawab mereka serentak.
“Kenapa masih diluar?”
“Eh, iya Mas. Ini, lagi cari angin..”
“Kalau gitu, saya duluan masuk ya..Mari…”
“Iya, mari..” jawab mereka lagi-lagi dengan serentak. Aku melangkah memasuki masjid yang baru tiga shaf depan terisi. Kuucap bismilah dan serangkaian do’a masuk rumah Allah ini. Segera aku mengambil shaf paling depan dan melakukan sholat tahiyyatul masjid. Setelah iqamat berkumandang, semua jama’ah masuk masjid dan melaksanakan sholat Maghrib. Setelah itu, aku hendak pulang. Tapi ternyata acara langsung disambung dengan pengajian. Tapi rupanya ini sengaja, diharapkan semua jama’ah bisa sholat Maghrib dan Isya’ di masjid secara berjama’ah. Sehabis Maghrib ternyata tidak langsung diisi ceramah. Melainkan diisi dengan tilawah dan diskusi. Namun setelah sholat Isya’ pengajian kembali dilanjutkan. Kulihat sudah beberapa yang keluar, mungkin mau pulang atau kebelakang untuk cuci muka. Beberapa lagi dibelakangku kudengar asyik ngobrol sendiri. Disudut lain, kulihat ada yang malah sudah tertidur lelap. Tapi tidak sedikit juga mereka yang masih serius menyimak ceramah yang diberikan oleh Pak Ustadz. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sebenarnya bosan juga, ngantuk lagi. Pengen kebelakang, tapi aku berada di shaf depan. Aku tidak mau kalau harus melangkahi jama’ah lain. Ternyata tidak lama kemudian, pengajian selesai. Setelah bersalaman dengan beberapa orang, aku langsung bergegas pulang menuju kost. Lelah, penat, ngantuk jadi satu. Di teras masjid masih kulihat beberapa pemuda tengah asyik ngobrol.

“Mau pulang ya Mas Gilang?” Tanya salah seorang remaja putri padaku.
“Iya, kok nggak didalem?” tanyaku.
“Ini, Mas…lagi cari angin..” Cari angin? Nggak takut masuk angin apa kok dari tadi alasannya cari angin. Orang dari tadi aku masuk sampai pengajian selesai mereka juga masih diluar. Dasar ABG…
“Mari, saya duluan ya. Assalamu’alaikum,” ucapku.
“Wa’alaikumussalam..” jawab mereka tidak lupa dengan serentak.
“Cakep ya..?” Kudengar salah seorang remaja putri berujar setelah aku sudah beberapa langkah meninggalkan mereka. Siapa yang cakep? Saya?!#@%*
~~**~~

Aku menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba ada rasa rindu kepada kedua orang bapak ibuku dirumah. Sedang apa ya mereka? Aku baru sadar, sudah sebulan lebih aku tidak pulang. Ahh…kesibukanku di kampus yang membuatku tidak bisa pulang bu… Maafkan aku… tanpa sadar air mataku menetes. Aku benar-benar rindu… Aku janji pak, bu, sebelum Ramadhan aku akan pulang. Perlahan mataku terpejam.Kudengar samar-samar suara letupan pistol dan ramai orang-orang berteriak. Ah, kukira ini hanya mimpi karena aku terlalu lelah. Tapi seketika kudengar suara ibu kost. Segera aku membuka mata dan mendengarkan lebih seksama. Benar, itu suara ibu kost yang sedang…aku segera keluar bermaksud melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kubuka pintu, dan aku melongok keluar. Kulihat diluar banyak sekali orang. Dan..polisi. Polisi?! Apa yang terjadi? Kulihat disana ibu kost sedang berbicara dengan beberapa orang. Sepertinya ngotot sekali dan berusaha meyakinkan sesuatu pada mereka. Disana juga ada beberapa mobil patroli berjajar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang memegang pistol melihatku.

Tiba-tiba.. ‘Tarr..!! Prangg…!!’ satu peluru meluncur dan tepat mengenai kaca jendela. Pecah berantakan… Aku hanya bisa terpaku sejenak, tak tahu apa yang terjadi bila sebutir peluru itu bersarang di kepalaku. Ya Allah, terimakasih telah Engkau hindarkan dari peluru itu.Aku hendak keluar, tapi kulihat orang itu mengejarku. Aku jadi berbalik arah dan mengambil langkah seribu. Aku keluar rumah melewati jendela kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku terus berlari dalam gelap melewati ladang yang penuh dengan pohon pisang. Banyak juga tanaman lain yang tumbuh disitu. Tidak terkecuali tumbuhan berduri. Kurasakan kakiku perih dan nyeri. Tapi aku terus berlari. Kulihat dibelakangku beberapa orang mengejar sambil sesekali melepaskan tembakan yang diarahkan kepadaku. Untunglah tidak satupun yang tepat sasaran. Mungkin karena medan yang kami lewati dan gelapnya malam yang menghalangi pandangan dan konsentrasi mereka.

“Berhenti!! Kami polisi!! Jangan sampai kesabaran kami habis, berhentilah dan menyerahkan diri!!” Aku masih terus berlari, beberapa kali aku terjatuh terjerembab ke tanah yang keras. Kurasakan nyeri di kakiku semakin bertambah. Aku berhenti dan berlindung dibalik pohon nangka. Bersandar sambil sesekali menoleh ke belakang, kalau-kalau mereka melihatku dan akan menembakku.

“Saudara Nur Ichwan, keluarlah. Ikutlah dengan kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Segera, sebelum kami melakukan tindakan yang lebih tegas!” seru seorang polisi yang membawa pistol.
Nur Ichwan? Siapa dia? Namaku Gilang, bukan Nur Ichwan. Ergi!! Mungkin dia yang dimaksud. Namanya kan Nur Ichwan Ergin Ramadhani. Ya, aku semakin yakin kalau Ergi-lah yang dimaksud. Tapi apa masalahnya sampai dia dikejar-kejar polisi begini? Kupegangi kakiku yang nyeri, kurasakan disana basah. Ternyata kakiku telah bersimbah darah.

“Ya Allah..!!” gumamku. Aku ingin menjelaskan kepada mereka kalau aku ini bukanlah Ergi yang mereka cari. Tapi bagaimana mungkin dalam keadaan polisi sering melepaskan tembakan begini. Salah-salah nanti di kepalaku benar-benar bersarang peluru. Mau teriak, juga nggak mungkin. Jarak yang tidak dekat ditambah suara-suara pistol, teriakan, dan sirine membuat suaraku mustahil didengar. Ergi!! Dialah sumber dari semua masalah ini. Sampai aku hampir mempertaruhkan nyawaku hanya karena dikira dia. Apa yang sebenarnya terjadi? Begitu banyak rahasia yang kau simpan dariku, apa kau tidak menganggapku sebagai seorang sahabat? Meninggalkan kos serta meninggalkan masalah besar. Larikah kau Ergi?! Ingin sekali aku memukulmu saat ini. Sumpah serapah keluar dari mulutku. Masih dalam keadaan panik dan bingung, tiba-tiba pundakku ada yang menyentuh. Kontan saja aku kaget dan segera berbalik.
Ergi!! Kulihat dia sudah dibelakangku. Segera saja kutarik kerah bajunya dan kudorong tubuhnya hingga ia tersungkur ke tanah. Namun seseorang melerai kami. Ternyata dia Fauzan, teman Ergi yang aku pernah datang kerumahnya beberapa waktu yang lalu.

“Sudah, sudah!! Jangan ribut disini. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk berkelahi!!” serunya. Kupandang Ergi dengan mata nanar. Aku sungguh sangat ingin memukulnya dan meminta penjelasan darinya mengenai masalah ini. Dia hanya menatapku dengan sayu. Nafasnya memburu, sepertinya dia juga habis berlari.
“Ayo kita pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka menemukan kita!” katanya kemudian.Aku hanya terdiam, tapi Ergi menarik lenganku untuk ikut dengan mereka. Aku berada paling belakang. Namun ketika Ergi melihatku berlari tertatih, dia menghentikan langkah dan kemudian berada dibelakangku. Dalam perjalanan, kami hanya terdiam. Tidak jarang diantara kami terjatuh. Dan pada saat itu rasa persaudaraan kami tetap kental. Meski dalam hati dongkol dan kesal, kami tetap saling menolong. Aku tidak tahu kemana langkah-langkah ini menuju. Didepan aku melihat ada sebuah rumah, ah..tidak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Lalu Fauzan mengetuk pintu dan mengucap salam. Pintu terbuka. Lalu kami masuk satu persatu. Aku hanya berdiri terpaku. Gelap. Tiba-tiba ada sebuah nyala lilin. Kuamati sekitar tempatku berdiri. Ada dua buah kursi rotan yang sudah usang, dan sebuah bangku. Yang diatasnya ada tiga buah ransel besar. Kulihat disana sudah ada Jhon yang tengah sibuk mempersiapkan ranselnya.

“Duduklah, “ kata Fauzan kepadaku. Tidak lama kemudian aku sudah berada diatas kursi rotan usang di sudut ruangan. Ergi berdiri dihadapanku.
“Bukankah tadi kau ingin memukulku?” tanyanya kemudian.
“Tenagaku sudah habis untuk berlari kejar-kejaran dengan polisi dari kosan sampai sini. Tanpa aku tahu apa salahku sampai mereka berusaha menembak dan menangkapku. Aku ingin menghemat tenagaku untuk bisa pulang.!” Hatiku bergejolak. Kulihat mereka hanya tertunduk. Sebelum kemudian Ergi menjawab,
“Lang, maafkan aku. Maafkan kami yang secara tidak langsung telah melibatkanmu dalam masalah ini. Aku harap kamu mengerti.”
“Aku tidak mengerti ya akhi…” jawabku agak ketus.
“Ya, kau memang tidak mengerti. Tapi kau akan mengerti saat waktunya tiba!”
“Apalagi?! Apalagi yang kalian rahasiakan padaku?! Kalian hampir membunuhku! Tanpa aku tahu penyebabnya. Kau! Kau sudah lama bersahabat denganku. Satu kampus, satu kos. Satu misi. Kau sudah kuanggap lebih dari sekedar sahabat Er. Tidakkah kau anggap aku? Ha??!” aku kalap. Kudorong Ergi hingga ia terduduk di kursi depanku. Kembali kuhempaskan tubuhku ke kursi.
“Sahabat? Akupun juga menganggapmu lebih dari itu…” perkataannya terputus. Kulihat matanya meneteskan sesuatu. Air matakah itu? Selama aku mengenalnya, tak pernah ku melihat dia menangis. Dia selalu tegar, dan sabar. Tapi sekarang? Sepertinya dia sedikit rapuh.
“Tapi sekali lagi maafkan aku, atas semua ini. Atas sikap-sikapku yang sering membuatmu jengkel, marah. Aku minta maaf.” Sejenak kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Sekarang pulanglah!!” Apa? Pulang? Aku kira kau akan menjelaskan sesuatu kepadaku Er…
“Kita berpisah disini. Pulanglah sebelum fajar semakin tinggi. Lewati jalan yang tadi kita lalui untuk menuju kemari. Insya Allah kau akan selamat. Pulanglah ke kosan, dan anggap tidak terjadi apa-apa.” Aku hanya menatap mereka bertiga dengan wajah bingung dan tidak percaya. Apa yang kalian lakukan? Tidak ada penjelasan sedikitpun yang aku terima. Sekarang mereka malah akan pergi.
“Hati-hati ya Sobat!! Insya Allah kita akan bertemu lagi kelak, meski di ruang dan waktu yang berbeda.” tambahnya sambil menepuk pundakku.
“Kalian mau pergi kemana?” tanyaku akhirnya.
“Kami akan pergi jauh. Do’akan kami selalu dalam jalan-Nya. Senang berkenalan denganmu Akh..!” kata Fauzan. Mereka sibuk berkemas-kemas dan segera meninggalkan gubuk itu. Kulihat mereka mantap dengan langkah yang diambilnya. Walau ada guratan-guratan kepanikan yang terlukis diwajahnya. Terucap salam yang lembut dari mereka sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah. Dalam kegelapan, dalam kepanikan, dan dalam seribu tanya serta harapan. Aku kembali menyusuri jalan yang tadi kami tempuh. Fajar di timur semakin menyingsing. Kurasakan kakiku semakin nyeri….
~~**~~

Semua baik-baik saja. Setelah kejadian malam itu, setelah kuobati kakiku, setelah kujelaskan semuanya kepada ibu kost, orang-orang, walaupun dengan penjelasan yang aku sendiri tidak tahu pasti kebenarannya. Karena memang aku tidak punya penjelasan yang sebenarnya. Tentang mengapa sampai aku dikejar polisi karena dikira Ergi, tentang apa yang diperbuat Ergi sampai menyulut kemarahan polisi, tentang kemana Ergi pergi sekarang, dan tentang yang lain yang aku masih belum mengerti. Ya, kuanggap semuanya baik-baik saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti yang telah dikatakan Ergi malam itu. Di gubuk tua, dan disitulah aku terakhir bertemu dengan mereka. Para sahabatku.

Seperti janjiku, sebelum Ramadhan aku akan pulang. Namun lagi-lagi karena kesibukan, aku baru bisa pulang di hari ke tiga bulan puasa. Di rumah kulihat orang tuaku sudah didepan pintu menyambutku. Kuucap salam dan segera kucium tangan keduanya. Ibuku memelukku erat. Kangeenn…
“Ayo, masuk. Lepas sepatumu. Kalau mau mandi, baknya sudah ibu isi tadi.” Panas terik begini, badan lengket, bau solar, bensin, penuh debu…Huh..segera aku mengambil handuk dan mandi.
“Bagaimana kuliahmu?” Tanya bapak.
“Alhamdulillah lancar Pak. Do’akan saja supaya cepat selesai.” Jawabku.
“Kalau soal doa sih, nggak usah disuruh kami selalu mendo’akanmu Gilang..” tukas ibuku. Ahh, benar juga. Do’a dan kasih sayang orang tua selalu mengalir dengan sendirinya tanpa kita minta. Terus-menerus, bagai mata air yang mengalir dan tidak mengharap air yang telah dialirkannya kembali. Nikmat sekali buka puasa malam itu. Bersama bapak ibuku tercinta. Setelah berbuka, kami bergegas ke masjid untuk sholat tarawih.
~~**~~

Sore ini aku hanya di kamar. Di luar hawa agak panas. Aku asyik mendengarkan lagu-lagu nasyid. Kaset itu dulu aku beli bersama Ergi. Ah, dimanakah kau sekarang Er? Kenapa tak kasih kabar? Rasa rindu menyelinap di hatiku.
“Lang, nih. Tadi ibu ambil pulpen di tasmu. Ternyata malah nggak mempan. Ada pulpen lain nggak? Buat nyatet pesanan kue besok.” Kata ibu sambil menyerahkan pulpen padaku. Itu kan pulpen pemberian Ergi.

“Aduh, Bu. Nggak ada lagi. Ini pulpen satu-satunya pemberian temen Gilang.”
“Ya udah, ibu beli sendiri aja di warung. Anak kuliahan kok nggak punya pulpen…” sambung ibu sambil ngeloyor pergi. Kupandangi lagi pena itu. Aku putar, ingin tahu apakah benar tintanya habis. Apa ini? Ada selembar kertas yang terbalut di tinta pena. Langsung saja ku ambil dan kuamati dengan seksama. Ternyata sebuah surat…dari Ergi...

‘Assalamu’alaikum...
Apa kabarmu sahabatku? Tapi jangan kau coba menanyakan bagaimana kabarku. Karena mungkin saat kau membaca tulisan ini, aku sudah tidak ada denganmu lagi. Dan akupun tidak tahu pasti, apakah aku masih berada dalam permainan dunia ini. Lang, maafkan aku jika selama ini aku banyak rahasia padamu. Karna aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalahku. Tapi sebenarnya ini bukanlah masalah. Ini adalah jalan yang aku dan teman-temanku tempuh untuk menggapai syahid. Aku masih serius membaca kata demi kata yang ditulis Ergi. Kubenahi posisi dudukku, dan mulai kubaca lagi, kata...demi kata...Masih ingatkah kau tentang diskusi kecil kita petang itu, sahabatku? Tentang penghargaan dunia akhirat, dengan amar ma’ruf nahi munkar. Dari dulu, aku sangat membenci kemaksiatan.

Orangtuaku meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi dibunuh dengan sadis oleh sekelompok orang yang menginginkan tanah dan rumahku. Memang, itu belum sepenuhnya menjadi hak kami. Karena memang kami belum bisa melunasinya. Sejak saat itu, aku hanyalah seorang yang bermimpi dan beranganpun tidak pantas. Hingga akhirnya aku dikirim kakek ke sebuah pesantren. Yang disana pun menurutku tidak lebih baik. Tapi aku bersyukur, berawal dari kegigihanku menggapai angan, akhirnya aku bisa melanjutkan studi berbekal beasiswa. Sampai suatu ketika aku menemukan komunitasku. Satu misi dan satu visi. Gilang, masih ingatkah tentang tragedi pengeboman sebuah penginapan mewah di Bandung setahun lalu? Pernahkah terfikir olehmu siapa yang melakukannya? Mereka dicap teroris oleh sebagian orang, kebanyakan orang, bahkan semua orang. Mereka dikecam dan diburu bagai binatang. Memang, mungkin mereka binatang. Tapi orang-orang itulah yang menjadikan kami sebagai binatang, yang haus darah. Darah para pelaku kemaksiatan, kejahatan, yang selalu memprioritaskan kenikmatan dunia, tanpa mempedulikan orang kecil dan lemah. Itulah yang menurunkan murka Allah. Dunia ini menjadi hitam, penuh hawa panas kemaksiatan, agama Allah diporakporandakan.

Satu catatan sahabatku, kami adalah mujahid pendamba syahid. Gilang, kuserahkan kepadamu sepenuhnya. Apakah setelah kau membaca surat ini, kau masih menganggapku sebagai sahabat...atau mungkin musuh. Mungkin juga kau mengharapkan kami tertangkap polisi dan dihukum mati. Dipenggal, dan kepala kami dijadikan santapan anjing sekalipun, itu terserah padamu. Tapi yang perlu kau ingat, aku tetap menganggapmu sebagai sahabat yang selalu ada dikala aku butuh.Gilang, jangan pernah takut pada apapun selama masih dalam jalan kebenaran. Teruslah berjuang di jalan Allah untuk menggapai kenikmatan. Jangan lupa menjalankan amalan-amalan yang haq. Karena itulah yang akan membantumu kelak disana, menemanimu disana...
Cukup sekian sahabatku, selamat tinggal. Do’akan aku semoga aku mendapat yang aku inginkan.
Wassalamu’alaikum...
Gubuk tua, 12 Desember 1998.’

Bagai tersambar petir tepat di kepalaku. Kepalaku pening, tubuhku lemas seketika. Tanpa sadar, kertas itu basah oleh air mata. Terdengar lagu Far East ‘Menanti di Barzakh’ mengalun lembut... Ya Allah, apa yang terjadi padamu Er? Aku segera mengambil ranselku. Kuisi dengan beberapa buku dan kaos. Kupakai sepatu, lalu aku bergegas keluar. Dirumah sepi, aku hanya meninggalkan sepucuk surat diatas meja makan. Kulihat senja di ufuk barat, merah saga. Perjalanan inipun kurasa sangat lama. Setelah sampai, aku langsung menghambur menuju kamar kost. Kubuka pintu itu... Kosong. Tidak ada siapa-siapa disitu. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, yang kulihat Ergi sedang mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca buku. Ku layangkan pandanganku keseluruh sudut kamar. Tidak ada yang berubah. Ah, kupikir Ergi akan pulang dan melipat sajadah itu. Sajadah dipojok kamar yang Ergi selalu duduk diatasnya setiap malam untuk berdzikir. Tapi ternyata sajadah itu masih rapi menghadap kiblat.

Kuhampiri, lalu kulipat rapi. Seketika tercium bau parfum yang sudah tidak asing lagi. ‘Ergi!’ batinku. Namun secercah harapan itu hilang setelah kulihat cairan yang tercecer didekat meja kecil kami. Tergeletak sebuah buku disamping jam beker. Kuambil, kuamati.... ‘Be Mujahid, It’s Me!’ Aku benar-benar merasa kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupku. Dia lebih dari sekedar sahabat, dia selalu menjadi teladan bagiku. Rasa kehilangan semakin besar ketika keesokan harinya aku membaca sebuah surat kabar lokal. Terpampang jelas dihalaman depan “Teroris Pengeboman Penginapan Mewah, Menunggu Eksekusi Mati!” Aku hanya bisa menatapnya nanar, menerawang jauh entah kemana.

‘Tapi kan mendingan di kost-an. Kalo di pesantren, dari mata melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan ditaati…’
‘Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Dzat yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini....’
‘Hati-hati yang Sobat!! Insya Allah kita akan bertemu lagi kelak, meski di ruang dan waktu yang berbeda.....’

Tiba-tiba kata-kata Ergi kembali terngiang di telingaku. Aku masih sahabatmu Er. Selamanya. Aku tidak akan pernah lupa mendo’akanmu. Karna hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Selamat jalan Sobat...
~~**~~

Hari ini aku sibuk sekali. Sibuk menyelesaikan skripsi. Ya, sebentar lagi aku akan menamatkan S1 ku di fakultas ini. Alhamdulillah, syukur kupanjatkan pada-Mu ya Rabb. Engkau telah memberikan kenikmatan dalam hidupku. Engkau telah berikan padaku seorang bidadari surga. Yang setia menemaniku dikala suka dan duka. Tugas skripsi yang melelahkan pun tidak begitu terasa. Kulihat dia menghampiriku, dan dengan lembut menutup laptop yang sedari tadi berada dihadapanku, menghentikan kegiatanku.
“Makan dulu yuk, Mas. Sudah malam, besok lagi ngerjain tulisannya...” katanya padaku tidak lupa sebuah senyuman manis menghiasi bibirnya. Lalu, kami berdua makan malam. Bertiga, dengan calon mujahid mujahidah yang sebentar lagi akan menatap dunia...
Er, aku akan selalu menjaga Salma dengan sebaik-baiknya. Aku juga akan berusaha menjadi imam bagi mereka...




copas from : http://coretan-imajinasi.blogspot.com/2009/05/dia-bukan-teroris.html

Tidak ada komentar: