Malam itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja. “Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.
Setahun sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku, setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.
Seperti yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini. Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah? Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari sebulan!
Saya mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga, yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.
Pertama kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja. Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang lagi.
Frida diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan. Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE. Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..
Faktor lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya. Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”, begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.
Sebelum keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua, tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu. Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”. “Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.
“Aku mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk menambah wawasan komunikasinya.
Dia mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka. Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!
Tinggal di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.
Sebut saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya, dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya. Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.
Dia masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya. Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya. Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal! Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.
Kepulangannya waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi, ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat, juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”
Frida malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali dengan visa PRT.
“Mas Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas... tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya, sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali. Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali menjadi pendengar yang baik.
Beberapa bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas! Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”
Tidak lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi. Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu. Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.
Garis hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang, selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya, tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal tiga kali... Astaghfirullah!
Di keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida, mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!
sumber : eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar