Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Selasa, 02 Maret 2010

GLOBALISASI

A. Pendahuluan

Globalisasi adalah suatu proses yang multi-dimensi, meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi. Fenomena globalisasi mewujud dalam bentuk penyempitan waktu dan ruang dalam hubungan sosial. Artinya hubungan sosial antara individu dengan masyarakat maupun antar masyarakat dalam suatu negara bahkan antar negara telah menjadi begitu transparan, tidak lagi mengenal batas-batas politik. Perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi informasi, perdagangan internasional, serta mobilitas tenaga kerja, modal dan keuangan antar negara sejak tiga dasawarsa terakhir telah mengakibatkan peran ekonomi suatu negara secara individual terhadap perekonomian global menjadi semakin kurang penting atau kurang berarti. Tentunya, proses ini telah dan akan mempengaruhi suatu konstruk sistem sosial suatu masyarakat yang telah mapan selama ini. Sejauh mana pengaruh ini, ditentukan oleh bagaimana sebuah masyarakat atau negara itu memberikan respon terhadap globalisasi tersebut.
Globalisasi, dari perspektif pesimis, dapat mengarah pada melemahnya lembaga-lembaga ekonomi nasional dalam menghadapi kekuatan-kekuatan global seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan pasar-pasar uang internasional, yang muncul adalah kecemasan memasuki abad 21. Globalisasi hanya akan menghasilkan sedikit pemenang dan sejumlah besar pecundang. Para calon pemenangnya adalah negara-negara industri maju, perusahaan-perusahaan multinasional dan kelas profesional, sedangkan calon pecundangnya adalah sejumlah besar negara-negara berkembang, usaha-usaha skala kecil dan menengah serta kelas buruh. Dari perspektif optimis, globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi masyarakat dan negara-negara sedang berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju. Beberapa data empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang yang terlibat secara aktif dalam globalisasi cendrung mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara yang relatif tertutup terhadap perekonomian dunia.

Makalah ini berupaya menguraikan jawaban dari beberapa pertanyaan tentang globalisasi dan pengaruhnya terhadap negara berkembang (terutama negara-negara Muslim). Pertama, apakah sebenarnya pengertian dan proses terjadinya globalisasi? Kedua, apa sajakah dimensi-dimensi globalisasi? Ketiga, bagaimanakah implikasinya terhadap negara berkembang? Keempat, bagaimanakah ekonomi Islam memberikan solusi kritis terhadap implikasi globalisasi tersebut? Makalah ini tidak berusaha menguraikan pengaruh globalisasi terhadap negara berkembang dalam segala aspeknya, tetapi penekanan ditujukan pada hubungannya dengan pembangunan ekonomi di negara berkembang.

B. Globalisasi: Pengertian dan Proses

Pembicaraan tentang ‘globalisasi’ atau ‘global’ akhir-akhir ini cukup populer. Sebelum dibahas lebih jauh, penjelasan tentang definisi diperlukan agar lebih jelas. Kata global berasal dari kata “globe” dan mulai dimaksudkan sebagai planet yang berarti bumi bulat sejak beberapa abad yang lalu. Dalam bahasa Inggris kata sifat global populer sejak tahun 1890-an yang dimaksudkan sebagai “keseluruhan dunia’ dengan tambahan arti “berbentuk bola”. Istilah-istilah “globalize” dan ”globalism” dalam penerbitan baru muncul 50 tahun yang lalu, sedangkan istilah “globalization” pertama sekali muncul dalam sebuah kamus (American English) tahun 1961, dan “global village” dipakai oleh McLuhan tahun 1964, ketika menjelaskan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang telah menciptakan sebuah dunia baru.

Penggunaan istilah globalisasi dalam wacana keilmuan kontemporer ternyata mempunyai banyak arti. Menurut hasil kajian Scholte, definisi globalisasi dapat dibagi kepada lima konsep. Pertama, globalisasi adalah “internationalization.” Global adalah kata sifat yang menggambarkan hubungan-hubungan lintas batas antar negara, dan globalisasi menunjuk suatu pertumbuhan pertukaran dan saling ketergantungan internasional. Konsep globalisasi dalam pengertian pertama ini digunakan oleh Paul Hirst dan Grahme Thomson yang mengidentifikasi globalisasi dalam pengertian “pertumbuhan dan perluasan arus perdagangan dan investasi modal antar negara.” Kedua, konsep globalisasi digunakan dalam arti “liberalization” yaitu suatu proses menghilangkan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pemerintah terhadap pergerakan-pergerakan antar negara agar tercipta suatu ekonomi dunia yang ‘terbuka’, ‘tanpa batas’. Sander menyarankan agar globalisasi menjadi suatu slogan terkemuka untuk menggambarkan proses integrasi ekonomi internasional. Ketiga, konsep globalisasi digunakan sebagai “universalization”, yaitu proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada orang di seluruh penjuru bumi. Pengertian ini yang pertama sekali dimaksud oleh Oliver Reisre dan B. Davies tahun 1940-an yang menggunakan kata kerja “globalize” dalam arti “universalize” dan meramalkan suatu sistesis budaya planet dalam suatu “humanisme global”. Keempat, globalisasi berarti “westernization” atau “modernization”, khususnya dalam suatu bentuk ‘Amerikanisasi’. Globalisasi adalah suatu dinamika dengan cara modernisasi struktur-struktur sosial (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll.) tersebar ke seluruh dunia, biasanya, dalam prosesnya menghancurkan keberadaan budaya lokal dan penentuan nasibnya sendiri. Globalisasi digambarkan seperti imperialisme McDonald’s, Hollywood dan CNN. Martin Khor menggolongkan kolonisasi Dunia Ketiga termasuk dalam pengertian ini. Dan kelima, konsep globalisasi diartikan sebagai “deterritorialization” atau “supraterritorialization”. Globalisasi membawa suatu penyusunan kembali geografi, agar ruang sosial tidak lebih panjang pemetaannya dalam pengertian tempat, jarak dan batas-batas wilayah. David Held dan Tony McGrew dalam hal ini mendefinisikan globalisasi sebgai “suatu proses (atau sekumpulan proses) yang mewujudkan suatu transformasi dalam ruang organisasi hubungan-hubungan dan transaksi-transaksi sosial”. Tampaknya Scholte sendiri lebih setuju dengan definisi kelima ini. Menurutnya, globalisasi, suprateritorial atau istilah lain ‘transworld’, atau ‘transborder” menggambarkan keadaan dimana ruang wilayah secara substansial adalah lebih penting.

Kelima definisi di atas, walaupun terdapat perbedaan secara substansial tetapi tetap menunjukkan bahwa batas-batas wilayah, budaya, politik, sosial dan ekonomi tidak dapat menahan laju globalisasi. Kelima definisi tersebut mewakili berbagai pola pemikiran aliran masing-masing. Golablisasi secara substansial berarti transparannya berbagai batas baik wilayah, politik, sosial, budaya maupun ekonomi yang selama ini sangat ketat. Walaupun demikian proses globalisasi dan respon masing-masing negara berbeda-beda, terutama negara-negara berkembang.

Dari segi kemunculannya, terdapat perdebatan panjang tentang awal munculnya globalisasi. Menurut Immanuel Wallerstein, proses globalisasi dapat dilihat dari tiga tingkat sistem sosial. Pertama, mini system, yaitu gabungan satu pembagian kerja dengan satu sistem budaya. Ekonomi diusahakan melalui pertanian dan perburuan sederhana secara bersama. Kedua, world-empires, mempunyai sistem budaya yang beragam tetapi satu sistem politik dengan satu pembagian kerja. Contoh peradaban Cina, Mesir dan Roma. Dan ketiga, world-economics, yaitu penggabungan politik dan budaya yang beragam dalam satu pembagian kerja. Pada tingkat ketiga ini globalisasi dimulai yaitu pada abad ke-16.

Scholte membagi proses globalisasi kepada tiga tahap. Pertama, munculnya suatu imajinasi global hingga abad ke-18. tahap ini merupakan masa persiapan yang panjang tanpa suatu konsepsi yang jelas. Globalisasi masih dalam imajinasi dan pemikiran. Ide-ide tentang bumi sebagai satu tempat sudah ada, seperti agama-agama “dunia”. Kedua, globalisasi yang baru mulai (incipient globalization), bahwa globalisasi sudah bukan imajinasi dan hubungan-hubungan sosial yang lebih substantif muali dibangun dari tahun 1850-an hingga 1950-an. Tahap ini dimulai oleh munculnya teknologi komunikasi, yaitu telegrap tahun 1850-an, telepon dan radio tahun 1890-an, dan transportasi air tahun 1919. Dimulainya pasar global yang pertama dengan berdirinya The London Metal Exchange (LME) tahun 1876. tahap ketiga, globalisasi skala penuh (full-scale globalization), yaitu dimulai 1960-an. Pada tahap ini hubungan-hubungan lintas dunia mencapai peningkatan yang besar selama empat dekade terakhir abad kedua puluh baik dari segi jumlah, ragam, intensitas, kelembagaan, dan pengaruh fenomena globalisasi.

C. Globalisasi: Suatu Keniscayaan

Globalisasi pada prinsipnya dijelaskan oleh dua kata kunci; interaksi dan integrasi, yaitu interaksi ekonomi antar negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara secara efektif merupakan bagian tak terpisahkan dari satu perekonomian tunggal dunia. Karena itu globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi ke dalam satu perekonomian tunggal yang bersifat global.

Globalisasi tidak serta merta wujud, tetapi terdapat berbagai faktor yang mendorong atau menyebabkan globalisasi. Menurut Scholte, paling tidak terdapat empat penyebab terjadinya proses globalisasi. Pertama, penyebaran rasionalisme sebagai kerangka pikir pengetahuan yang dominan. Rasionalisme merupakan suatu konfigurasi umum tentang pengetahuan yang meningkatkan penyebaran pemikiran global dan, melalui rasionalisme tersebut, globalisasi menjadi tren yang lebih luas. Kerangka pikir pengetahuan itu menyangkut (i) rasionalisme adalah sekular, bahwa realitas adalah dunia fisik, materi, meniadakan daya-daya transenden dan ketuhanan; (ii) rasionalisme adalah antroposentris, bahwa realitas dunia yang utama untuk kepentingan dan aktivitas manusia (keutuhan lingkungan tidak diutamakan); (iii) rasionalisme mempunyai karakter ‘ilmuwan’, bahwa fenomena yang dipahami melalui metode penelitian ‘objektif’ mempunyai kebenaran yang tak dapat dibantah; (iv) rasionalisme adalah alat, bahwa rasionalisme merupakan alat untuk manusia dalam memecahkan masalah secara cepat. Kedua, perubahan-perubahan utama dalam perkembangan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu struktur produksi dimana aktivitas ekonomi diorientasikan pertama dan terutama kepada akumulasi surplus. Kapitalisme mendorong globalisasi dalam empat cara: (i) global market (pasar global) untuk meningkatkan volume penjualan dan mencapai skala ekonomi tertentu; (ii) glabal accounting harga dan pertanggungjawaban beban untuk meningkatkan keuntungan; (iii) global sourcing untuk meminimalisasi biaya produksi; dan (iv) global commodities sebagai tambahan saluran akumulasi. Ketiga, inovasi-inovasi teknologi komunikasi dan pemrosesan data. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah mendorong komunikasi global, transaksi finasial global, koordinasi produksi dan pemasaran global, dan aktivitas-aktivitas global lainnya. Keempat, konstruksi kerangka-kerja regulatory (peraturan) yang memungkinkan. Regulasi yang menjadi motor penggerak globalisasi dalam empat cara: (i) standardisasi yang bersifat teknis dan prosedural; (ii) liberalisasi pergerakan-pergerakan uang, investasi dan perdagangan lintas batas negara; (iii) jaminan hak-hak milik modal global; dan (iv) legalisasi organisasi dan aktivitas global.

Senada dengan pendapat Scholte di atas, menurut Firdausy, ada tiga motor penggerak dalam globalisasi ekonomi: pertama, liberalisasi yaitu liberalisasi aliran modal dalam bentuk aliran uang yang menyertai perdagangan barang dan jasa, penanaman modal asing dan investasi porto-folio. Kedua, privatisasi, karena secara teoritis dan praktis dapat berfungsi dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan nasionalisasi. Kebijakan privatisasi pertama sekali dicanangkan oleh Perdana Menteri Margareth Tatcher dari Inggris pada tahun 1979 dan terbukti sukses. Ketiga, deregulasi yaitu pengurangan berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak pro-pasar dan tidak pro-efisiensi sehingga peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku ekonomi dan bisnis.

Menurut The Group of Lisbon (1995) sebagaimana dikutip oleh Firdausy, bentuk globalisasi dapat dikategorikan menjadi tujuh jenis. Pertama, globalisasi keuangan dan pemilikan modal melalui deregulasi pasar modal, mobilisasi modal internasional, merjer dan akuisisi. Kedua, globalisasi pasar dan strategi ekonomi melalui integrasi kegiatan usaha skala intersional, aliansi strategis, dan pembangunan usaha terpadu di negara lain. Ketiga, globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan pengembangan. Keempat, globalisasi sikap hidup dan pola konsumsi atau globalisasi budaya. Kelima, globalisasi aturan-aturan pemerintah. Keenam, globalisasi politik internasional. Ketujuh, globalisasi persepsi dan sosial budaya internasional.

Menurut Scholte, globalisasi paling tidak berhubungan dengan empat dimensi, yaitu dimensi produksi, dimensi pemerintahan, dimensi komunitas, dan dimensi pengetahuan. Pada dimensi produksi, globalisasi telah menimbulkan global kapital. Kapital tidak saja menjadi komoditas, tetapi telah menjadi commodification. Percepatan globalisasi telah memperluas skop commodifikation ke dalam tiga area. Pertama, konsumerisme – banyak berhubungan dengan produk global – telah memperluas bidang industri kapital. Merek-merek global (global branding) menjadi incaran para konsumen global ini, seperti Sony, Armani, Michael Jackson, Coca-Cola, dan lain-lain. Kedua, pertumbuhan skop kapital finansial. Perbankan global, sekuritas global dan jenis-jenis bisnis global lainnya telah secara luar biasa meningkatkan volume dan ragam instrument finansial. Ketiga, globalisasi juga telah menciptakan keadaan-keadaan pertumbuhan besar dalam kapital komunikasi dan informasi. Pada dimensi ini globalisasi juga mereorganisasi perusahaan secara global. Globalisasi pada dimensi pemerintahan mempercepat lima perubahan umum: (i) berakhirnya kedaulatan negara; (ii) reorientasi pelayanan suprateritorial sebaik kepentingan wilayah negaranya; (iii) menurunnya tekanan terhadap jaminan keselamatan sektor publik; (iv) redefinisi penggunaan peperangan; dan (v) meningkatnya ketergantungan terhadap penyusunan regulasi multilateral. Pada dimensi komunitas, globalisasi mendorong (i) peningkatan bentuk bangsa dari state-nation (negara-bangsa) kepada ethno-nation, region-nation, dan transworld-nation; (ii) munculnya identitas kolektif yang tidak didasarkan pada kerangka-kerja nasional; (iii) menikatnya komunitas manusia kosmopolitan kepada komunitas manusia universal; dan (iv) tumbuhnya identitas hibrida dan komunitas yang saling melengkapi dalam politik dunia kontemporer. Globalisasi pada dimensi pengetahuan, disamping meningkatnya rasionalime dengan berbagai atributnya seperti sekularisme, antroposentrisme, saintisme, dan instrumentalisme, juga telah menumbuhkan pengetahuan non-rasional, seperti revivalisme keagamaan, ekosentrisme, dan pemikiran pos-modernisme.

D. Implikasi Globalisasi terhadap Negara Berkembang

Kenyataannya, globalisasi bak air bah, tidak dapat dibendung, apalagi bagi negara-negara yang telah menandatangani perjanjian WTO, termasuk Indonesia. Menurut Marzuki Usman seperti yang dikutip oleh Mahmud Toha, globalisasi atau era kesejagatan bagi Indonesia adalah suatu hal yang pasti karena Indonesia salah satu negara pendiri World Trade Organization (WTO), yaitu dengan ditandatangani perjanjian WTO pada bulan April 1994 yang kemudian diratifikasi oleh DPR pada bulan November 1994. Hakekat perjanjian tersebut adalah dunia akan menuju kepada pasar bebas paling lambat sebelum tahun 2020.

Bagi negara-negara maju globalisasi lebih banyak berimplikasi positif ketimbang negatif, karena mereka adalah negara-negara yang paling siap baik secara ekonomi maupun politik dibandingkan negara-negara berkembang. Pasar bebas dan globalisasi, terutama bagi negara-negara berkembang menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua pandangan yang kontradiktif berkaitan implikasi globalisasi; pandangan optimis dan pandangan pesimis.

Bagi para ekonom dan pendukung kapitalisme, sperti Stern (2000) dan Madison (1998) sebagaimana dikutip Mahmud Toha, globalisasi (i) dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan; (ii) dapat mempercepat terwujudnya pemerintahan yang demokratik dan masyarakat madani dalam skala global; (iii) tidak mengurangi ruang gerak pemerintah dalam kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang; (iv) tidak berseberangan dengan desentralisasi; dan (v) bukan penyebab krisis ekonomi.

Pandangan kontradiktif diberikan oleh kalangan skeptis seperti Holley (2000) sebagaimana dikutip oleh Mahmud Toha, bahwa globalisasi adalah: (i) sebagai kapitalisme kasino; (ii) anti negara; (iii) sebagai kompetisi yang menghancurkan; (iv) sebagai pembunuh pekerjaan; (v) merugikan kaum miskin; (vi) sebagai individualisme yang berlebihan; (vii) sebagai imperialisme budaya; dan (viii) merupakan kompor bagi munculnya gerakan-gerakan neo-nasionalis dan fundamentalis.

Implikasi-implikasi globalisasi bagi negara berkembang dapat dilihat uraian berikut ini. Pertama, peningkatan integrasi perekonomian nasional ke dalam pasar global menjanjikan pembesaran dramatis atas volume dan karakter arus-arus sumber daya internasional. Kenyataannya, tatkala pasar-pasar nasional negara berkembang dibuka, pasar-pasar internasional justru banyak yang masih tertutup bagi ekspor mereka. Proteksionisme negara-negara maju terhadap produk ekspor negara-negara berkembang terus meningkat sebelum tercapainya Perjanjian GATT (Generat Agreement on Tariff and Trade; Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan) pada tahun 1994 dengan dicapainya kesepakatan Uruguay Round dan WTO. Bahkan, proteksionisme negara-negara maju masih terus berlanjut setelah perjanjian GATT tersebut. Berbagai alasan digunakan oleh negara-negara maju dalam melegalisasi proteksionisme mereka, seperti standar kualitas barang yang rendah, negara pengekspor melanggar HAM atau perusak ekologi hutan tropis, dan sebagainya.

Kedua, karena ekspansi perdagangan sangat ditentukan oleh sektor perbankan yang menjadi sumber pembiayaan bagi semua transaksi dagang internasional itu, maka peningkatan ukuran, daya saing, dan difusi pasar finansial internasional mengandung kekuatan potensial yang besarguna menarik perekonomian berpendapatan rendah ke dalam perekonomian dunia secara utuh. Bagi negara-negara berkembang peningkatan integrasi ke dalam pasar-pasar finansial internasional sangat berpotensi untuk memperbaiki prospek mereka dalam upaya meningkatkan fleksibilitas dan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Kenyataannya, proses globalisasi pasar finansial dunia hanya akan menurunkan biaya-biaya transaksi dagang bagi negara-negara masju yang sudah memiliki akses ke pasar-pasar internasional; sedangkan bagi negara-negara berkembang yang sama sekali belum atau kurang memiliki akses itu, maka globalisasi pasar finansial hanya akan memperbesar kerugian komparatif mereka.

Ketiga, globalisasi pasar finansial juga sangat rentan dari pelaku spekulan pasar uang dan pasar modal. Ketergantungan setiap negara terhadap valuta asing menjadi sangat tinggi. Devisa yang dikumpulkan negara dengan susah payah guna membiayai pembangunan dapat dengan mudah dan dalam sekejap lari ke luar negeri (capital flight) oleh ulah para spekulan jahat yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Streeten (2001) sebagaimana dikutip Toha, memberikan bukti-bukti empiris bahwa arus devisa global telah mencapai jumlah yang sangat mencengangkan yaitu US $ 2 triliun setiap hari, 98 persen diantaranya untuk aktivitas ekonomi yang bersifat spekulatif. Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia yang diperkirakan sebagai “contagian effects” dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand adalah diakibatkan oleh ulah spekulasi ini.

Keempat, poses globalisasi ternyata cenderung memperkecil kekuatan dan pengaruh ekonomi suatu negara secara individual, apalagi jika itu adalah negara berkembang yang kemampuannya serba terbatas. Negara-negara berkembang yang tidak terlibat secara aktif atau secara langsung ke dalam blok-blok perdagangan yang didominasi oleh dolar Amerika, yen Jepang atau mark Jerman, baik di kawasan Amerika Utara, di Palung Pasifik maupun di Eropa, akan menghadapi masa-masa sulit.

Kelima, proses globalisasi telah meningkatkan dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, para pemilik modal dan para menejer serta kelompok profesional. Masa dominasi negara telah beralih kepada lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia (World Bank). Ketergantungan terhadap kedua lembaga ini telah membuat negara-negara penerima bantuan atau peminjam tidak berdaya dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi dan pembagunan negaranya. Bank Dunia dan IMF adalah corong dan eksekutor paham ekonomi neo classic yang sangat mengagungkan kekuatan dan mekanisme pasar sebagai mesin pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia. Instrumen kebijakan utamanya adalah deregulasi, liberalisasi, privatisasi, devaluasi, dekontrol dan anti defisit anggaran belanja negara.

Keenam, salah satu perwujudan ketidakadilan antar negara yang terus memburuk adalah meningkatnya arus migrasi internasional ilegal, terutama migrasi tenaga kerja atau biasa dikenal dengan istilah ‘international brain drain” dari berbagai negara Selatan yang miskin ke negara-negara industri di Utara yang lebih makmur. Tetapi, bagi negara-negara maju tujuan migrasi itu mulai merasa bahwa para pekerja pendatang tersebut merupakan ancaman terhadap perekonomian dan juga kebudayaan serta “cara hidup” mereka.

E. Tatanan Ekonomi Baru dan Peran Pemerintah: Perspektif Islam

Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis sebagai motor penggerak utama globalisasi sebenarnya sudah sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme itu sendiri. Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis ekonomi tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa tatanan ekonomi dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan ketimpangan struktur ekonomi di banyak tempat terutama negara-negara berkembang. Beberapa alternatif telah dimajukan, seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam sebagai pilar tatanan ekonomi baru dunia.

Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).

Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.

Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang.

Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal. Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25). Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf

Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan.

Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.

F. Penutup

Suka atau tidak suka, globalisasi telah dan segera menyapa setiap negara, setiap masyarakat di dunia. Oleh karena itu, tidak satu negarapun mampu dan menganggap perlu untuk mengisolasi diri dari pengaruh perekonomian dunia. Yang menjadi permasalahan adalah seberapa besar manfaat yang dapat dinikmati dan mudharat yang bakal dipikul oleh setiap negara yang terlibat dalam proses globalisasi akan terpulang kepada kesiapan negara yang bersangkutan dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.

Sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, ternyata kesiapan negara-negara berkembang sangat lemah dibanding negara-negara industri maju. Oleh karena itu, implikasi yang negatif justru yang menimpa mereka, mulai dari sulitnya mengatasi krisis ekonomi hingga ketergantungannya yang sangat besar kepada negara-negara industri maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, terutama bantuan luar negeri atau hutang.

Tatanan ekonomi baru yang lebih adil sangat diperlukan dan ekonomi Islam dapat dijadikan alternatifnya, karena dibangun tiga landasan utama yang mencerminkan dan menjamin keadilan berjalan.

Tidak ada komentar: