Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Rabu, 03 Maret 2010

IKLIM ILMIAH FSSR, HIBERNASI atau MATI SURI ?

IKLIM ILMIAH FSSR, HIBERNASI atau MATI SURI ?
Kisah “Iklim Ilmiah” Fakultas ini mulai dipertanyakan. Apakah sang penghuni Fakultas sedang “Mati Suri” karena terjadi kerusakan dalam tubuh birokrasi. Ataukah, layaknya sang beruang di kutub utara, yang melakukan hibernasi untuk persiapan amunisi lebih besar nantinya.

Iklim ilmiah ialah suatu keadaan ketika penalaran dan beberapa study tentang hal-hal yang sistematis berkembang di dalamnya. Salah satu parameter berkembangnya iklim ilmiah suatu fakultas adalah dengan adanya respon positif dan antusiasme warganya dalam hal penelitian. Satu dari kegiatan penalaran ialah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). “Meski tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa kegiatan mahasiswa berupa sarasehan, seminar dan workshop juga merupakan kegiatan yang bersifat penalaran.” ungkap Dr Djatmika, M.A.
PKM merupakan salah satu program penalaran di UNS yang memiliki tujuan melatih mahasiswa dalam menulis ilmiah. Kegiatan-kegiatan seperti ini mendapat dukungan penuh dari pihak universitas dengan membentuk suatu tim sosialisasi untuk mensosialisasikan PKM di setiap Fakultas. Unit Pengembangan Kreativitas dan Penalaran Mahasiswa (UPKPM) lah yang selama ini menjadi penyelenggara sosialisasi PKM setiap fakultas di UNS.
PKM yang berkutat dalam hal penalaran selalu identik dengan manusia eksak, sehingga manusia non-eksak terkesan terpinggirkan dan “merasa” minder untuk berkarya. Fakta itulah yang seolah memenjarakan FSSR dalam produktifitas PKM. Fakultas yang tergolong tua ini, mengalami sebuah keadaan yang kurang menguntungkan dalam hal penalaran ilmiah. Asep Yudha Wirajaya S.S, salah satu dosen Sastra Indonesia yang menjadi pembimbing penelitian ilmiah menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 FSSR menempati peringkat 7-8 dari 9 fakultas di UNS dengan jumlah proposal yang diterima dikti paling banyak 2 proposal. Hal itu berarti bahwa FSSR menempati urutan terakhir nomor dua di Universitas ini.
Ironis memang, mahasiswa yang menghuni fakultas ini masih kurang peka terhadap keadaan sosial yang ada di sekitarnya termasuk PKM. Padahal jika berhasil mendapatkan pendanaan proposal dari DIPA atau DIKTI ia akan mendapat banyak keuntungan. “Mahasiswa bisa mendapatkan link, pengalaman dan dana yang “mungkin” bisa sedikit membantu pembayaran study mereka” ujar Sri Wahyuni. S.IP, Kasubbag tiga FSSR.
Pembantu Rektor III menyatakan bahwa salah satu penyebab iklim ilmiah yang melemah di FSSR ialah reward terhadap proposal PKM belum maksimal dari pihak fakultas. Sehingga sebagai pemicu, fakultas memberikan uang pengganti pembuatan proposal sebesar RP 50.000,- per judul. Selain itu, IOM pun meminjamkan uang untuk biaya penelitian bagi proposal PKM yang lolos DIPA atau DIKTI. Tahun 2008, proposal yang masuk sepuluh besar di Fakultas diberi tambahan uang Rp 100.000,- dan untuk juara satu mendapat uang senilai satu juta rupiah. Fakultas pun akan memberikan sertifikat dan point plus jika ada mahasiswa FSSR yang menang dalam PIMNAS. Itulah yang mendorong mahasiswa semakin berkreasi dalam PKM. Buktinya ada peningkatan kuantitas proposal dari tahun ke tahun.

Kurang Koordinasi
Fakultas Kedokteran, Fakultas yang berhasil mencetak mahasiswa pembawa emas bagi UNS tahun 2009 menyatakan bahwa mereka selalu menyeimbangkan porsi setiap civitas dalam penanaman jiwa peneliti dan peduli lingkungan sejak dini. Adanya UKM (Unit Kegiatan mahasiswa) Penelitian dan kerjasama dosen matakuliah dalam hal sosialisasi turut membantu perkembangan PKM tumbuh subur di Fakultas ini. Sepertinya hal itu sudah saatnya diterapkan di FSSR, ketika fakultas telah mengadakan sosialisasi dan upaya pelatihan, Dosen dan PA (Pembimbing Akademik) harus ikut membantu kinerja dekanat. Berdasarkan fakta di lapangan tingkat kepedulian dosen dan PA terhadap hal ini sangat kurang. “hanya ada sebagian dosen yang perhatian, yang lain mungkin mendukung tapi kurang ada tindakan” ungkap salah satu mahasiswa FSSR. Sosialisasi yang selama ini berjalan tak beriringan dengan PA dan Dosen menyebabkan ada beberapa mahasiswa yang sama sekali tidak tahu mengenai PKM dan seluk-beluknya, bahkan hal itu dialami oleh beberapa mahasiswa diatas semester empat.
Beberapa kegiatan pasca sosialisasi memang telah dilakukan oleh pihak fakultas. Kegiatan tersebut diantaranya ialah pelatihan, workshop, dll. Bahkan PKM dijadikan syarat wajib penerima Beasiswa, padahal PKM ialah hak seorang mahasiswa bukan kewajiban. Keputusan tersebut ialah salah satu kebijakan FSSR untuk peningkatan kuantitas PKM. “pembuatan PKM diwajibkan bagi penerima Beasiswa sudah ada sejak dulu, tapi sampai saat ini mahasiswa yang tidak membuat PKM masih bisa menerima Beasiswa” Ungkap Eko, mahasiswa Sastra Indonesia yang aktif membuat PKM. Menurut salah satu pengurus BEM, wajib membuat PKM “mungkin” hanya sebuah gertakan agar mahasiswa yang menerima beasiswa memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia terima dengan membuat PKM. Sebenarnya yang perlu diperhatikan ialah bagaimana membuat motivasi mahasiswa tumbuh bersama PKM. Karena ketika kata “Wajib” itu dianggap sebagai suatu kewajiban yang memaksa, maka produktivitas dari sebuah kinerja tidak akan maksimal. Tetapi ketika suatu hal yang “sunnah” dilakukan dengan penuh kesadaran, pastinya akan menghasilkan kualitas yang maksimal, bukan kuantitas. Meskipun untuk saat ini kuantitas menjadi parameter keberhasilan kita. Tentunya memicu semangat seluruh civitas akademik di FSSR adalah Pekerjaan Rumah pihak dekanat FSSR UNS.

Kuantitas vs Kualitas
Salah satu sumber mengatakan bahwa PKM DIPA tahun 2010 akan ditiadakan, hal ini merupakan suatu kebijakan yang “sedikit” menghambat kinerja tim UPKPM. Ketika PKM yang didanai DIPA masih ada, UNS baru bisa membukukan pengiriman proposal sekitar lima ratus, padahal di UNNES sudah bisa membukukan pengiriman proposal sekitar 2500.
Ketika fakultas lain berhasil mengumpulkan proposal lebih banyak dari FSSR, sangat tidak benar jika jumlah mahasiswa ialah alasan utama hal itu terjadi. Bukan suatu alasan bahwa kuantitas mahasiswa menjadi tolok ukur kualitas sebuah fakultas. Bahkan ketika mampu, kita pun bisa menjadi fakultas yang memiliki daya saing lebih dibanding fakultas dengan kuantitas lebih besar.

Kala Prestasi Mulai Diukir
“PKM merupakan salah satu pendongkrak prestasi sebuah Universitas, termasuk UNS yang berhasil masuk dalam peringkat ke empat Universitas negeri terbaik versi webometric.” ungkap Drs. Dwi Tiyanto S.U, PR III UNS. Tahun ini ialah tahun keemasan bagi UNS karena setelah mengalami tidur sejenak di tahun 2008 akhirnya tim UNS berhasil menyabet dua Emas dan 2 Perak dalam PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) di Malang. Layaknya suatu tongkat estafet yang selalu berkaitan, hal itu pula yang sekarang sedang dialami FSSR. Degradasi tahun lalu bisa menyadarkan FSSR bahwa mati suri pun harus diakhiri, tahun ini FSSR menempati urutan ke enam dari sembilan fakultas di UNS untuk hal PKM. Peringkat FSSR yang mengalami peningkatan dari peringkat delapan ke enam ini merupakan suatu bukti bahwa mahasiwa non-eksak seperti FSSR pun mampu berkembang lewat PKM.
Sesungguhanya masih banyak hal-hal yang belum terjamah oleh PKM di FSSR ini. Setiap jurusan di FSSR memiliki potensi tersendiri dalam penggalian wacana untuk PKM. Baik dari jurusan Sastra maupun Seni Rupa. Bahkan PKM dari fakultas Kedokteran yang berhasil mendapatkan emas ialah PKM-P (poster) yang seharusnya lebih dikuasai mahasiswa FSSR. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk pesimis terhadap status sebagai mahasiswa non-eksak untuk berkreasi. Kita harus buktikan bahwa ‘diamnya’ FSSR ialah untuk berfikir bukan karena “Mati Suri”. Segalanya bergantung pada kita, apakah tertantang untuk membawa perubahan dan mengubah stigma negative FSSR atau tidak?!. []Ika Yuniati
Reporter : Kayun, Indri, Hana

Tidak ada komentar: