Dalam rangka menghadapi era global yang diperkirakan ketat dengan persaingan disegala bidang kehidupan, khususnya dunia kerja yang semakin kompetitif, tidak ada alternatif lain selain berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui upaya peningkatan mutu pendidikan di setiap jenjang pendidikan. Guna tercapainya tujuan dimaksud selain harus didukung pengembangan program dan kurikulum serta berbagai macam model penyelenggaraan pembelajaran siswa yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional serta dipengaruhi perubahan perkembangan yang semakin cepat, maka peningkatan mutu atau kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh guru yang profesional atau dalam perkataan lain profesionalisme guru merupakan pilar utama dalam peningkatan mutu pendidikan.
Menurut Adler (1982) dalam buku Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar oleh Ibrahim Bafadal (2003: 4), guru merupakan unsur manusiawi yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Guru merupakan unsur manusiawi yang sangat dekat hubungannya dengan anak didik dalam upaya pendidikan sehari-hari di sekolah. Dalam latar pembelajaran di sekolah pernyataan tersebut sangat tergantung kepada tingkat profesionalisme guru. Jadi, diantara keseluruhan komponen pada sistem pembelajaran di sekolah ada sebuah komponen yang paling esensial dan paling menentukan kualitas pembelajaran yaitu guru. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya bilamana dihipotesiskan bahwa peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tidak mungkin ada tanpa peningkatan profesionalisme para gurunya.
Mengingat betapa pentingnya peran guru dalam pendidikan khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan, maka perlu diketahui bagaimana guru dikatakan profesional, bagaimana implementasinya dalam kegiatan belajar mengajar, serta bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Guru Profesional
Guru sebagai tenaga pendidik merupakan tenaga yang harus ada pada suatu negara. Karena mereka jugalah yang nantinya akan menjadi penentu maju mundurnya suatu bangsa. Guru inilah yang akan mewariskan kebudayaan, sebagai komponen yang menentukan tingginya kualitas sumber daya manusia, sebagai agen penggerak untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menuju yang lebih baik. Melalui pendidikan yang diberikan kepada generasi muda dalam hal ini adalah peserta didik, seorang guru akan senantiasa menjadi panutan dalam setiap tindakan anak didiknya. Mereka akan menuruti apa yang telah diajarkan oleh gurunya. Oleh karena itu guru tersebut harus senantiasa memiliki kemampuan dan keahlian untuk mengatur, membimbing, dan mengarahkan anak didik dengan sebaik-baiknya. Guru yang mempunyai kemampuan seperti itulah yang dikatakan sebagai guru profesional.
Dalam buku Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar oleh Ibrahim Bafadal (2003: 5), Rice dan Bishprick menyebutkan bahwa guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru oleh kedua pasangan penulis tersebut dipandang sebagai salah satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain menjadi mengarahkan diri sendiri. Peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS) mempersyaratkan adanya guru-guru yang memiliki pengetahuan luas, kematangan, dan mampu menggerakkan dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Memang benar apabila seorang guru yang mampu mengelola diri sendiri bisa dikatakan profesional, karena apabila ia telah mampu mengelola dirinya sendiri maka ia juga akan mampu mengelola orang lain. Namun apabila seorang guru saja tidak mampu mengelola dirinya sendiri maka bagaimana bisa ia mengelola orang lain. Guru yang bisa mengelola dirinya sendiri akan berusaha meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan Glickman (1981) menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Maksudnya adalah seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu di antara dua persyaratan di atas. Lebih lanjut menurut Glickman, sesuai dengan pemikirannya di atas, seseorang guru dapat dikatakan profesional bilamana memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment). Pernyataan tersebut sangat tepat karena kemampuan yang tinggi apabila tidak disertai dengan motivasi yang tinggi pula maka tidak akan ada hasilnya. Suatu contoh, ada seseorang yang mempunyai kemampuan menjadi seorang guru, ia sangat pandai dalam memberikan suatu penjelasan kepada orang lain, ia pun mampu menerapkan ilmu yang ia miliki dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ia tidak mempunyai motifasi yang tinggi, maka ia pun dalam bekerja tidak akan sungguh-sungguh.
Sedangkan menurut pengertian lain, guru profesional adalah guru yang ahli dibidangnya mempunyai pendidikan dan memperoleh pelatihan yang sesuai dengan bidangnya, melaksanakan proses belajar dan mengajar di kelas/ sekolah yang menjadi tanggungjawabnya, mengetahui secara persis apa yang mesti dilakukan dalam membimbing, mengajar, membina dan melatih peserta didik, sehingga kegiatan proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya sesuai target yang telah diprogramkan (Soeyadi, 2005: 23). Untuk pengertian yang lebih lanjut, dikatakan bahwa guru memang harus ahli dibidangnya. Apabila guru hanya memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi tanpa disertai keahlian yang memadai maka justru akan merugikan orang lain. Karena mengingat guru di sini sebagai panutan bagi peserta didik. Apabila apa yang telah ia sampaikan tidak sesuai dengan kenyataan maka akan menjadi suatu kesalahan yang fatal dan akan merugikan orang lain.
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya (Soetjipto dan Kosasi, 2000: 42). Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Walaupun banyak teori tentang guru profesional, namun dalam kaitan dengan implementasi peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah, berdasarkan teori-teori tersebut, sampai pada kesimpulan bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inovatif.
Pentingnya Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
Banyak alasan yang mendasari mengapa profesionalisme guru itu perlu ditingkatkan, karena ini berhubungan langsung dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Apabila diinginkan suatu hasil pendidikan yang berkualitas maka semua komponen yang terkait dengan pendidikan tersebut juga harus ditingkatkan salah satunya yaitu guru.
Pentingnya peningkatan kemampuan profesional guru dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Pertama, ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, berbagai metode dan media baru dalam pembelajaran telah berhasil dikembangkan. Demikian pula halnya dengan pengembangan materi dalam rangka pencapaian target kurikulum harus seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu harus dikuasai oleh guru dan kepala sekolah, sehingga mampu mengembangkan pembelajaran yang dapat membawa anak didik menjadi lulusan yang berkualitas tinggi. Dalam rangka itu, peningkatan profesional guru perlu dilakukan secara kontinu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan. Suatu contoh, disaat ini banyak guru yang menggunakan media LCD dalam kegiatan belajar mengajar, apabila guru tersebut tidak menguasai teknologi maka ia akan tertinggal oleh guru-guru yang memang menguasai IPTEK, ia hanya menulis di papan kemudian para siswa mencatat. Selain itu, di era seperti ini banyak informasi-informasi yang disajikan lewat internet. Apabila guru gagap teknologi maka ia akan ketiggalan informasi yang seharusnya wajib ia ketahui.
Kedua, ditinjau dari kepuasan dan moral kerja. Sebenarnya peningkatan kemampuan profesional guru merupakan hak setiap guru. Artinya, setiap pegawai berhak mendapat pembinaan secara kontinu, apakah dalam bentuk supervisi, studi banding, tugas belajar, maupun dalam bentuk lainnya. Pemenuhan hak tersebut, bilamana dilakukan dengan sebaik-baiknya, guru tidak hanya semakin mampu dan terampil dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya, melainkan juga semakin puas, memiliki moral atau semangat kerja yang tinggi, dan berdisiplin.
Ketiga, ditinjau dari keselamatan kerja. Banyak aktivitas pembelajaran di sekolah yang bilamana tidak dirancang dan dilakukan secara hati-hati oleh guru mengandung risiko yang tidak kecil. Aktivitas pembelajaran yang mengandung risiko tersebut banyak ditemukan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, khususnya pada pokok-pokok bahasan yang dalam proses pembelajarannya menuntut keaktifan siswa dan atau guru menggunakan bahan-bahan kimia. Bilamana pembelajarannya tidak dirancang dan dilaksanakan secara profesional, tidak menutup kemungkinan terjadi adanya kecelakaan-kecelakaan tertentu, seperti peledakan bahan kimia, tersentuh jaringan listrik, dan sebagainya. Dalam rangka mengurangi terjadinya berbagai kecelakaan atau menjamin keselamatan kerja, pembinaan terhadap guru perlu dilakukan secara kontinu.
Keempat, peningkatan kemampuan profesional guru sangat dipentingkan dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Sebagaimana ditegaskan bahwa salah satu ciri implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah kemandirian dari seluruh stakeholder sekolah, salah satunya dari guru. Kemandirian guru akan tumbuh bilamana ada peningkatan kemampuan profesional kepada dirinya.
Jadi, dari uraian di atas sudah jelas bahwa peningkatan profesionalisme guru memang sangat penting, baik ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dari kepuasan dan moral kerja, dari keselamatan kerja serta dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Metode Pembelajaran Guru Profesional
Penerapan sikap keprofesionalime guru dapat diketahui dari bagaimana seorang guru tersebut mampu menerapkan metode pembelajaran yang merupakan cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu yaitu proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Banyak metode pembelajaran yang dapat dipergunakan dalam menyajikan pelajaran kepada siswa-siswa, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, penampilan, metode studi mandiri, pembelajaran terprogaram, latihan sesama teman, simulasi, karya wisata, induksi, deduksi, simulasi, studi kasus, pemecahan masalah, insiden, seminar, bermain peran, proyek, praktikum, dan lain-lain.
Seorang guru kadang-kadang merasa kaku dalam mempergunakan satu atau dua metode, dan menterjemahkan metode itu secara sempit dan menerapkan metode di kelas dengan metode yang pernah ia baca. Metode pembelajaran merupakan cara untuk menyampaikan, menyajikan, memberi latihan, dan memberi contoh pelajaran kepada siswa. Dengan demikian metode dapat dikembangkan dari pengalaman, seseorang guru yang berpengalaman dia dapat menyuguhkan materi kepada siswa, dan siswa mudah menyerapkan materi yang disampaikan oleh seorang guru secara sempurna dengan memepergunakan metode yang dikembangkan dengan dasar pengalamannya, metode-metode dapat dipergunakan secara variatif, dalam arti kata tidak monoton dalam satu metode.
Dalam proses belajar mengajar, guru dihadapkan untuk memilih metode-metode dari sekian banyak metode yang telah ditemui para ahli sebelum ia menyampaikan materi pengajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Namun dalam hal ini seorang guru tidak asal memilih metode pembelajarannya tetapi harus memenuhi pertimbangan-pertimbangan diantaranya harus memperhatikan tujuan pembelajaran, pengetahuan awal siswa, bidang studi/pokok bahasan/aspek, alokasi waktu dan sarana penunjang, jumlah siswa serta pengalaman dan kewibawaan pengajar (Yamin, 2006: 148).
Penentuan tujuan pembelajaran merupakan syarat mutlak bagi guru dalam memilih metode yang akan digunakan di dalam menyajikan materi pengajaran. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang hendak dicapai pada akhir pengajaran, serta kemampuan yang harus dimiliki siswa. Sasaran tersebut dapat terwujud dengan menggunakan metode-metode pembelajaran. Misalnya, seorang guru Olahraga & Kesehatan menetapkan tujuan pembelajaran agar siswa dapat mendemonstrasikan cara menendang bola dengan baik dan benar. Dalam hal ini metode yang dapat membantu siswa-siswa mencapai tujuan adalah metode ceramah, guru memberi instruksi, petunjuk, aba-aba, dan dilaksanakan di lapangan, kemudian metode demonstrasi, siswa-siswa mendemonstrasikan cara menendang bola dengan baik dan benar, selanjutnya dapat digunakan metode pembagian tugas, siswa-siswa kita tugasi bagaimana menjadi kiper, kapten, gelandang, dan apa tugas mereka, dan bagaimana mereka dapat bekerja sama dan menendang bola. Pengetahuan awal siswa juga perlu diperhatikan karena dengan guru mengetahui seberapa pengetahuan siswa maka selanjutnya guru tersebut bisa menentukan metode apa yang tepat untuk diberikan kepada siswa. Pengetahuan awal dapat berasal dari pokok bahasan yang akan diajarkan, jika siswa tidak memiliki prinsip, konsep dan fakta atau memiliki pengalaman, maka kemungkinan besar mereka belum dapat dipergunakan metode yang bersifat belajar mandiri, penampilan, latihan dengan teman, sumbang saran, praktikum, bermain peran dan lain-lain. Untuk mengetahui pengetahuan awal siswa biasanya guru dapat melakukan pretes tertulis maupun tanya jawab diawal pelajaran. Begitu juga dengan bidang studi harus diperhatikan. Program pendidikan akademik yang bidang studinya berkaitan dengan keterampilan, maka metode yang akan digunakan lebih berorientasi pada masing-masing ranah (kognitif, afektif dan psikomotorik) yang terdapat dalam pokok bahasan. Misalnya pokok bahasan psikomotorik maka metode yang pergunakan lebih cocok ke metode demonstrasi dan lain-lain.
Mengenai alokasi waktu dan sarana penunjang juga merupakan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran karena apabila guru menggunakan metode yang kurang tepat maka proses belajar mengajar akan menjadi terhambat. Selain itu hal terpenting lainnya yang harus diperhatikan dalam menentukan suatu metode pengajaran adalah jumlah siswa. Jumlah siswa ini sangat menentukan efektif atau tidaknya proses pembelajaran di kelas. Apabila ukuran kelas besar dan jumlah siswa yang banyak metode ceramah yang lebih efektif, di samping metode ceramah guru dapat melaksanakan tanya jawab, dan diskusi.
Di bawah ini digambarkan sinkronisasi antara metode dengan kemampuan yang akan dicapai berdasarkan indikator yang telah dirancang atau disepakati oleh guru atau guru bersama siswa. Nantinya diharapkan guru, pelatih dan instruktur dapat memilih metode apa yang paling tepat dengan mempertimbangkan jumlah siswa, alat, fasilitas, biaya, dan waktu.
No. | METODE | KEMAMPUAN YANG AKAN DICAPAI BERDASARKAN INDIKATOR |
1. | Ceramah | Menjelaskan konsep/prinsip/prosedur. |
2. | Demonstrasi | Menjelaskan suatu ketrampilan berdasarkan standart prosedur tertentu. |
3. | Tanya jawab | Mendapatkan umpan balik/partisipasi/menganalisis |
4. | Penampilan | Melakukan suatu ketrampilan. |
5. | Diskusi | Menganalisis/memecahkan masalah. |
6. | Studi Mandiri | Menjelaskan/menerapkan/menganalisis/mensintesis/ Mengevaluasi/melakukan sesuatu baik yang bersifat kognitif maupun psikomotor |
7. | Kegiatan pembelajaran terprogram | Menjelaskan konsep/prinsip/prosedur |
8. | Latihan bersama teman | Melakukan sesuatu ketrampilan |
9. | Simulasi | Menjelaskan/menerapkan/menganalisais suatu konsep dan prinsip. |
10. | Pemecahan masalah | Menjelaskan/menerapkan/menganalisis konsep/prosedur/prinsip tertentu |
11. | Studi kasus | Menganalis dan memecahkan masalah. |
12. | Insiden | Menganalis dan memecahkan masalah |
13. | Praktikum | Melakukan sesuatu ketrampilan. |
14. | Proyek | Melakukan sesuatu/menyusun laporan suatu kegiatan. |
15. | Bermain peran | Menerapkan suatu konsep/prinsip |
16. | Seminar | Menganalisis/memecahkan masalah |
17. | Simposium | Menganalisis masalah |
18. | Tutorial | Menjelaskan/menerapkan/menganalisis konsep/prosedur/prinsip tertentu |
19. | Deduksi | Menjelaskan/menerapkan/menganalisis konsep/prosedur/prinsip tertentu |
20. | Induksi | Mensintesis suatu konsep |
21. | Computer assisted learning | Menjelaskan/menerapkan/menganalisis/mensintesis/ Mengevaluasi |
Seorang guru yang profesional akan mampu menyesuaikan kondisi yang tepat pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Mereka akan mampu menerapkan metode apa yang tepat untuk diberikan kepada anak didiknya. Mereka yang profesional akan terlihat dari bagaimana cara mereka menyajikan materi kepada para siswa. Jadi, melalui implementasi metode pembelajaran ini dapat diketahui bagaimanakah guru yang profesional dalam hal penguasaan cara mengajar.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Telah ditegaskan di muka betapa pentingnya guru profesional dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah upaya-upaya apa yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan profesionalisme? Atau apa yang dapat dilakukan dalam upaya membuat guru menjadi berpengetahuan luas, memiliki kematangan yang tinggi, mampu menggerakkan sendiri, memilki daya abstraksi dan komitmen yang tinggi, lebih kreatif, dan mandiri?
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetisi, yaitu kompetisi pedagogis, kognitif, personaliti dan sosial (Riva, Dede M, 2007). Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (5) memiliki tanggung jawab atas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, (9) memilki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru (Undang-Undang Dasar tentang Guru dan Dosen, 2006: 7).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut (1) kualifikasi dan latar belakang tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak diantara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya, (2) tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi yaitu kompetisi pedagogis, kognitif, personaliti dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik, (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Sementara ini guru berprestasi dan tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi, namun program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang akhirnya akan berpotensi subyektif, (4) kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri dan karir. Hal itu dapat dilihat dengan munculnya beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program kecerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala dan sebagainya. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well artinya guru haruslah orang yang mempunyai insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas, barulah seorang guru menjadi teladan. Menyadari banyaknya guru yang belum memenui kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah kongkrit. Hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi, sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan, caranya tiada lain dengan pelatihan, (2) pembinaan perilaku kerja. Studi-studi psikologi sejak zaman Max Weber diawal abad ke 20 dan penelitian-penelitian manajemen 20 tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia terutama perilaku kerja, (3) penciptaan waktu luang. Waktu luang sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudidayaan. Salah satu tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia makin menjadi “penganggur terhormat”, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas ( mind) dan kepribadian (personal), (4) peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu membangun manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Menurut Supratno (2006: 10), untuk lebih mendukung tercapainya peningkatan kemampuan profesionalisme guru, pemerintah dalam hal ini Depdiknas senantiasa secara periodik memfasilitasi kegiatan melalui:
- Peningkatan kualitas guru melalui penyelenggaraan penyetaraan disetiap jenjang pendidikan.
- Peningkatan kemampuan profesionalisme guru melalui kegiatan penataran/pelatihan bekerja sama dengan lembaga-lembaga penalaran atau diklat.
- Memotifasi pengembangan kelompok kerja guru melalui PKG, PSB SPKG, PPPG dan sebagainya.
- Penyesuaian penataan/ pemerataan jumlah guru dalam berbagai jumlah studi/mata pelajaran guna memenui kebutuhan kurikulum.
- Mensubsidi bantuan tenaga guru serta melakukan pembinaan mutu guru pada setiap sekolah khususnya sekolah swasta.
- Melakukan pembinaan karir guru sesuai jabatan fungsional guru.
- Secara periodik berusaha meningkatkan guru melalui berbagai cara atau terobosan.
Upaya-upaya peningkatan profesionalitas guru ini harus dilakukan secara sistematis, dalam arti direncanakan secara matang, dilaksanakan secara taat asas dan dievaluasi secara obyektif. Seharusnya yang melakukan upaya peningkatan profesionalisme guru ini tidak hanya para kepala sekolah maupun pemerintah tetapi yang paling menentukan yaitu guru yang bersangkutan. Walaupun telah diikutkan pelatihan atau telah disupervisi tanpa disertai kemauan dan kesadaran dari guru yang bersangkutan, maka semua kegiatan yang dilakukan akan sia-sia.
Kesimpulan
Profesionalisme guru sangat diperlukan dalam peningkatan mutu pendidikan, karena guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Apabila tenaga pengajar ini bisa dengan profesional melaksanakan tugasnya maka kualitas peserta didik juga akan baik. Setiap guru harus mengetahui bagaimana guru dikatakan profesional, sebab dengan pengetahuan tersebut guru bisa menyesuaikan keadaan yang ada pada dirinya, dalam arti apabila guru tersebut merasa dirinya kurang profesional maka diharapkan ia akan berusaha meningkatkan keprofesionalisme dirinya. Peningkatan profesionalisme guru ini sangat penting demi terwujudnya sumber daya yang berkualitas yang dapat diandalkan. Seorang guru yang professional dapat dilihat dari implementasinya dalam menggunakan metode pembelajaran pada proses kegiata belajar mengajar. Profesionalisme guru dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya baik itu melalui kegiatan seminar, pelatihan, adanya sertifikasi, melalui kegiatan penyuluhan dan lain-lain.
Saran
Sebagai seseorang yang peduli terhadap pendidikan, hendaknya kita selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikan tersebut melalui berbagai cara. Umumnya kita sebagai tenaga pendidikan dan khususnya untuk para guru yang memang menjadi penunjang utama dalam peningkatan mutu pendidikan.
Para guru hendaknya selalu berupaya untuk meningkatan kualitas diri agar bisa menjadi guru yang profesional. Para guru jangan terlalu puas dengan kemampuan yang telah dimiliki, namun harus selalu berusaha mengintrospeksi diri dan berusaha memperbaikinya. Jangan menghalalkan segala cara hanya untuk mengejar materi semata. Guru sebagai teladan harus bisa memberi contoh yang baik kepada anak didik dan harus bisa menguasai ilmu pengetahuan agar bisa mengantarkan anak didik menuju kesuksesan dan bisa menjadi penunjang keberhasilan pendidikan.
Daftar Rujukan
Bafadal, Ibrahim. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Riva, Dede M. Oktober 2007. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru. (Online). (http://beta.pikiran.rakyat.com, diakses 2 April 2009).
Soeryadi, DM. November, 2005. Profesionalisme Guru Merupakan Pilar Utama dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Media, hlm 23-24.
Soetjipto dan Kosasi, Raflis. 2000. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Supratno, Haris. 2006. Peran Strategis LPTK dan Sertifikasi. Media, hlm 10.
Undang-Undang Dasar Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara.
Yamin, Martinis. 2006. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jambi: Gaung Persada Press.
http://iftitaarika.wordpress.com/2010/04/01/profesionalisme-guru-sebagai/
BAB II
PROBLEMATIKA SEPUTAR GURU
2.1. Meningkatkan kualitas guru
2.4. Globalisasi dan tuntutan peningkatan kualitas guru
2.5. Meningkatkan kualitas guru dalam proses belajar mengajar
2.6. Mempersiapkan gurru masa depan
2.1. Meningkatkan Kualitas Guru
Setiap kali kita berada pada masa akhir tahun ajaran sekolah perhatian masyarakat akan tertuju kepada betapa rendahnya kualitas pendidikan sekolah menengah yang ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai ebtanas murni (NEM). Rendahnya skor di atas akan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan rendahnya kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang dibenahi adalah kualitas guru dan kualitas pendidikan guru.
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan dengan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan, misalnya diintroduksirnya proyek perintis sekolah pembangunan, pengajaran dengan system modul, pendekatan pengajaran CBSA, tetapi mengapa sampai detik ini usaha-usaha tersebut belum juga menunjukkan hasilnya?
A. Mengabaikan guru
Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru. Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai seseorang yang memiliki "kepribadian".
Sebagai contoh yang masih hangat adalah diintroduksirnya pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif dalam proses belajar mengajar. Keyakinan para pengambil kebijaksanaan atas kehebatan CBSA telah mendorong dikeluarkannya penetapan keharusan guru untuk menggunakan pendekatan tersebut dalam proses belajar mengajar. Barangkali keyakinan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdasarkan hasil-hasil penelitian. Namun sayangnya penetitian-penelitian yang menyangkut proses belajar mengajar di kelas selama ini lebih banyak bersifat informatif sehingga jauh dari memadai dikarenakan penelitian tersebut melihat pengajaran pandangan "luar guru".
Pengambil kebijaksanaan di bidang pendidikan tidak pernah menghayati apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi di ruang-ruang kelas. Misalnya, dampak jumlah murid yang besar, keberanian murid untuk menyampaikan gagasan rendah, motivasi lebih terarah untuk belajar guna menghadapi tes daripada belajar untuk memahami pelajaran yang disampaikan guru, target materi pelajaran yang begitu berat bagi seorang guru, dan sebagainya. Kalau hal-hal tersebut mendapat perhatian niscaya kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran bisa lain, paling tidak untuk sementara waktu.
Patut disimak misalnya pertanyaan yang diajukan oleh guru-guru: "Mengapa kita tidak dilatih saja bagaimana cara mengajar dengan ceramah yang paling tepat dan baik, dari pada diharuskan mengajar dengan CBSA? Seharusnya sesudah bisa melaksanakan pengajaran dengan metode ceramah yang benar baru kita belajar metode yang lain".
Tersendat-sendatnya pelaksanaan CBSA dewasa ini merupakan bukti bahwa setiap kebijaksanaan di bidang pendidikan, apalagi pengajaran di kelas, yang meninggalkan pandangan guru sebagai
BAB I
WACANA SEPUTAR PENDIDIKAN
1.1. Perbandingan sistem pendidikan tradisional dengan modern.
1.2. Konsep pendidikan desentralisasi dan de-berlinasi
1.3. Restrukturisasi pendidikan
1.5. Agenda reformasi pendidikan
1.2. Konsep Pendidikan Desentralisasi, dan De-Berlinisasi
Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
A. Desentralisasi
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman ekonom yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar sekolah-sekolah negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan pada dasarnya adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat tergantung kepada anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi pendidikan pada sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem sekolah negeri, pemerintah mengembangkan sistem "voucher", yakni pemerintah memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan voucher, dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah pada gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan system voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah yang bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang bermutu rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang. Lebih lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher ini, maka sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah yang bisa terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu sebagai ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher ini bersumberkan dari ide "free fight competition". Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai kemandirian dalam melaksanakan pendidikan.
Ide yang berkembang di Sovyet pada hakekatnya tidak jauh dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan masyarakat sosialis di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan diusulkan untuk diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah Mikhail Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara "beruang merah" tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Artinya, sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara maksimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan terdapat usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tetapi, boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi akan meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di atas tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi, juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
B. De-berlinisasi
Apabila disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita adalah hadirnya suatu tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok tersebut betul-betul memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur secara total. Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok Berlin tersebut muncul dan memisahkan "dunia pendidikan''.di satu fihak dan "dunia kerja" di fihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya, hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi di dunia kerja tidak bisa cepat disadap oleh dunia pendidikan. Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Dan, adanya pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja di dunia kerja tidak bisa dielakkan lagi.
Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. De-berlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang riil dari dunia kerja, sebaliknya orang-orang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi- informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Pelaksanaan deberlinisasi dalam ujud konkret dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas dan mudah orang-orang dari dunia pendidikan untuk praktek kerja, observasi dan magang di dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum, pendidikan, bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilakukan di mana dunia kerja menyumbangkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk pada waktu tertentu menjadi staf pengajar luar biasa di lembaga pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga meningkat aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan membawa semangat dan mentalitas dunia kerja ke dalam dunia pendidikan.
Nampaknya usaha peningkatan kualitas pendidikan sangat besar perannya bagi peningkatan pembangunan bangsa. Dan peningkatan kualitas tidak cukup hanya dengan kebijaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan, tetapi harus juga diiringi dengan penjebolan tembok pemisah antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar