BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Permasalahan
Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun Pancasila saat ini telah dihayati sebagai filosofi hidup bangsa dan dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa, sikap mental, budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal-usul dan kapan di keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.
Namun dibalik itu semua ternyata Pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya Pancasila itu sendiri, dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut-turut akan dikemukakan rumusan dari Muh.Yamin, Ir. Soekarno dalam Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), ada juga versi berbeda, maupun versi populer yang berkembang di masyarakat.
Dewasa ini semua orang membicarakan pendidikan karakter. Bahkan tema utama yang diangkat dalam rangka memperingati Hardiknas tahun 2010 yang lalu adalah “Pendidikan Karakter dalam Rangka Membangun Peradaban Bangsa” dan Hari Sumpah Pemuda “Membangun Karakter Pemuda Demi Bangsa”. Selain itu, di berbagai tempat dan papan poster terpampang pendidikan karakter. Apa sebenarnya pendidikan karakter?
Perlu dilihat terlebih dahulu hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi), (Adnan, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan, yakni:(1)afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2)kognitif yang tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan, dan (3)psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Masih ingat tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa Yogyakarta yang memberikan teladan dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani (didepan memberi contoh, di tengah ikut berkarya, dan di belakang turut mendukung). Selain itu tokoh pendidikan tersebut pernah mengatakan pesan bahwa, “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan.” Pesan tersebut disampaikan di Taman Siswa Yogyakarta.
Dukungan pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Wuryadi (Adnan, 2010)bahwa manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. DASAR, dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan AJAR adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karakter tersebut diperkuat dengan dasar hukum yang jelas pada UU Sisdiknas pasal 3, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan di sekolah dan kampus. Namun demikian, kita harus merujuk pendapat Stiles (1998) bahwa “Pembangunan karakter tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan terprogram sejak dini” (Furqon, 2010).
Sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru dan dosen ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru dan dosen. Tidak semua guru dan dosen yang telah mendapat sertifikat pendidik dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas. Selain itu, belum tentu semua profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Dengan pernyataan ini bukan berarti penulis merasa sudah profesional. Akan tetapi justru harus dipikirkan secara bersama-sama bagaimana upaya untuk merefleksi dan memperbaikinya.
Pemikiran tersebut selaras dengan pendapat Walantaqi (2010:116) bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal dasar, yaitu (1) adanya kecerdasan (dzuka-in), (2) motivasi yang jelas arah dan sasaran yang tepat (birshin), (3) ketekunan dan usaha (isbtibar), (4) partisipasi dan pembiayaan (bulghat), (5) tenaga edukatif yang berkualitas (irsyadi ustadzin), (6) Long life learning (thuliz zamanain). Merujuk pendapat tersebut berarti peran guru dan dosen memilki andil penting sebagai salah satu modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.
Upaya refleksi peran guru dan dosen dalam upaya mewujudkan pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui karya pengembangan profesi, baik buku, modul, buku ajar, makalh, jurnal, dll.. Seorang guru dan dosen diharapkan dapat menumbangkan ide-ide kreatif dalam pengembangan genrasi muda yang berkarakter melalui seminar, workshop, lokakarya, dan diskusi ilmiah, baik tingkat nasional maupun internasional. Bukan hanya sebagai peserta tetapi sebagai pembicara. Dengan demikian, akan tercipta atmosfir akademik yang sinergis dan holistik dalam berbagai ranah kehidupan ilmiah, baik bagi guru dan dosen di mana pun berada.
Guru dan dosen diumpamakan tokoh-tokoh yang membentuk karakter pelajar dan mahasiswa. Selain itu, guru dan dosen juga yang memberikan senjata berupa “ilmu” sebagai “pedang” untuk mengubah dunia. Berbicara senjata untuk mengubah dunia ini harus belajar pada para Samurai. Para Samurai memiliki senjata yang disebut Katana atau Pedang. Pedang yang tajam tentu mengerikan dan berbahaya jika dimiliki oleh orang yang tidak bermoral. Pedang menjadi tidak berbahaya ketika pemegangnya mempunyai sifat yang disebut Bushido, yaitu amanah, pengasih, santun, sopan, mulia, hormat, dan lain-lain. Apabila para pelajar dan sarjana lulusan kita memiliki sikap dan perilaku seperti para Samurai, yakinlah bahwa pendidikan karkater akan dapat segera terwujud.
Dengan demikian, peran guru dan dosen sangat besar dalam mewujudkan pendidikan karakter, dengan catatan guru dan dosen harus memiliki karakter kuat dan cerdas terlebih dahulu baru membentuk karakter pelajar dan mahasiswanya. Bagaimana dengan kita sebagai guru dan dosen? Marilah kita refleksi bersama-sama, kemudian niatkan dalam hati untuk refleksi dan mengubah diri untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pendidikan karakter bangsa Indonesia.
Namun hal ini berseberangan dengan hilangnya pendidikan Pancasila dalam kurikulum di sekolah bisa memunculkan multitafsir. Publik yang belum paham asal mula ide penghapusan materi itu jadi bingung. Mengapa dulu secara represif sampai sekarang akhirnya dimusnakan begitu saja. Padahal, tidak semua anak-anak dan remaja masih hafal secara betul penyebutan lima sila Pancasila.
Masih segar ingatan kita ketika pejabat tinggi membacakan teks Pancasila, diketahui publik masih salah atau tidak hafal kalimat lengkapnya. Belum lagi jika ditinjau dari segi pengaruh kuat arus informasi lewat media internet. Kaum muda dan anak-anak sering mengonsumsi berbagai informasi yang membuat mereka kurang terekspos teks Pancasila.
Gagalnya penanaman nilai-nilai Pancasila diawali dengan kecongkaan dalam hegemoni. Ketika pemerintah orde baru menguasai segala medan dan aspek kehidupan, Pancasila diajarkan secara represif. Mirip dengan alat dogmatis untuk mengarah kebaikan kekuasaan dan memojokkan rakyat manakala rakyat menanyakan ketidakadilan demi tegaknya sila kelima Pancasila.
Pancasila diajarkan tidak hanya di sekolah melaikan juga penataran. Siapa pun tidak peduli harus wajib ikut. Mereka diwajibkan secara paksa mempelajari Pancasila secara dogmatis yang cenderung dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan, meskipun penguasa melanggar nilai-nilai Pancasila. Rakyat dipaksa melaksanakan sila ketiga namun tidak disuruh mengamati pelaku Negara terhadap pengamalan sila ke lima, yaitu terkait keadilan.
Jika ada rakyat yang berani berpolemik dan mengeluarkan pendapat berseberangan, Pancasila dipakai alat untuk menghakimi dengan pernyataan menentang Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan demikian, rakyat tersebut dianggap sebagai kaum yang harus dimusnahkan dan dikucilkan.
Namun, ketika penguasa memakan uang Negara atau uang rakyat Pancasila tidak pernah dipakai sebagai tolok ukur. Ketika, penguasa ramai-ramai mengembat uang rakyat, Pancasila tidak pernah dipakai sebagai penghadang pelanggaran masal itu. Akhirnya, Pancasila dan nilai-nilainya hanya diajarkan kepada rakyat tanpa diberikan teladan dalam perilaku para penguasa untuk meyakinkan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila selama itu ternyata hanya diajarkan dengan hafalan dan paling tinggi sampai pada pengertian. Kalau toh didengungkan dengan penghayatan dan pengamalan, amalan nilai-nilai Pancasila berlaku oleh rakyat. Rakyat harus patuh pada penguasa sekalipun banyak penyimpangan perilaku oleh penguasa yang justru sangat bertentangan dengan Pancasila.
Intinya adalah selama orde baru nilai-nilai Pancasila diajarkan sampai pada level pengetahuan kognitif belum sampai pada afektif dan psikomotor. Aspek kognitif saat itu hanya mengandalkan pemahaman makna tanpa dibarengi dengan keteladanan perilaku penguasa. Aspek afekti nilai Pancasila tidak pernah hadir dalam kehidupan berperilaku dalam praktik penyelenggaraan negara.
Aspek aspek afektif dan psikomotor nilai-nilai Pancasila justru hampa di dalam kehidupan sehari-hari. Itulah fakta sejarah penanaman nilai-nilai Pancasila yang diajarkan secara represif. Pembahasannya berkutat pada referensi yang hanya ditentukan secara kaku. Dengan demikian, pembahasannya tidak bisa dikaitkan dengan perilaku penguasa saat itu. Itu sebabnya, terjadi kejenuhan pembelajaran materi Pancasila dan akhirnya dipilih keputusan untuk menghapus pelajaran Pancasila di sekolah.
Jika perubahan kurikulum dengan penghapusan matapelajaran Pancasila, maka perlu adanya pengamatan sejauh mana proses belajar-mengajar (PBM) di sekolah-sekolah dalam menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila. Gotong royong, kesantunan, toleransi, dan perasaan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia perlu diperjelas proses pembentukannya.
Bangsa yang masih labil dalam arti luas ini memerlukan nilai-nilai semua itu. Labil dalam arti luas, karena negeri ini senantiasa dalam konflik sosial dan horisontal. Berbagai anarki dan disekrepansi di masyarakat justru akibat lunturnya nilai-nilai moral dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Fenomena anarkisme dan terorisme bisa saja akibat lemahnya kerawanan jiwa insan yang tidak memiliki kepercayaan akan nilai-nilai luhur Pancasila. Ketidakpercayaan itu disebabkan tidak adanya idola dari sebuah kepemimpinan nasional. Intinya, hegemoni itu berupa kepemimpinan nasional secara serempak tidak menunjukkan dan mencontohkan nilai Pancasila. Utamanya nilai-nilai terkait dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitu juga, rakyat terus memerlukan pengembangan nilai Pancasila mulai sila pertama sampai ke lima itu. Yang menjadi pertanyaan sekaranmg ini adalah “Mampukah PBM di sekolah-sekolah setelah perubahan ini nanti membawa pendidikan nasional yang bervisi dan misi nmengantarkan ke perdamaian tidak hanya di negeri sendiri melainkan di percaturan internasional?”. Sampai sekarang saja, masih diperlukan penanaman nilai-nilai Pancasila. Jika tidak, maka negara ini dengan berbagai suku dan tradisi akan menjadi penuh dengan konflik dan anarki. Semoga bangsa ini masih tetap terus menanamkan nilai-nilai Pancasila untuk menyatukan umat se-negeri ini.
Oleh karena itu untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang ingin mecerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia seperti halnya yang termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang 1945, penulis ingin mengadakan penelitian kualitatif deskriptif dengan mengambil judul “Implementasi Penanaman Moral Pancasila dalam Pendidikan Berkarakter bagi Sekolah Dasar islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta 2011/2012”
- ldentifikasi Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan berdasarkan latar belakang di atas antara lain:
1. Aspek afektif nilai Pancasila jarang dihadirkan dalam kehidupan berperilaku dalam praktik penyelenggaraan Negara, misalnya saja dalam dunia pendidikan.
2. Kurangnya penanaman Moral Pancasila dalam pembelajaran di Sekolah Dasar Terpadu selama ini.
- Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya keterbatasan peneliti antara lain waktu penelitian, dana operasional, dan kompetensi diri peneliti, maka penelitian ini dibatasi hanya dalam masalah tentang penanaman moral Pancasila secara kaffah bagi Sekolah Dasar Terpadu Nur Hidayah Surakarta pada tahun pembelajaran 2011/2012.
- Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, permasalahan pada judul “Implementasi Penanaman Moral Pancasila dalam Pendidikan Berkarakter bagi Sekolah Dasar islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta 2011/2012” maka dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi sebagai berikut:
1. Bagaimanakah caranya agar penanaman moral Pancasila ini dapat dihadirkan dalam pembelajaran keseharian peserta didik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta pada tahun pembelajaran 2011/2012?
2. Apakah dengan cara tesebut nilai afektif penanaman moral Pancasila ini dapat dihadirkan dalam pembelajaran keseharian peserta didik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta pada tahun pembelajaran 2011/2012?
- Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah pada Judul tulisan “Implementasi Penanaman Moral Pancasila dalam Pendidikan Berkarakter bagi Sekolah Dasar islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta 2011/2012” di atas, adapun tujuan penelitian ini yang dapat penulis sampaikan antara lain:
1. Menanamkan cara efektif dalam penanaman moral Pancasila ini sehingga dapat dihadirkan dalam pembelajaran keseharian peserta didik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta pada tahun pembelajaran 2011/2012.
- Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi mahasiswa calon pendidik, pendidik/guru dan LPTK untuk dapat memperluas wawasan kaitannya dengan penanaman moral Pancasila di Sekolag Dasar Islam terpadu memberikan dampak yang positif bagi peserta didik dalam tumbuh kembangnya.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi tenaga pengajar/dosen LPTK, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi untuk mengembangkan kualitas SDM calon pendidik dalam menanamkan moral Pancasila untuk peserta didiknya kelak.
2. Bagi LPTK, penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala keilmuan tentang urgensi penanaman moral Pancasila di Sekolah Dasar Islam Terpadu secara kaffah.
3. Bagi pendidik/calon pendidik, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana bimbingan dan pemberian layanan dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Tinjauan Pustaka
1. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
a. Pancasila Kesepakatan Bangsa Indonesia
Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, terlebih dahulu yang harus kita pahami adalah bahwa “Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia” sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga negara Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers) tersebut dengan berupaya terus untuk menggali, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, dan akan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.
Untuk membuktikan bahwa Pancasila merupakan hasil kesepakatan bangsa Indonesia dengan legalitas yang kuat, kiranya perlu dilengkapi dengan justifikasi yuridik, filsafat dan teoritik serta sosiologik dan historik.
Ø Justifikasi Juridik
Bangsa Indonesia telah secara konsisten untuk selalu berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana telah diamanatkan adanya rumusan Pancasila ke dalam undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR Republik Indonesia.
ü Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
................ dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ü Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949)
.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial. ....................................
ü Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950)
.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.
ü Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAK ASASI MANUSIA
Pasal 2
Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
ü Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL
Arah Kebijakan
(2) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.
ü Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL
Pengertian
Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat, universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Ø Justifikasi Teoritik - Filsafati
Yaitu merupakan usaha manusia untuk mencari kebenaran Pancasila dari sudut olah pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Pada umumnya olah pikir filsafati dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki. Para pendiri negara dalam membuktikan kebenaran Pancasila dimulai dengan suatu aksioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam suatu partalian yang selaras atau harmoni”. Aksioma ini dapat ditemukan rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29, sebagai berikut :
Alinea Kedua,
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea Keempat,
............, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, .................
Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ø Justifikasi Sosiologik – Historik
Menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia. Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang telah berkemang di dalam kehidupan masyarakat antara lain :
No | Asal Daerah | Nilai-nilai/Ungkapan Yang Berkembang | Keterangan |
1. | Jawa | a. tepo seliro (tenggang rasa), b. sepi ing pamrih rame ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih), c. gotong royong (berat ringan ditanggung bersama) | Adanya konsep hu-manitas yang sudah menjiwai bangsa Indonesia. |
2. | Minangkabau | 1) Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat | Konsep sovereinitas. |
2) Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah | Konsep religiositas | ||
c. Penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran. | Konsep humanitas | ||
3. | Minahasa | a. Pangilikenta waja si Empung si Rumer reindeng rojor (Sekalian kita maklum bahwa yang memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa) | Konsep religiositas |
b. Tia kaliuran si masena impalampangan (Jangan lupa kepada “Dia” yang memberi terang. | Konsep religiositas | ||
4. | Lampung | § Tebak cotang di serambi, mupakat dilemsesat (Simpang siur di luar, mufakat di dalam balai). | Konsep sovereinitas. |
5. | Bolaang Mangondow | § Na’buah pinayung (Tetap bersatu dan rukun). | Konsep nasionalitas/ persatuan |
6. | Madura | § Abantal sadat, sapo’iman, payung Allah (Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) | Konsep religiositas |
7. | Bugis/ Makasar | § Tak sakrakai allowa ritang ngana langika (Matahari tak akan tenggelam di tengah langit). | Konsep religiositas |
8. | Bengkulu | § Kalau takut dilambur pasang, jangan berumah di pinggir pantai. | Konsep humanitas |
9. | Maluku | § Kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese upasasi netane kwelenetane ainetane (Mari kita bersatu baik dilaut maupun di darat untuk menentang kezaliman). | Konsep humanitas dan persatuan |
10. | Batak (Manda-iling) | § Songon siala sampagul rap tuginjang rap tu roru (Berat sama dipanggul, ringan sama dijinjing). | Konsep persatuan dan kebersamaan |
11. | Batak (Toba) | § Sai masia minaminaan songon lampak ni pisang, masitungkol tungkolan songon suhat dirobean (Biarlah kita bersatu seperti batang pisang dan mendukung seperti pohon tales di kebun). | Konsep persatuan |
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi tentang kebenaran Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional maupun pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Hal ini terbukti setelah kita analisis dari sudut justifikasi yuridik, filsafati dan teoritik serta sosiologik dan historik. Untuk itu, semakin jelaslah bahwa Pancasila merupakan kesepakatan bangsa, suatu perjanjian luhur yang memiliki legalitas, kebenaran dan merupakan living reality yang selama ini telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan sudut pandang justifikasi filsafati dan teoritik inilah bangsa Indonesia yang memiliki beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) mampu hidup berdampingan secara damai, rukun dan sejahtera dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai perwujudan tersebut, maka bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa-bangsa manca negara sebagai bangsa yang memiliki sifat khas kepribadian (unik) antara lain : ramah tamah, religius, suka membantu sesama (solideritas), dan mengutamakan musyawarah mufakat.
b. Pengertian Pancasila
Dalam rangka lebih memahami tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, maka perlu dijelaskan lebih dahulu apa itu Pancasila. Banyak tokoh nasional yang telah merumuskan konsep Pancasila sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun jika dicermati, secara umum definisi konsep tersebut relatif sama. Berikut adalah beberapa pengertian tentang Pancasila yang dikemukakan oleh para ahli.
1) Muhammad Yamin.
Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik.
2) Ir. Soekarno
Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
3) Notonegoro
Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Indonesia. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar falsafah dan Ideologi negara yang diharapkan menjadi pendangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
4) Berdasarkan Terminologi.
Pada 1 juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUKI), Pancasila yang memiliki arti lima asas dasar digunakakn oleh Presiden Soekarno untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara Indonesia yang diusulkannya. Perkataan tersebut dibisikan oleh temannya seorang ahli bahasa yang duduk di samping Ir. Soekarno, yaitu Muhammad Yamin.
Pada tanggal, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia merdeka dan keesokan harinya (18 Agustus 1945) salah satunya disahkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat isi rumusan lima prinsip dasar negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan dijadikan istilah yang sudah umum.
2. Konsep Pendidikan Berkarakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.
Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Untuk merubah mind set dan culture set anak bangsa ke depan, kiranya pendidikan perkarakter adalah solusinya, saat ini dunia pendidikan kita cenderung hanya mengedepankan pencapaian nilai-nilai kognitif, sementara pencapaian dari segi afektif dan psikomotor belum sempurna, kiranya ini menjadi tujuan kita ke depan.
Pendidikan berkarakter identik dengan pendidikan budi pekerti, akhlak dan keagamaan. di Sumatera Barat sudah ada Perda no. 3 Tahun 2007 tentang pendidikan Al-Qur`an, juga ada Perda tentang Kembali Ke Surau, dan ini termasuk sebagian pintu yang bisa di masuki untuk mewujudkan pendidikan berkarakter di Ranah Minang ini, dan Pegawai Kementerian Agama sangat ditunggu peran sertanya. demikian harapnya.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
3. Pancasila dan Pendidikan Berkarakter dalam Wacana
Para pemimpin delapan lembaga negara dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,Selasa,24 Mei lalu, berkumpul di Mahkamah Konstitusi untuk memantapkan posisi dan peran masingmasing lembaga negara dalam upaya penguatan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.
Pertemuan ini menyepakati nilai-nilai Pancasila harus menjadi pemandu bagi penyelenggara negara dalam bekerja. Empat hari sebelumnya, 20 Mei 2011, tepatnya pada acara puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) Presiden juga dalam sambutannya mengajak untuk mengimplementasikan bersama tema Hardiknas 2011 “Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa”dan subtema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Ada benang merah antara pendidikan dan kebangkitan nasional, dan juga Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Tulisan berikut ingin menarik benang merah sekaligus menyampaikan fakta-fakta betapa eratnya pendidikan berbasis karakter dengan upaya menyampaikan Pancasila sebagai sebuah nilai kepada peserta didik.
Sesungguhnya, antara pendidikan dan Kebangkitan Nasional juga satu kesatuan utuh, di mana seseorang atau suatu bangsa tidak akan bisa bangkit kesadaran nasionalismenya, kesadaran berbangsanya, jika tidak ditopang oleh pendidikan yang memadai. Ini bisa kita rujuk pada sejarah Kebangkitan Nasional, yang dipelopori dan disuarakan oleh orangorang yang terdidik, seperti Dr Soetomo, Ki Hajar Dewantoro, Dr Douwes Dekker, Dr Tjipto Mangunkusumo.
Ø Kemuliaan Bangsa
Karakter yang ingin dibangun oleh kita sebagai bangsa bukan sekadar karakter berbasis kemuliaan diri semata, melainkan secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa. Karakter yang ingin dibangun bukan hanya kesantunan, melainkan secara bersamaan dibangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi. Ada ilustrasi yang bisa menggambarkan tentang pentingnya karakter, yaitu sirkus.
Dalam dunia sirkus, pelakupelakunya telah mengalami kehilangan karakter orisinalnya (genuine character). Singa yang mestinya galak, menjadi jinak. Demikian juga hewan lain sehingga menjadi aneh dan lucu.Semakin aneh dan lucu semakin terkagum. Itulah dunia sirkus, dunia keanehan dan kelucuan. Sebagai lelucon, memang menarik dan kalau kita terjebak dalam keanehan dan kelucuan itu, berarti kita sebagai pengikut mazhab sirkusisme. Pendidikan kita secara imperatif harus mampu membangun kembali karakter orisinal tersebut, karena kalau tidak, kita semua khawatir akan menjadi bangsa lelucon. Karakter yang unggul itu potensi sekaligus kekuatan.
Ibarat waduk yang penuh dengan air, itu baru potensi (energi potensial) dan akan menjadi kekuatan yang luar biasa kalau air tadi kita alirkan (menjadi energi kinetik) untuk menggerakkan turbin listrik.Jadilah energi listrik yang mampu membangkitkan dan menggerakkan kehidupan. Itulah makna pentingnya pendidikan karakter dan Kebangkitan Nasional.
Ø Kemandirian
Sebuah bangsa tidak pernah lahir dan jadi begitu saja.Bangsa akan selalu berproses, dan karena itu selalu dalam keadaan menjadi.Yaitu selalu dalam proses lahir kembali, in statu nascendi, dalam proses sosial, politik, dan dalam dukungan ekonomi yang memadai. Kesadaran inilah yang harus kita tanamkan. Kemandirian adalah kata kuncinya dan harus terus didengungkan. Bukan berarti kita tidak membutuhkan kehadiran bangsa lain, tapi inisiatif di dalam membangun dan membesarkan bangsa ini harus datang dan berada di tangan kita sendiri.Untuk itulah,kita harus mempertahankan dan memperkuat tiga kekuatan bangsa yaitu: kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa, dengan tetap teguh berpegang pada empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika,dan NKRI.
Berkaca dari pengalaman, tentang penanaman nilai-nilai Pancasila, ke depan harus ada upaya untuk mengaktualisasikannya. Pancasila tidak lagi disampaikan secara dogmatis semata, tapi dikombinasikan dengan kebutuhan dan situasi di mana peserta didik berada. Melalui pemberian nilai-nilai Pancasila itulah,kita bisa memberikan materi bahwa sebagai bangsa yang besar.
Ø Tiga Lapisan
Dari pendekatan nilai-nilai Pancasila, tiga lapisan pendidikan berbasis karakter yang ingin dikembangkan sangat erat dengan nilai-nilai Pancasila. Pertama, pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai transendensi dan nilai keagamaan yang kuat. Pada gilirannya tumbuh sifat kasih sayang dan toleran-saling menghargai dan menghormati karena merasa sesama makhluk.Dan akan menjauhkan diri dari perilaku destruktif dan anarkis, karena jelas merupakan larangan.
Kesadaran sebagai makhluk-hamba juga akan menumbuhkan sifat jujur,karena merasa malu kepada Tuhan. Kedua,pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan. Metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kepenasaran intelektual (intellectual curiosity) haruslah lebih ditonjolkan. Tujuannya untuk membangun pola pikir, tradisi, dan budaya keilmuan,menumbuhkan kreativitas dan sekaligus daya inovasi.Di sini peran guru lebih dominan dibanding kecukupan sarana dan prasarana. Ketiga,pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia.
Pendidikan karakter menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.Kecintaan karena sadar bahwa bangsa dan negara dengan empat pilarnya yaitu: Pancasila,UUD 1945,Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah milik kita,hasil dari perjuangan yang luar biasa. Dan penumbuhan kebanggaan itu dilakukan melalui kegemaran kita untuk berprestasi. Melalui prestasi positif, kita kontribusikan dan dedikasikan demi kemajuan bangsa dan negara. Inilah yang bisa menumbuhkan kebanggaan sejati.
Tanpa prestasi,kita dikhawatirkan bisa terjebak dalam kebanggaan semu, kebanggaan tanpa makna. Ini tentu kita tidak inginkan, karena kita memang tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa sirkus. Kita sangat yakin, semua yang menjadi pegangan dalam pendidikan karakter adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai Pancasila. Nilainilai yang terkandung di dalamnya harus dijadikan pegangan kokoh bagi satu bangsa besar yang multietnik,multiagama, ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan sementara balum diketemukan, karena insya Alloh penelitian ini merupakan sebuah inovasi yang baru.
- Kerangka Berpikir
Pendidikan berkarakter merupakan target utama dari pemerintah Indonesia dalam mencapai pendidikan yang bermutu saat ini. Namun, saat ini pula pemerintah sedang disibukkan dengan masalah yang melilit sebuah partai politik yang memiliki suara mayoritas di Indonesia yang sampai-sampai bertindak reaktif saat menerima SMS (Short Message Service) dari seseorang yang berinisial “N” seolah-olah mereka lupa dengan apa yang menjadi target utama mereka. Mereka lebih mementingkan kelangsungan hidup partai mereka daripada kelangsungan hidup anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Mungkin itu adalah buah dari pendidikan yang tidak memuat karakter pancasila sehingga mereka mengabaikan semua nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila ataupun mereka menganggap bahwa Pancasila itu hanya sebagai hafalan yang hanya bisa terucap dibibir yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sila-sila dalam pancasila mengandung nilai-nilai yang mendekati sempurna. Kenapa? Karena nilai-nilai yang terkandung dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa bahwa manusia mempercayai Tuhan dan apapun yang kita lakukan serta apa yang kita rencanakan adalah kehedak Tuhan. Dalam pembentukan karakter, nilai-nilai dalam sila tersebut merupakan tahap pertama yang paling utama. Kemudian, sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai-nilai bahwa manusia diciptakan dengan derajat yang lebih tinggi dari mahluk lainnya. Manusia diciptakan dengan dibekali akal yang dapat digunakan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Sehingga, manusia dapat mengerti nilai-nilai moral dan asusila yang beradab sebagaimana layaknya seorang manusia. Dalam sila yang ketiga manusia diciptakan untuk hidup bersama berdampingan, menjaga tali persaudaraan dan menjaga persatuan yang telah dirintis oleh para pahlawan yang telah gugur. Dalam menghadapi perbedaan, kita seyogyanya memusyawarahkan agar terwujud suatu mufakat yang dapat diterima oleh semua pihak. Dan yang terakhir, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang termasuk keadilan dalam pendidikan.
Anak-anak Indonesia membutuhkan figur pemimpin yang mempunyai karakter pancasila agar generasi penerus bangsa juga dapat mencontoh pemimpin mereka. Bukan dengan pemimpin yang sibuk dengan pencitraan dan sebagainya. Target utama dari pemerintahpun akan terwujud jika pemerintah dan para anggota wakil rakyat memiliki karakter pancasila tersebut. Pendidikan berkarakter di Indonesia berlandaskan pada ideologi dan nilai-nilai pancasila adalah suatu keharusan dan kebenaran. Generasi penerus bangsa harus berkarakter pancasila agar peradaban Indonesia menjadi lebih maju dari negara lain di dunia.
Dari uraian di atas, maka diduga adanya cara yang efektif guna penanaman moral Pancasila bagi Sekolah Dasar Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta 2011/2012.
- Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ø Adanya cara yang efektif guna penanaman moral Pancasila bagi Sekoalh Dasar Islam terpadu Nur Hidayah Surakarta 2011/2012.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Dasar Islam terpadu Nur Hidayah Surakarta selama 3 bulan. Adapun profil sekolah dasar yang akan dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
SDIT NUR HIDAYAH
Alamat : Jl. Pisang No. 12 Kerten Laweyan solo 57143
Telp: (0271) 724379, Fax: (0271) 723737
Visi :
Menjadi sekolah yang ISLAMI dan UNGGUL
Misi :
1. Mewujudkan nilai Islam melalui penyelenggaraan sekolah.
2. Melakukan Islamisasi dalam isi dan proses pembelajaran.
3. Melaksanakan layanan pendidikan secara adil dan memuaskan.
4. Melakukan pemberdayaan SDM secara berjenjang dan berkesinambungan.
5. Melakukan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
6. Melakukan pembimbingan secara komprehensip dengan orientasi terbentuknya akhlak yang mulia.
7. Melakukan penggalian dan pengembangan bakat secara terprogram.
8. Memberikan penghargaan kepada guru dan karyawan berdasar prestasi kinerja.
Tujuan Pendidikan :
1. Menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, dan mengarahkan anak didik menjadi hamba Allah yang shaleh secara individual dan sosial.
2. Memberikan kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap terpuji sesuai usia perkembangannya sebagai bekal hidup dan kehidupannya.
Kurikulum Pendidikan :
SDIT Nur Hidayah Surakarta menggunakan Kurikulum Terbaru (KTSP) dengan pendekatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga memudahkan siswa dalam mencapai kompetensi yang ditargetkan di dukung dengan ekstra kurikuler yang mengarah pada life skill.
Mata Pelajaran :
1. Pendidikan Agama Islam
(Aqidah Akhlaq, Al Qur'an Hadits,& Fiqh Ibadah)
2. Qiroaty & Tahfidzul Qur'an
3. Bahasa Indonesia
4. Matematika
5. IPA
6. Pendidikan dan Kewarganegaraan
7. IPS
8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
9. Bahasa Arab
10. Bahasa Inggris
11. Bahasa Daerah
12. Seni Budaya dan Keteranmpilan
13. Keteranmpilan Belajar
14. Komputer
15. Khot (Tulis) Al Qur'an
B. Populasi dan Sampel
- Populasi dan Sampling
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin baik hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif dan karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi (Sudjana, 1992: 6).
Ari Kunto (2005:117) mengatakan bahwa “sampel adalah sebagian dari populasi”. Sampel penelitian sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Berkaitan dengan teknik pengambilan sampel Nasution (2005:135) menyatakan bahwa, “…mutu penelitian tidak selalu ditentukan oleh besarnya sampel, akan tetapi oleh kokohnya dasar – dasar teorinya, oleh desain penelitiannya, serta mutu pelaksanaan dan pengolahanya.”
Berkaitan dengan teknik pengambilan sampel, Arikunto (2005:120) mengemukakan bahwa “untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subyek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitan populasi. Selanjutnya jika subyek besar, dapat diambil antara 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih.
Berdasar pernyataan di atas, karena populasi dalam penelitian ini lebih dari 100 orang, maka penarikan sampel dalam penelitian menggunakan sampel secara acak (Random Sampling). Sedangkan Teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Taro Yamene atau Slovin dalam (Riduwan, 2007:65) sebagai berikut:
Keterangan:
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
d2 : presisi( ditetapakan 10% denagn tingkat kepercayaan 95%)
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebagai berikut:
n= N/Nd2-1
= 4148/(4148).0,12-1
= 4148/41,48 – 1
= 99 responden.
2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian terdiri dari dua variabel yaitu, variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel). Dalam penelitian ini variabel bebas meliputi kinerja kepala sekolah dan kinerja guru sedangkan variabel terikat yakni mutu lulusan.
Definisi operasional variabel bertujuan untuk menjelaskan variabel yang di teliti. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:
1) Proses Penanaman Moral Pancasila(Y) adalah Insya Alloh akan banyak nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
3. Instrumen Penelitian
Pengembangan instrument ditempuh melalui beberapa cara, yaitu:
a. Menyusun indikator variabel penelitian
b. Menyusun kisi-kisi instrument
c. Melakukan uji coba instrument dan melakukan pengujian validitas dan reliabilitas.
C. Teknik Pengumpulan Data
Nasir (2003:283) menyatakan bahwa teknik pengumpulan data merupakan alat-alat ukur yang diperlukan dalm melaksanakan suatu penelitian. Data yang akan dikumpulkan dapat berupa angka-angka, keterangan tertulis, informasi lisan dan beragam fakta yang berpengaruh dengan focus penelitian yang diteliti. Sepengaruh dengan pengertian teknik pengumpulan data dan wujud data yang akan dikumpulkan maka dalam penelitian ini digunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu studi dokumentasi dan angket.
1. Studi Dokumentasi
Studi Dokumentasi dalam pengumpulan data penelitian ini dimaksudkan sebagai cara mengumpulkan data dengan mempelajari dan mencatat bagian-bagian yang dianggap penting dari berbagai risalah resmi yang terdapat baik di lokasi penelitian maupun diinstansi lain yang ada pengaruhnya dengan lokasi penelitian. Studi dokumentasi ditujukan untuk mempengaruhi datalangsung dari instansi/lembaga meliputi buku-buku, laporan kegiatannyadi instansi/lembaga yang relevan dengan focus penelitian.
2. Teknik Angket
Angket yakni cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar isian atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan sedemikian rupa sehingga calon responden hanya tinggal mengisi atau menandainya dengan mudah dan cepat (Sudjana, 1992: 6).
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah analisi korelasi product moment. Menurut Riduwan (2009:94) analisis korelasi product moment memiliki persyaratan yaitu:
a) Sampel data dipilh secara random
b) Mempunyai pasangan yang sama
c) Data berdistribusi normal
d) Data berpola linears
Analisis ini akan digunakan dalam menguji besarnya penanaman moral Pancasila itu sendiri sukses ataupun tidak.
E. Alur Penelitian
Adapun alur penelitian yang penulis rekomendasikan dalam penelitian kualitatif non PTK ini adalah :
1. Perencanaan, dalam tahapan ini meliputi proses pelaksanaaan pembelajaran dalam pengupayaan penanaman nilia moral Pancasila dalam Pendidikan berkarakter di Sekolah Dasar Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta.
2. Tindakan (siklus), dalam tahap ini meliputi seluruh proses kegiatan belajar dalam penanaman moral Pancasila. Adapun dalam proses ini, tim peneliti menggunakan media pembelajaran seperti halnya LCD, Sound, Gambar, Video, dan alat peraga seperti boneka hewan. Dalam perputaran siklus kami mengadakan siklus sampai siklus kedua.
3. Observasi (pengamatan proses), proses pengamatan ini dilakukan pada setiap siklus dalam penelitian. Objek pengamatan yang diamati observer meliputi siklusman (orang yang memberikan siklus), objek didik, ketrampilan yang digunakan, ketepatan media, metode serta materi pembelajaran.
4. Evaluasi, proses ini dilakukan tim peneliti setiap selesai melaksanakan siklus atau tindakan. Sebelum menuju pada tahapan selanjutnya, baik itu siklus ataupun tahapan refleksi(penguatan), tim akan menilai sejauh mana siklus ini mampu memberikan perubahan terhadap kognitif, afektif, serta psikomotor anak. Apakah siklus ini sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan atau belum. Jika belum, maka tim peneliti akan melakukan siklus kedua, kemudian hasil dari tindakan kedua ini akan dievaluasi. Dari hasil evaluasi ini apakah sudah ada peningkatan lagi atau belum, jika belum maka akan dilakukan siklus ketiga dengan model siklus yang semakin berbobot(lebih sulit), namun jika hasilnya sudah memenuhi KKM maka siklus dilanjutkan dengan penguatan akhir. Di dalam penelitian ini, setelah selesai siklus kedua anak didik sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan, sehingga setelah evaluasi siklus kedua, tim peneliti memutuskan untuk memberikan penguatan akhir.
5. Refleksi, proses ini merupakan proses penguatan akhir setelah serangkaian alur penelitian selesai dilaksanakan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan anak didik sudah mencapai target diatas KKM dan ada perubahan yang signifikan terhadap kemampuan kognitif anak, serta keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan anak didik. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat kreativitas anak didik baik dalam membuat puisi mandiri serta menceritakan suatu kejadian secara struktur.
Adapun gambar alur penelitian yakni:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar