|     Karakter suatu bangsa merupakan aspek penting yang mempengaruhi pada   perkembangan sosial-ekonominya. Kualitas karakter yang tinggi dari   masyarakatnya akan menumbuhkan keinginan yang kuat untuk meningkatkan   kualitas bangsanya. Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika dimulai   sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan “   jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita akan   menjadi orang yang bermasalah atau orang jahatâ€. Thomas Lickona mengatakan   “ seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab   dapat diciptakan†. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi   investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan   “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan   100% dari masa depanâ€.     Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter   anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada   periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan   moral anak. Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter   positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan   Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-anak akan mengurangi   perilaku yang beresiko, seperti konsumsi alkohol yang merupakan salah satu   penyebab utama masalah kesehatan sepanjang masa; perkembangan emosi dan   sosial pada anak-anak juga dapat meningkatkan kesehatan manusia selama   hidupnya, misalnya reaksi terhadap tekanan (stress), yang akan berdampak   langsung pada proses penyakit; kemampuan emosi dan sosial yang tinggi pada   orang dewasa yang memiliki penyakit dapat membantu meningkatkan perkembangan   fisiknya.†    Schweinhart mengatakan: “Lebih daripada inovasi-inovasi pendidikan yang   lainnya, program pendidikan dengan kualitas yang baik untuk anak-anak miskin   terbukti menjanjikan keuntungan yang lebih bertahan lama dan memberikan   timbal balik dari investasi yang dikeluarkan. Berbagai hasil penelitian   lainnya juga menunjukkan berbagai keuntungan. Seringkali respon kita terhadap   berbagai permasalahan seperti kemiskinan, kejahatan, penggunaan obat-obatan   terlarang, poengangguran dan ketidakmandirian adalah frustasi atau bahkan   putus asa…. Tapi bukti yang ada menunjukkan bahwa pengembangan program   pendidikan berkualitas dapat menurunkan dampak dari permasalahan-permasalahan   ini, dan ini adalah sebuah alasan yang cukup untuk mengembangkan   program-program tersebutâ€.     Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam   mendidik dasar–dasar moral pada anak. Akan tetapi banyak anak, terutama   anak-anak yang tinggal di daerah miskin, tidak memperoleh pendidikan moral   dari orang tua mereka. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah berkaitan dengan   berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat pendidikan   rendah, kehidupan bersosial yang rendah, biasanya berkaitan juga dengan   tingkat stres yang tinggi dan lebih jauh lagi berpengaruh terhadap pola   asuhnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah   miskin 11 kali lebih tinggi dalam menerima perilaku negatif (seperti   kekerasan fisik dan mental, dan ditelantarkan) daripada anak-anak dari   keluarga yang berpendapatan lebih tinggi.     Penelitian otak terkini menunjukkan bahwa bagaimana anak belajar untuk   berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana ia mengontrol perasaannya sangat   dipengaruhi dari pengalamannya terdahulu. Dan kemampuan sosial dan emosi ini   sangat berperan dalam menentukan kesuksesan belajar anak di masa yang akan   datang. Fakta terus membuktikan bahwa sekolah dapat membantu melakukan   perbaikan terhadap kegagalan keluarga dalam mengembangkan karakter   anak.      Banyak hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang telah mendapat pendidikan   pra-sekolah mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada anak-anak yang   tidak masuk ke TK, terutama dalam kemampuan akademik, kreativitas, inisiatif,   motivasi, dan kemampuan sosialnya. Anak-anak yang tidak mampu masuk ke TK   umumnya akan mendaftar ke SD dalam usia sangat muda, yaitu 5 tahun. Hal ini   akan membahayakan, karena mereka belum siap secara mental dan psikologis,   sehingga dapat membuat mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan dapat   membunuh kecintaan mereka untuk belajar.     Dengan demikian sebuah program penanganan masalah ini dibutuhkan untuk   mempersiapkan anak dengan berbagai pengalaman penting dalam pendidikan   prasekolah. Adalah hal yang sangat penting untuk menggerakkan masyarakat di   daerah miskin untuk mulai memasukkan anaknya ke prasekolah dan mengembangkan   lingkungan bersahabat dengan TK lainnya untuk bersama-sama melakukan   pendidikan karakter.     Untuk memfasilitasi perkembangan anak yang bersekolah di TKIT Al Furqon, maka   PGIT dan TKIT Al Furqon mempunyai sentra-sentra.  Adapun sentra-sentra   yang dapat dikunjungi siswa TKIT Al Furqon adalah:     1.    Language Class/Kelas atau Sentra Bahasa   2.    Art Class/Kelas atau Sentra Seni   3.    Cooking Class/Kelas atau Sentra Memasak   4.    Multimedia Class   5.    Math Class   6.    Gym Class   7.    Science Class   8.    Library/Perpustakaan Area   9.    Gardening   10.    Sentra Ibadah/masjid       Semua metoda di atas diterapkan dengan menggunakan metode Student Active   Learning, Contextual Learning, Joyful Learning, Developmentally Appropriate   Practices, dan Whole Language. Dengan cara ini diharapkan anak-anak dapat   mengoptimalkan dan menyeimbangkan perkembangan “head, heart, and hand†  anak, sehingga mereka dapat menjadi manusia kreatif, mandiri, dan berpikir   kritis.     Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University   -mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai   karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa   sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :   (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,   (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,   (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan,   (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol   dan seks bebas.   (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,   (6) menurunnya etos kerja,   (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,   (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,   (9) membudayanya ketidakjujuran, dan   (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.     Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di   Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang   tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada   sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan   kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa).   Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi   otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan akhlak dan   karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih   menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahuâ€).   Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan   berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan   actingâ€.       Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi   body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak†  secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Pada dasarnya, anak yang   kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan   emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan   dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri.   Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia   prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka   penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat   penting untuk dilakukan.     Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat   alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang   dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,   bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.   Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa   karakter itu erat kaitannya dengan “habit†atau kebiasaan yang terus   menerus dilakukan.     Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa   manusia yang telah terbiasa tersebut seca ra sadar (cognition) menghargai   pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa   berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja orang ini   tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena   itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi.     Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good†  atau keinginan untuk berbuat baik.   “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi   Allah-lah pahala yang besarâ€. (QS 64:15)   “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada   kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan   jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwaâ€. (QS 25:74)   "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah   Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat   amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi   kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan   sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS 46:15)       Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan   lingkungannya. Lengkapnya adalah :   Jika anak dibesarkan dengan celaan,   ia belajar memaki   Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,   ia belajar berkelahi   Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,   ia belajar rendah diri   Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,   ia belajar menyeasali diri   Jika anak dibesarkan dengan toleransi,   ia belajar menahan diri   Jika anak dibesarkan dengan pujian,   ia belajar menghargai   Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,   ia belajar keadilan   Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,   ia belajar menaruh kepercayaan   Jika anak dibesarkan dengan dukungan,   ia belajar menyenangi diri   Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,   ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan       Anak Perempuan     Ketika seorang anak perempuan diam, berjuta-juta hal berada dalam fikirannya.     Ketika anak perempuan tidak membantah, dia sedang berfikir sangat dalam.   Ketika anak perempuan memandang dengan mata penuh tanya, dia ingin tahu   berapa lama kita akan menemani.   Ketika anak perempuan menjawab “Saya baik-baik saja†setelah beberapa   saat, tidaklah semuanya baik-baik saja.   Ketika anak perempuan memandang tajam, dia ingin tahu kenapa kita berbohong.   Ketika anak perempuan bersandar ke dada, dia berharap kita menjadi miliknya   selamanya.         Anak Laki-laki     Ketika seorang anak laki-laki diam, dia tidak punya sesuatu yang ingin   dikatakan.   Ketika anak laki-laki tidak membantah, dia dalam kondisi yang tidak ingin   membantah.   Ketika anak laki-laki memandang dengan mata penuh tanya, dia benar-benar   sedang kebingungan.   Ketika anak laki-laki menjawab “Saya baik-baik saja†setelah beberapa   saat, semuanya adalah baik-baik saja.   Ketika anak laki-laki memandang tajam, dia sedang heran atau marah.   Ketika anak laki-laki tidur dipangkuan, dia berharap kita menjadi miliknya   selamanya.       |   
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar