Dalam Kalam Cinta, Aku Ikhlas
“aku tahu ukh, bukan aku yang engkau pilih menjadi dia yang yang akan mendampingimu”
“namun aku juga menyadari ukh, bahwa aku bukan siapa-siapa untukmu” tambahnya disuatu potongan message sebuah facebook.
Yaa, dia yang pernah ada, namun akan segera pergi. Dia perempuan yang pernah aku rindu, dan aku damba untuk menjadi belahan hatiku. Namun aku pilu, ternya hari ini dia menikah dengan ikhwan yang lain. Ikhwan yang katanya satu fikroh dengannya. Aku bersedih namun aku belajar untuk mengikhlaskannya. Aku yang salah, aku yang tak mau menuruti permintaanya untuk ikut alur ta’aruf yang ditsiqohinya. Karena aku tak sependapat dengannya, mungkin ini salahsatu alasannya untuk tidak memberiku kesempatan sedikitpun. Padahal aku sangat yakin dari hasil istikhorohku selama ini, ia adalah bidadari yang hadir di setiap sholatku. Ya Robb, kuatkanlah hamba.
***
Pecah tangis bahagiaku dalam kamar kesendirian. Ini adalah malam pertama aku berada dengan sosok orang asing dalam satu kamar. Benar-benar asing, karena aku sama sekali belum mengenalnya. Hari ini resmi sudah aku melepas masa lajangku. Kukorbankan kuliahku yang belum selesai demi menggapai ridho Mu Ya Robb, insya Alloh aku pun akan tetap melanjutkankuliahku, semoga Engkau memberikan kemudahan Ya Robb. Dan lelaki asing itu kini adalah suamiku. Muayyassholihin, sungguh nama yang sangat indah. Dan akau berharap keindahan namanya ini sama seperti halnya dengan keindahan akhlaknya. Dia adalah lelaki terbaikku setelah ayahku. Dia adalah yang akan aku temani dalam perjalanan panjang dakwahku hingga Jannah menjadi tempat peristirahatan terakhirku insay Alloh. Aku telah memilihnya dengan mengharapkan ridhoMu. Dan akan aku baktikan hidupku untuk mengemban amanah terindah dariNya.
***
Sosok itu tadi sempat aku lihat, akh Burhannudin, lelaki yang juga pernah datang dan sempat menjadi rekan satu misi denganku di penelitian daerah. Sempat sebelum aku mengatakan bahwa aku akan menikah dengan lelaki yang kini menjadi suamiku, dia sempat berfikir untuk mengkhitbahku. Namun ketika aku menceritakan kondisi keluargaku, yang ada padanya adalah sebuah pendapat-pendapat konyol yang tak masuk dalam akal fikiranku. Kufikir dia selevel dengan kerja dakwahnya, namun, astaghfirullohhal’adzim apa yang kami fikirkan Sholaa, kamu tidak boleh menghujatnya. Dia juga ikhwan yang sholih, hanya saja misi dunianya lebih tinggi dibandingkan dengan jangkauanmu. Sudah ikhlaskan saja. Biarkan Alloh saja yang memilihkan bidadari terindah untuknya, hiburku.
***
Kubuka jendela malam. Sedikit aku terhenyak melihat sosok itu di samping rumah. Ia masih saja ada disana. Ya Robb, jaga hamba dan penglihatan ini. Jangan jadikan ini penggerogot rumah tangga hamba ke depan Ya Robb, semoga Engkau senantiasa menjaga hati kami. Sebuah SMS aku terima darinya. “Selamat menempuh hidupmu yang baru ya ukhti. Semoga anti bahagia dengan apa yang telah anti pilih”. Semoga ini balasan SMS ku yang terakhir untuknya, karena bagaimanapun juga aku tak ingin melukainya lebih dalam, walaupun apa yang aku fikirkan ini adalah koridor dalam syara, namun belum tentu untuknya karena pemahaman yang mungkin berbeda. “Syukron”,-send, segera kumatkan hape-ku, aku tak ingin jawaban pendek ini akan membuatnya menelefonku. Hemm, kuhembuskan nafas penatku. Yahh, persiapan walimahan selama beberapa pekan ini sedikit membuatku penat. Bagaimana tidak penat, tapi insya Alloh aku sangat bahagia. Dan tangis ini adalah tangis bahagiaku.
***
Pintu kamar dibukanya, dari cahaya malam yang kulihat keteduhan dalam wajahnya begitu tersirat sempurna. Ikhwan yang kini telah sah menjadi suamiku. Akh Muayyassholihin dan aku si Sholaa yang belajar untuk tegar. Semoga aku senantiasa ikhlas dalam menjalani keputusan ini. Insya Allo yang ingin aku gapai adalah keberkahanMu Ya Robb.
“Assalamu’alaykum, ya ukhti”, sapanya sari kejauhan. Dia masih saja di depan hingga aku menjawab salamnya.
“Wa’alaykumussalam Warokhmatulloh, kenapa memaggilku ukhti ya suamiku”, balsaku mencoba mencairkan suasana.
“Ane belum tahu,harus memanggilmu seperti apa, ane takut jika ketika panggilan ini tidak engkau sukai dan membuatmu murka”. Balasnya sembari tersenyum.
“Adakah ane boleh tahu, panggilan apa yang mampu menyejukkan hatimu?”.
“Tentu, tentu saja boleh. Karena ini juga yang akan merekatkan kita. Ane ingin dipanggil dinda?.
“Berarti ane kanda dong”. Guyonnya yang garing.
“ Hehe, tentu kandaku”.
“Ehm bentar dindaku, kenapa kau tampakkan rona sedihmu, adakah airmata penyesalan karena telah menikah denganku yang seperti ini adanya?”
“Bukan kanda, aku takkan menyesal telah menikah denganmu. Aku malahan akan berterimakasih karena dengan pernikahan ini, aku akan belajar banyak hal tentang cinta. Tentang sebuah rasa aman dan tentram dalam dekapan ukhuwah yang benar-benar telah dihalalkanNya. Aku bersyukur, Alloh masih memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa mewujudkan impianku, yakni menikah dengan orang yang sholih, dan insya Alloh itu antum suamiku”. Dengan masih menitikkan airmata, aku mencoba meyakinkannya bahwa aku tak menyesal, aku bahagia.
[bersambung insya Alloh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar