Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Sabtu, 10 Juli 2010

Cerpen Empat Ibu Mertua

Tak ada yang lebih menarik dari kisah hidupku selain menikah dengan seorang lelaki yang ayahnya punya empat istri. Jujur aku tidak pernah membayangkannya. Saat ta’aruf dengan Mas Bagas, suamiku sekarang, aku bahkan pernah mau mundur saja. Aku enggan terlibat masalah dengan ibu-ibu mertuaku itu. Aku sudah sering mendengar kalau berhadapan dengan satu ibu mertua saja gampang-gampang susah, lha kok ini malah empat ibu mertua.Tapi rupanya Allah punya rencana lain. Dengan makin kuatnya keinginanku untuk mengurungkan pernikahanku dengan Mas Bagas, ternyata shalat istikharahku tetap mengantarkanku bersanding dengannya di pelaminan.

Bapak mertuaku memberikan masing-masing istrinya sebuah rumah yang berdekatan. Parahnya lagi, dalam keluarga besar suamiku ada aturan khusus bagi anak laki-laki harus bertempat tinggal dekat orang tua atau tinggal bersama orang tua jika belum mampu membuat rumah setelah menikah. Jadi, tidak ada kata kontrak rumah atau tinggal berjauhan dengan orang tua bagi anak laki-laki. Tentu saja ini dengan alasan untuk menjaga nama besar keluarga besar suami yang selama ini sudah terkenal kebersamaannya.

Suamiku adalah anak bungsu dari istri ketiga bapaknya. Dia hanya punya seorang saudara perempuan yang sudah menikah dan tinggal di luar kota. Jadi sekuat apapun aku dan suami mengemukakan alasan untuk belajar hidup mandiri dengan kontrak rumah dulu, tetap akhirnya kami harus tunduk tinggal di rumah orang tua suami. Sedang untuk membangun rumah sendiri pun kami belum mampu.

Setelah kurasakan, kebersamaan yang katanya untuk merawat kerukunan ini seringkali menciptakan riak-riak bahkan gelombang besar di dalamnya. Persaingan antar ibu mertua sangat tampak. Dan itu akhirnya berimbas juga pada anak cucu mereka. Ketegasan dan kewibawaan bapak mertuaku di mata masyarakat ternyata tak cukup mempan mengatasi masalah ini. Sebenarnya sudah kusiapkan diri secara lahir batin untuk masuk komunitas keluarga suami. Nasehat ibu, teman-teman, bahkan guru ngajiku menjadi penguat tekadku. Namun kenyataannya aku tidak sekuat yang kukira.

Dimulai setelah selesai resepsi pernikahanku. Celaan dan kritik pedas santer terdengar dari Bu Kus, ibu mertua ke dua, dan Bu Rin, ibu mertua ke empat. Mulai dari susunan acara, hidangan, dekorasi pelaminan, sampai hal-hal kecil tak lepas dari celaan. Mereka menganggap pesta pernikahan anak-anak mereka dulu lebih mewah, hebat, dan sempurna.

Kalau mau jujur sebenarnya orangtuaku cukup mampu untuk membuat pesta mewah untukku. Dari awalnya aku cuma ingin diadakan akad nikah saja tanpa adanya resepsi. Aku tidak ingin prosesi pernikahanku yang seharusnya menjadi pintu keberkahan malah jadi ajang tabaruj’, riya’ dan kemubadziran. Tapi kemudian terdengar nada-nada sumbang. Selama ini aku tidak pernah pacaran bahkan jalan dengan lelaki, maka banyak yang heran ketika aku tiba-tiba menikah. Untuk menghindari praduga yang salah, akhirnya atas permintaan orang tua aku mau juga ada resepsi pernikahan tapi dengan syarat tidak berlebihan.

Campur tangan ibu-ibu mertuaku ternyata tidak cukup sampai di situ. Puncaknya ketika anakku lahir. Aku sering menahan emosi setiap menghadapi ibu-ibu mertuaku dalam mengasuh anakku. Apapun yang kulakukan dalam merawat anakku tak luput dari celaan. Ketika aku protes saat anakku diberi makanan yang tidak cocok untuk bayi oleh Bu Rin, langsung beliau berkata pedas tidak akan memberi makanan anakku lagi. Aku juga sempat jadi bahan gunjingan keluarga suami karena dianggap tidak mau mempercayakan anak dalam asuhan orang lain. Padahal aku suka merasa sungkan kalau-kalau orang yang mengajak anakku nanti kecapekkan.Buntutnya ada boikot tidak ada yang mau menggendong anakku lagi. Aku yang stres karena masih pertama kali punya anak menjadi semakin tersiksa oleh keadaan ini.

Pekerjaan suamiku, aktifitasku sehari-hari, bahkan perkembangan anakku juga tak luput dari komentar miring dan kemudian dibanding-bandingkan dengan anak, menantu, dan cucu mereka yang lain.

Bu Kus, ibu mertua kedua, sebenarnya paling ramah. Awalnya aku percaya saja cerita kepadanya jika punya masalah. Tapi aku kecolongan karena ternyata dia mengumbar curhatku pada orang lain, tak jarang dengan penyampaian yang berbeda.

Bu Rin orangnya dermawan dan berjiwa sosial. Tapi dia mudah sekali berkata kasar. Dia tidak peduli apakah ucapannya menyinggung orang lain atau tidak. Pokoknya tidak ada kata mengalah pada orang lain. Satu lagi dia masih percaya pada tradisi yang tidak ada tuntunannya dalam agama. Tak jarang ritual dan tradisi yang dilakukan itu dikaitkan dengan perintah agama yang wajib dilakukan anak cucunya karena masyarakat sekitar juga banyak yang melakukannya. Toleransinya pada perbedaan cukup rendah. Berhadapan dengannya, aku harus sering memutar otak untuk tetap mempertahankan aqidah tapi tetap bisa diterima olehnya.

Bu Wiji, Ibu mertua pertama, lain lagi. Dia lebih banyak diam dan dari awal seperti menjaga jarak dengan aku. Dari empat ibu mertuaku, hanya dia yang tidak dikaruniai anak. Dia kelihatan dingin dan tertutup. Aku sudah keder sendiri melihat mukanya yang jarang tersenyum. Kalaupun bicara padaku hanya seperlunya. Mungkin baginya aku adalah pendatang baru yang tak perlu diberi keramahtamahan berlebih.

Bu Arum, Ibu Mas Bagas sendiri, sebenarnya baik dan sayang padaku, hanya dia sangat perasa dan sering salah persepsi. Aku harus hati-hati jika berbicara dengannya. Bukan sekali dua kali dia merasa tersinggung atas sikap dan omonganku yang sebenarnya tidak seperti yang dia kira. Karena pada dasarnya aku juga perasa, maka aku sering salah tingkah dan bingung sendiri jika tiba-tiba ibu mertuaku ini menangis atau jadi lebih diam padaku daripada biasanya.

Itulah mengapa aku merasa sangat sulit untuk dekat dengan ibu-ibu mertuaku itu. Aku sendiri berulangkali cerita ke Mas Bagas atas masalah ini, tapi dia tidak bisa menolong aku. Dia takut jika harus berpihak pada salah satu diantara kami. Dia hanya memintaku bersabar. Akhirnya aku hanya bisa menangis sendirian.

Dan saat ini aku sedang sendirian di rumah. Keluarga besar suami sedang melayat kerabat yang meninggal dunia. Aku disarankan tidak ikut karena anakku masih kecil. Awalnya aku cuma memandang Najma, anakku yang sedang tertidur lelap. Tiba-tiba ada ketakutanku akan masa depannya jika tetap di sini. Aku menyangsikan apakah anakku nanti akan nyaman dan gembira dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Tangisku pun tak terbendung lagi. Peristiwa-peristiwa yang kualami di sini berkelebat dalam otakku. Ya Rabb, aku sudah berusaha tegar, tapi aku tidak bias membohongi kalau aku benar-benar tersiksa berada di sini. Aku ingin keluar dari sini.

Aku berusaha menyeka air mataku ketika kudengar pintu rumah diketuk orang. Ketika kubuka pintu kulihat Bu Wiji dengan muka dinginnya. Dia membawa sepiring ayam goreng dan semangkok sayur lodeh. Aku terkejut melihatnya yang tumben mau datang berkunjung.

“ Lho, Bu Wiji tidak ikut melayat Mbah Ngadiran?” tanyaku berusaha memulai pembicaraan.

“ Aku lagi nggak enak badan, Nduk. Sudah makan belum? Ini aku tadi buat ayam goreng dan sayur lodeh,” kata Bu Wiji tanpa senyum seperti biasanya.

“Kok repot-repot to, Bu. Bu Arum tadi sudah menyiapkan masakan buat saya kok.”

“ Ya udah ini buat lauk tambahan.” Wanita itu berusaha menyerahkan bawaannya padaku,” Lho, kamu nangis to, Nduk?”

Aduh gawat dia tahu aku menangis. Pasti merah dan bengkak mataku tidak bisa mengelabui Bu Wiji. Wanita tua itu langsung masuk dan meletakkan bawaannya di meja. Diajaknya aku duduk untuk cerita masalahku. Aku heran kenapa tiba-tiba dia jadi perhatian seperti itu. Mengingat selama ini betapa seringnya kulihat tampang judesnya bila ketemu aku.Tapi saat dia memegang pundakku dengan penuh keibuan, luluh juga aku. Tiba-tiba aku seperti melihat sosok ibu kandungku sendiri. Tak urung dengan beruraian air mata, mengalirlah segala isi hatiku.

“ Tapi saya mohon Bu Wiji tidak cerita kepada yang lain. Saya takut akan memperburuk keadaan,” kataku selesai bercerita.

“ Percayalah, saya akan bijaksana dalam menyikapi ini semua. Saya prihatin dengan apa yang kaurasakan. Sama dengan
suamimu saya tidak bisa memihak siapapun. Tadi paling tidak kisah hidup saya akan bisa menolongmu mencari penyelesaian.”

Dari bibir ibu mertua pertamaku itu mengalir pengalaman hidupnya yang belum pernah kudengar selama ini.

“ Waktu menikah saya baru lima belas tahun, Nduk. Kata orang, saya adalah kembang desa sini. Tapi saya anak orang tidak punya. Maka ketika anak lurah di sini meminang saya, orang tua saya langsung menerima. Anak lurah itu ya bapak mertuamu sekarang ini. Padahal saya masih ingin sekolah tinggi, saya ingin jadi guru.”

Wanita tua itu menghela nafas pelan. Dengan sabar aku menunggu kelanjutan ceritanya lagi.

“ Kenyataannya setelah menikah, banyak cobaan yang harus saya hadapi. Mulai tidak bisa punya anak, sampai kemudian Bapak meminta ijin untuk menikah lagi. Awalnya dia beralasan karena tidak punya anak dari saya, tapi tidak tahu kenapa ketika istri keduanya bisa memberikan anak, dia masih menikah lagi.”

“ Ibu ikhlas saat itu?” tanyaku.

“ Awalnya ya tidak, Nduk. Menikah dengan Pak Wiryodibyo dari awal bukan kehendak saya, dan kenyataannya suami saya seperti tidak menghargai pengorbanan saya. “

Aku menatap mata Bu Wiji yang berkaca-kaca. Mungkinkah sikap dingin dan diamnya selama ini adalah refleksi dari lukanya itu.

“ Lalu bagaimana dengan mertua Bu Wiji?”

“ Wah, sama saja, Nduk. Saya orang biasa yang harus masuk ke lingkungan terhormat. Banyak prilaku dan tutur bahasa saya yang dianggap tidak sesuai tata krama oleh mertua saya. Apa yang saya lakukan saat itu sering dianggap salah, sedikit-sedikit dikomentari oleh ibu mertua bahkan ipar-ipar saya. Mungkin kamu lebih beruntung karena saudara iparmu tidak tinggal serumah. Dulu saya tinggal serumah dengan beberapa saudara kandung suami di rumah induk yang sekarang saya tempati. Banyak perselisihan mengenai pembagian tugas dan masalah pengeluaran rumah tangga. Yang pengertian ya ada, yang tidak mau tahu juga ada. Bahkan saat mertua saya meninggal pun juga terjadi perselisihan tentang status rumah yang saya tinggali.”

“ Lalu bagaimana Bu Wiji bisa bertahan menjalaninya?”

“ Pengalaman, pembelajaran, dan koreksi dirilah yang memberi saya kekuatan. Akhirnya saya mencoba berbaur tanpa menjadi lebur. Karena ketika saya mencoba melawan arus saya malah akan menjadi sosok yang dibenci dan dikucilkan di sini. Akhirnya saya mencoba jalani semua tanpa banyak mengeluh dan kelihatan tegar bahkan di depan suami saya sendiri. Mungkin itulah yang membentuk pribadi saya menjadi dingin dan diam seperti yang kaulihat sekarang.”

“ Saya di sini sangat sukar beradaptasi dan merasa semua orang tidak suka pada saya. Padahal kesalahan bukan hanya pada saya,Bu”

“ Saya dulu juga begitu. Akhirnya saya sadar, saya dan orang lain tidaklah sempurna. Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk menyenangi diri kita. Paling tidak sebelum bisa membuat rumah sendiri, jadikanlah tempat ini untuk menempa kekuatan dirimu untuk menghadapi berbagai karakter orang nantinya. Saya tidak tahu apakah pembicaraan kita hari ini bisa menjadi awal kedekatan kita. Saya sadar dengan diam dan dinginnya saya selama ini banyak orang yang enggan berdekatan dengan saya, mungkin termasuk kamu. Padahal Nduk, kalau kamu tahu saya sangat merindukan sosok anak. Apalagi anak perempuan. Kamu juga tidak usah terlalu merasa menjadi menantu paling merana karena punya banyak ibu mertua. Bu Arum sebenarnya orangnya baik dan sayang padamu kan?”

Aku mengangguk membenarkan perkataan Bu Wiji.

“ Tapi memang dia orangnya agak perasa dan suka salah paham. Ketika dia tersinggung ada baiknya kamu menjelaskannya kembali dengan baik. Tapi jangan terburu-buru, tunggu ketika hatinya mulai luluh. Mungkin awalnya kamu harus belajar tapi lama-lama akan terbiasa untuk bisa bicara tanpa melukai hatinya. Percayalah Bu Kus, Bu Rin, dan saya sendiri pun pasti juga punya sisi baik yang bisa kautemukan nanti. Kamu harus menghadapi banyak ibu mertua, sedang saya menghadapi banyak madu,” kata Bu Wiji sambil tersenyum.

Serasa ada kesejukan di dadaku mendengar penuturan orang yang selama ini kuanggap asing. Kembali terngiang nasehat Mbak Sartika, guru ngajiku dulu, “ Dik Ani, niatkanlah pernikahanmu untuk beribadah pada Allah. Jadikanlah pernikahan sebagai ladang amal dan jihadmu untuk meraih ridho-Nya.”

Percakapan kami terhenti saat terdengar tangis Najma. Bu Wiji mendahului aku masuk kamar dan menggendong Najma. Diciuminya bocah montok itu. Jelas sekali nampak kerinduannya akan seorang momongan.

“ Aduh, cucu eyang lucu sekali. Maaf, eyang jarang nggendong ya. Sesekali anakmu dibawa ke rumahku saja, biar aku nggak rebutan sama Bu Arum,” katanya.

Tawa kami jadi meledak karena tiba-tiba Najma ngompol. Kembali Bu Wiji mendahuluiku menggantikan celana Najma. Ada kelegaan hatiku karena sudah mulai bisa masuk ke ibu mertuaku yang ini. InsyaAllah dan moga-moga sebentar lagi aku akan berhasil juga dengan ibu-ibu mertua yang lain. Ada harapan dan tekadku untuk jadi menantu yang baik dan berbakti, meski punya empat ibu mertua.

:: http://myquran.com/forum/archive/index.php/t-5338.html :::

Tidak ada komentar: