Seni atau kesenian tampaknya harus mengalami kenyataan paling sial dalam dunia pendidikan. Ia pernah ‘dimanjakan’ pada era 50-60an, tetapi lalu ‘dianak-tirikan’ di sepanjang masa Orde Baru. Bahkan dalam beberapa tahap Pembangunan Lima Tahun (pelita), pendidikan seni nyaris musnah atau, di sejumlah sekolah, diposisikan sebagai ekstra-kurikuler. Menjelang orde politik terpanjang itu berakhir, muncul upaya di banyak tempat untuk memasukkan kembali seni ke dalam intra-kurikuler, tetapi itupun ternyata harus dipaket ke dalam apa yang kemudian dikenal sebagai muatan lokal (mulok). Suatu paket pendidikan yang terkesan sebagai basa-basi politik.
Tetapi, marjinalisasi (penganak-tirian) seni dalam sekolah formal itupun juga sering dituduh atas kemauan politik. Rezim Orde Baru yang memprioritaskan sektor ekonomi dan industri di satu sisi dan cenderung memosisikan kebudayaan terutama kebudayaan daerah sebagai ‘ancaman’(baca: GBHN 1973-1993) di sisi lain sangat berpengaruh pada perencanaan pendidikan kita. Orientasi pada penguasaan ilmu alam, teknologi, dan matematika dalam kurikulum jauh lebih menonjol ketimbang pada ilmu sosial, bahasa, apalagi kesenian. Akibatnya, bidang-bidang pengetahuan dan ketrampilan tersebut mendapat prioritas berlebih.
Seni atau kebudayaan pada umumnya, kala itu dan mungkin hingga sekarang, menghadapi situasi dan berada dalam posisi yang dilematis. Ketika dipandang sebagai ungkapan keindahan tertentu atau persoalan estetika, ia diposisikan tak lebih dari sebuah klangenan, tontonan, dan pelipur lara. Sementara manakala dipandang sebagai ekspresi pandangan dan sikap tertentu atau lebih luas sebagai ungkapan aspirasi, maka iapun lalu dianggap sebagai ‘ancaman’ terhadap integrasi nasional yang dirumuskan secara politik dan militer. Sebagai persoalan estetika maupun ‘ancaman’ politik, seni dan kebudayaan lalu menjadi tak penting bagi kepentingan industri, ekonomi, dan politik. Oleh sebab itu, para petinggi Orde Baru menganggap tak perlu memberikan ruang belajar baginya dalam pendidikan formal.
Pandangan bahwa seni adalah sekedar klangenan atau pelipur lara memang bukan monopoli elite politik Orde Baru. Para budayawan secara umum dan akademisi kampus di bidang kebudayaan masa itu, dan sepertinya hingga sekarang, juga tak jauh berbeda. Seni lebih dilihat sebagai hanya untuk keperluan eksternal seniman yang bersangkutan, bukan untuk memenuhi kebutuhan diri sang seniman dan kelompoknya. Mungkin ini sangat berkaitan dengan ‘ideologi’ pendiri dan pendukung manifest kebudayaan yang selalu berkampanye “seni untuk seni”, tetapi implikasinya adalah seni menjadi berjarak dengan diri dan komunitas, apalagi dengan problem-problem sosial yang menghimpit warga masyarakat lebih luas.
Lebih jauh lagi, seperti yang dilihat para penentu pendidikan, seni hanyalah semacam ketrampilan menggerakkan tangan-kaki-tubuh, bersuara, menghafal, bertutur, menggores benda keras, menyaput, mengguratkan pena, dan seterusnya. Oleh karenanya, pendidikan seni di sekolah hanya dimaksudkan untuk melahirkan anak-didik yang trampil berkarya seni, atau seperti yang sering diajukan sejumlah pengamat seni, generasi pekerja seni.
Mengembalikan makna subtansial seni sebagai bagian terpenting dari diri seseorang dan komunitas menjadi teramat penting dan tak mungkin ditunda. Karena hanya dengan makna seperti itu, pendidikan seni akan melahirkan generasi yang berkebudayaan, manusia yang berperan dalam kemanusiaan.
file:///H:/Pendidikan%20Seni,%20Untuk%20Apa%20%20%C2%AB%20Rumah%20Kultura.htm
de Stijl atau dalam Bahasa Inggris the style adalah gerakan seni di sekitar tahun 1920an. Konsep ini berkembang seiring terjadinya perang dunia pertama yang berlarut-larut. Komunitas seni de Stijl kemudian berusaha memenuhi keinginan masyarakat dunia mengenai sistem keharmonisan baru di dalam seni.
Konsep ini diwujudkan dalam pemikiran utopia. Mereka mewujudkan abstraksi dan keuniversalan dengan mengurangi campur tangan bentuk dan kekayaan warna semaksimal mungkin. Komposisi visual disederhanakan menjadi hanya bidang dan garis dalam arah horisontal dan vertikal, dengan menggunakan warna-warna primer seperti merah, biru, dan kuning di samping bantuan warna hitam dan putih.
Dalam kebanyakan karya seni, garis vertikal dan horisontal tidak secara langsung bersilangan, tetapi saling melewati satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari lukisan Mondrian, Rietveld Schröder House, dan Red and blue chair.
Pengaruh dan perkembangan
Konsep de Stijl banyak dipengaruhi filosofi matematikawan M. H. J. Schoenmaekers. Piet Mondrian, kemudian mempublikasikan manifes seni mereka Neo-Plasticism pada tahun 1920, meskipun istilah ini sebenarnya sudah digunakan olehnya pada 1917 di Belanda dengan frase Nieuwe Beelding. Pelukis Theo van Doesburg kemudian mempublikasikan artikel De Stijl dari 1917 hingga 1928, menyebarkan teori-teori kelompok ini. Perupa de Stijl antara lain pematung George Vantongerloo, dan arsitek J.J.P. Oud dan Gerrit Rietveld.
Pada dasarnya aliran de Stijl hanya bergerak dalam dunia lukis. Sebab bagaimanapun konsep de Stijl adalah abstraksi secara ideal komposisi warna dalam bentuk dua dimensi, walaupun kemudian juga menghasilkan kesan ruang. Pemanfaatannya sangat banyak di dalam interior dan arsitekrur. namun seperti yang ditulis oleh Piet Mondrian bahwa de Stijl tetaplah sebuah konsep ideal dalam dua dimensi. Meskipun Theo van Doesburg berusaha keras memperjuangkan pengaplikasiannya dalam dunia arsitektur, de Stijl tetaplah hanya menjadi bahan pertimbangan dalam pengolahan bidang-bidang warna, bukan arsitekturnya sendiri.
de Stijl meredup seiring perpecahan di antara Theo van Doesburg yang aplikatif dan Piet Mondrian yang teoritis. Hingga akhirnya majalah de Stijl terakhir kali terbit untuk mengenang kematian Theo van Doesburg.
Seniman yang terlibat dalam gerakan de Stijl
• Piet Mondrian (1872 – 1944)
• Theo van Doesburg (1883 – 1931)
• Ilya Bolotowsky (1907 – 1981)
• Marlow Moss (1890 – 1958)
• Amédée Ozenfant (1886 – 1966)
• Max Bill (1908 – 1994)
• Jean Gorin (1899 – 1981)
• Burgoyne Diller (1906 – 1965)
• Georges Vantongerloo (1886 – 1965)
• Gerrit Rietveld (1888 – 1964)
• Bart van der Leck (1876 – 1958)
file:///H:/Pendidikan%20Seni%20Rupa%20%C2%BB%20Aliran%20Seni%20Rupa.htm
SENI GAMBAR KONTEMPORER INDONESIA: Gambar dalam Perjalanan Sejarah Seni Rupa Barat
Ditulis oleh Admin pada tanggal:03/05/2010 di Seni Rupa | 5 Comments |
KARYA Robi Fathoni yang basis kreatif gambar (drawing)-nya begitu kuat mewarnai tiap karyanya. (foto: kuss)
Oleh: ASMUDJO J. IRIANTO
BERNETT Newman, salah satu seniman papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang pertama menjadi seniman adalah pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah menggunakan sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama. Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia. Karena itu, tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak dapat dipisahkan dari dunia seni dan seniman. Sebetulnya “menggambar”, seperti corat-coret, membuat sketsa, membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu cara seniman (dan para perancang) dalam menvisualisasikan gagasan yang ada dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya juga merupakan upaya pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk karya seni sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun gambar menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret yang paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh G. Sidharta Soegijo: “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.”
Dalam nada yang sama, Kate Macfarlane dan Katharina Stout berujar: “It is to drawing that many artists turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry, or how to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing offers the most direct access to the intimate workings of the artist’s mind: ‘I have always understood drawing to be, in essence, the materialisation of a continually mutable process, the movements, rhythms, and partially comprehended ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason alone, drawing will always be at the heart of the visual arts‘.”
Gambar menjadi bagian penting dalam perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai pada masa modern. Akademi seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan pentingnya gambar sebagai tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal sebagai akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat dari peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa Renesans sampai era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa gambar—atau lebih tepat seni gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru beberapa tahun belakangan ini.
Agaknya, fungsi gambar sebagai preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—menjadikan gambar tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory menjadikan gambar dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan akhir. Kendati gambar, atau kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam seni lukis dan seni patung, namun hal itu lebih bertautan dengan proses penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap lebih penting adalah hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah yang utama, seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: “These are the arts that later came to be called the fine arts, when the word ‘fine’ is understood to mean ‘finis’ and to signify that the works produced by these arts were things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further ends.”
Sejak masa Renesans ketrampilan menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak masa Renesans pula seni lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang paling penting. Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak lekang dari gambar. Agaknya, karena terlalu lama menservis seni lukis dan patung menyebabkan status atau kedudukan gambar menjadi problematik, sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, “Yet the medium’s status has always been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture, as well as its association with preparation and incompletion.”
Pelukis kenamaan Perancis Ingres pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting, “If I were to put a sign above my door, it would read School of Drawing, and I’m certain that I would produce painters.” Hal itu tampaknya berlaku secara universal. Bukankah hal itu pula yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang menjadi cikal bakal seni rupa ITB?
Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19 virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik, “The practice of art in this century has been no less closely tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.
Gambar Sebagai Wilayah Otonom dalam Seni Rupa Kontemporer
Setelah di akhir tahun 60-an sampai tahun 80-an gambar dianggap kurang penting dalam ruang lingkup pendidikan seni rupa, maka tahun 90-an ditandai dengan kegelisahan karena makin berkurangnya kemampuan menggambar para mahasiswa seni rupa. Ada upaya-upaya untuk “back to basic”, yaitu mengembalikan gambar sebagai variabel penting dalam seni rupa—termasuk dalam pendidikan tinggi seni rupa. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh Tate Gallery tahun 1993-1994 mengenai The role of drawing in Fine Art Education. Hal itu kemudian ditandai pula oleh dibukanya program studi gambar di beberapa perguruan tinggi seni rupa di Barat.
Di masa sebelumnya, kita tahu bahwa seni lukis modern yang puncaknya ditunjukkan oleh abstrak ekspresionisme mengalami kebuntuan. Perkembangan lebih lanjut yang ditunjukkan oleh Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir. Performance, happening, eart art, dan bentuk-bentuk seni patung dalam sense sculpture in extended field menjadi utama. Hal itu kemudian disusul oleh new media art. Namun secara perlahan tapi pasti seni lukis kembali menunjukkan kebangkitannya. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional—bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya. Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak lepas dari come-backnya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” (anything goes) tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis. Agaknya, melihat hal itu, para seniman yang tertarik dengan gambar sebagai kemungkinan medium seni rupa kontemporer mulai menampilkan dirinya. Karena itu Emma Dexter, editor Vitamin D (buku kompilasi seniman gambar yang paling komprehensif saat ini) berpendapat bahwa popularitas seni gambar sedikit banyak disebabkan oleh kembali populernya seni lukis: “In painting’s slipstream followed the shy sibling, gambar, arriving without any apologies or explanation. Gambar had never been widely theorized in its own right, allowing the field to be open for the artists to make of it what they choice.”
Selain itu, popularitas seni gambar ditengarai dodorong oleh arus balik pada hal-hal yang lebih moderat dan sederhana, setelah praktek seni rupa tahun 70an sampai 90-an disibukkan oleh aspek monumental seni. Hal itu diutarakan oleh Emma Dexter: “But when drawing first started to emerge autonomously in the mid-1990s, it was also the perfect medium to contrast with the sort of art that preceded it. Circa 1990, contemporary exhibition were dominated by a form of monumentalism, one that ironically trumpeted its decosntruction of the monument yet aped the monument’s hunger for the space, power and theatricality.”
Seni Gambar Kontemporer Indonesia
Dalam konteks seni rupa modern Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi penting. Sebelum istilah seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka “gambar” merupakan istilah yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu kita masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar Indonesia, kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar dapat merujuk pada seni lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang atau sesuatu, lukisan adalah gambar atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya dalam konteks budaya Indonesia masa lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian drawing. Sanento Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: “Yang pertama-tama perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata “gambar” mempunyai lingkup pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat dihidupkan, yang kelihatan di layar bioskop ketika film main, demikian juga foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah, grafik, dan sebagainya, itu semua dalam bahasa Indonesia disebut “gambar”.
Saat ini pengertian istilah gambar tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia, mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun demikian apa yang diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau persoalan merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak mengherankan jika gambar sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat ini beberapa seniman muda menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar dalam berkarya.
Pameran ini menandai apa yang dijelaskan oleh Laura Hoptman, “it also mark a moment when drawing has become a primary mode of expression for the most inventive and influential, artist of the time.” Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia ditandai oleh karya-karya yang dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam kategori gambar, atau dalam hal ini lebih tepat disebut seni gambar. Barangkali istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa Inggris cukup disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar memang sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang merupakan padanan istilah painting dan sculpture. Dengan demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar sebagai karya seni, khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.
Namun demikian, saat ini, tak mudah menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam beberapa hal seni gambar bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya ditunjukkan oleh beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai drawing, namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas “antara” (drawing dan painting): “In the case of Dumas, gambar has always featured heavily in her exhibitions, the juxtaposition between the more final and ‘developed’ form of painting and the immediacy of gambar being an essential element in the presentation of her work. In other cases, artists such as Elizabeth Peyton and Katharina Wulff have blurred the distictions between drawing and painting, transferring some of the fragility and immediacy of drawing into their painting. Using thin paint or combining media to leave the white ground uncovered, thus gaining an increased sense of immediacy and responsiveness from a medium often associated with closure and ponderausness.
Penjelasan serupa ditunjukkan oleh Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan Anish Kapoor: “Salle’s triptych ‘walking the dog’ of 1982 is in oil and acrylic on cotton, although it is andoubtedly drawn in line, and Kapoor’s gouaches and moulded paper pieces from his Tate exhibition of 1989 are designated ‘gambar’ althought they have nothing to do with line.”
Dengan ketiadaan spesifikasi medium, maka cukup sulit untuk menetapkan definisi gambar yang pasti. Kita sepertinya “mengerti” apa itu gambar, namun benarkah demikian? Karena apa yang kita sebut gambar bisa cukup beragam dan berbeda karakternya. Di sisi lain cairnya batasan gambar justru merupakan sebuah berkah, karena akan melebarkan kemungkinan-kemungkinan seni gambar, pun tak masalah jika tumpang tindih dengan wilayah atau medium lain. Bukankah atmosfir seni rupa kontemporer ditandai oleh ketidaksukaan pada batasan yang pasti dan definitif?
Sebelumnya disebut bahwa di masa lalu gambar belum sampai pada kondisi otonom. Namun jika sekarang gambar menjadi medium yang “otonom” tentunya tidak dalam sense beranalogi dengan otonomi seni yang kaku. Karena seni sebagai wilayah otonom dianggap sebagai konstruksi yang diangan-angankan oleh seni rupa modern—yang terbukti tidak tercapai. Yang dimaksud gambar sebagai seni yang otonom adalah keberadaan gambar sebagai tujuan akhir ekpresi seni—bukan sebagai preparatori atau sketsa. Karena itu karakter bahwa seni gambar menjadi medium akhir (selesai sebagai karya seni) tidak diikuti oleh ketentuan formulatif atau absolut mengenai “kebenaran” seni gambar. Seni gambar mengikuti kaidah seni rupa kontemporer yang pluralis: segala macam kemungkinan seni gambar berhak hidup. Karena itu, menurut para pengamat, seni gambar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sehingga batas-batasnya pun meluas, yang dalam istilah Emma Dexter disebut drawing within an expanded field —mengingatkan kita pada istilah sculpture in the expanded field.
Harus diakui Pameran Seni Gambar Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa sejauh mana seniman menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang diambil dalam pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi media yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena itu, sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau teknik gambar merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya seni. Dengan kata lain pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan akhir adalah “karya seni” yang “selesai”, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam upaya meletakkan gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni lukis dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya “seni gambar” yang mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya menjadi pilihan utama dalam pameran ini.
Maka, dalam pameran ini, konten representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan adalah karya seni. Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun konten, subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk menyuguhkan kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama sekali tidak menciderai pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper, menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan seperti juga kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun telah ditunjukkan oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan kertas. Tentu saja hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih rendah. Pada akhirnya adalah persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap menampikan karya seni gambar menggunakan kertas.
Namun demikian, terlepas dari konteks konten dan representasinya, perkara keragaman, eksplorasi dan konsep tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini. Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik dari pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup eksperimental. Demikian pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan dengan seni lukis. Hal itu harus diterima sebagai refleksi beragamnya pengertian dan kemungkinan seni gambar.
Selain itu, cukup menarik bahwa popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi bagian penting dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis gambar terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali populer belakangan ini.—menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan pengerjaan seni lukis dan patung lebih mudah dibantu dengan perangkat digital, seperti kamera digital, software komputer dan proyektor LCD. Hal ini semakin membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi seni lukis. Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan seniman gambar pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam prose’s penyiapan dan pengerjaan seni gambarnya.
Tentu disadari bahwa pameran ini tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan inlukisf mengenai kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia. Namun demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan. Hal itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian membentuk dengan tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya yang serupa dengan gambar komik.
Seperti telah disebutkan di awal bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan manusia. Segala jenis citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik berupa sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting untuk menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan wilayah yang paling tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai sebentuk seni tradisi dapat bertahan dan tembus ke era modern. Hal itu ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam Lempad dan banyak lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya yang personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian. ***
(Catatan ini rencananya menjadi pengantar dalam katalog Pameran Seni Gambar Kontemporer yang pamerannya telah diselenggarakan tahun 2009 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta)
*) Penulis adalah Kurator dan staf pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB. / Indonesian Art News
http://www.dapunta.com/seni-gambar-kontemporer-indonesia-gambar-dalam-perjalanan-sejarah-seni-rupa-barat.html
Bertolak dari hal tersebut di atas, maka tulisan ini memberikan salah satu media pendekatan yang dapat membantu dalam hal pemahaman dan penghayatan pengunjung tentang benda-benda budaya yang dipamerkan, terutama yang berhubungan dengan kesenian dan religi. Pendekatan yang dimaksud adalah bagaimana mengoptimalkan peran penampilan hidup ( live show) dari masyarakat untuk mendukung pemeran budaya milik masyarakat dalam bentuk peragaan atau pertunjukan yang disajikan oleh Kelompok Seni / Sanggar Seni.
Sanggar adalah tempat / wadah dimana berkumpul atau bertemu untuk bertukar pikiran ( pembahasan, pengolahan , dsb.) tentang suatu bidang ilmu atau bidang kegiatan tertentu. Sedangkan Sanggar Seni adalah tempat atau wadah dimana seniman-seniman mengolah seni guna suatu pertunjukan. Selain itu, di dalam sanggar ini pula ada kegiatan-kegiatan yang sangat penting, yaitu menggali, mengola dan membina seni bagi para seniman. Setiap sanggar seni ada organisasinya, yaitu mulai dari pimpinan hingga koordinator bidang pembinaan. Misalnya, koordinator bidang tari, teather, vokal, musik, seni ukir, lukis dan lain-lainnya.
Sejarah itu ilmu dan seni: Download File DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Berawal dari diskusi di atas, kemudian kita perlu menelaah kondisi pembelajaran sejarah saat ini. Barangkali bahwa sejarah itu sebagai ilmu dan seni tidak perlu kita ributkan lagi. Toh Kuntowijoyo sang begawan sejarah juga seorang pandit seniman. Demikian halnya Syafii Maarif yang seorang sejarawan maupun tokoh gerakan moral, ternyata juga pandai bersastra. Bahwa sejarah sebagai ilmu sudah jelas dasarnya, karena sejarah itu empiris, mempunyai objek, mempunyai teori, dan ada generalisasi. Sedangkan sejarah dikatakan seni karena sejarah perlu intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Tentu pertanyaan ini bisa tindih tumpang, sebab dalam unsur pembelajaran sejarah itu ada pendidik. Sementara mendidik itu adalah ilmu dan seni. Perlukah kita memilahnya? Tentu saja kita tidak bisa membuat garis pembatas yang tegas, tetapi bisa ditentukan kecenderungan salah satu dari ketiganya. Bahwa ilmu dan seni mendidik pasti sudah dikuasai calon guru dari dasar-dasar pendidikan dan strategi pembelajaran, sedangkan ilmu sejarah itu hanya dipelajari secara intensif calon guru sejarah. Tugas guru sejarahlah yang mengintegrasikan kompetensi keilmuan sejarah dan penguasaan seni untuk mengajar sejarah dalam proses pendidikan.
Komputer dan Seni Rupa: Download File DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Setelah diciptakan , hasil karya seni yang telah dibuat kemudian akan disajikan dalam berbagai wujud. Untuk itu dibutuhkan berbagai hardware untuk merealisasikan karya seni ini. Printer adalah contoh yang sangat sederhana. Perkembangan printer terus mengalami kemajuan. Salah satunya adalah large scale printer Yang biasanya digunakan untuk mencetak image datam skala besar.
Akhir-akhir ini pembajakan terhadap karya seni di Indonesia kian meningkat, sehingga merugikan para pemusik tersebut dan tentunya Negara juga dirugikan. Karya musik yang disajikan akhir-akhir ini terlalu banyak melakukan perubahan oleh file Midi tersebut sehingga terdengar rapi dan bagus. Sehingga apabila ada konser Live pasti penonton kecewa karena apa, yang disajikan tidak sebaik yang di kaset. Misalnya : Konser AM 1, suara di kaset berbeda dengan penampilan Live, ini disebabkan converter[ Proses Edit } yang berlebihan.
Dialog Budaya & Gelar Seni: Download File DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
DALAM kaitan itu, Dewan Pendidikan dan Dewan Kebudayaan berprakarsa menggali dan merevitalisasi nilai-nilai “Budaya Yogya” dalam acara Dialog Budaya & Gelar Seni: “Yogya Untuk Semesta”. Atas perkenan Bapak Gubernur, Sri Sultan Hamengku Buwono X, acara ini akan diselenggarakan di Bangsal Kepatihan secara rutin 35 harian pada setiap hari Slasa-Wage sekaligus malam tasyakuran bertepatan dengan Tingalan Dalem Ngarsa Dalem.
Pada intinya acara ini adalah Dialog Budaya dengan mengambil berbagai topik bahasan yang berkait dengan “Budaya Yogya” dengan menghadirkan narasumber yang otentik dan didukung oleh media seni (seni tari, tembang, karawitan, musik tradisional, senirupa, teater dsb.) yang terkait dengan topik serta dikemas secara padat dengan gelaran lesehan. Kegiatan kebudayaan ini diharapkan membangkitkan inspirasi bagi tumbuhnya berbagai kegiatan serupa di masyarakat dengan beragam bentuk, sehingga memberikan citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya yang hidup dan menghidupi. Budaya itu hidup, karena memang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Dan menghidupi, karena merupakan living culture yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Yogyakarta.
http://www.caratasi.com/2009/07/makalah-seni-dan-budaya.html
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SENI RUPA TRADISIONAL DALAM KURIKULUM SATUAN PENDIDIKAN
Oleh: Martono
(Jurdik Seni Rupa FBS UNY, HP 08156886807, email: martonouny@yahoo.com)
Mengawali tulisan ini mari kita renungkan pernyataan Tilaar (1999:177) mengatakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional. Hal ini perlu diintegrasikan kembali sehingga pendidikan betul-betul hidup, dihidupi, dan menghidupi kebudayaan. Sesungguhnya pendidikan adalah proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi yang harus dilakukan melalui pembelajaran untuk membangun apresiasi dan kreasi peserta didik. Pembelajaran apresiasi seni rupa tradisi dapat dilakukan dengan sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi nilai-nilai seni pada peserta didik. Suatu istilah yang sering digunakan oleh para ahli sosiologi atau ilmu sosial lainnya, sosialisasi adalah untuk memberikan pemahaman tentang proses pengalihan pengetahuan, ide-ide, sikap, dan tingkah laku dari satu generasi ke generasi berikut¬nya. Proses sosialisasi dapat dimulai dari keluarga, teman bermain, pendidikan for¬mal, pendidikan luar sekolah, dan pergaulan di masyarakat. Proses ini oleh para ahli antropologi disebut proses enkulturasi, sedangkan penjiwaan dari proses tersebut sam¬pai membentuk pengetahuan dan perilaku sehingga anak mampu mandiri dinama¬¬kan proses internalisasi.
Enkulturasi adalah proses pembudayaan, hal ini akan tampak jelas pada pendidikan huma¬niora, seperti seni, kesusastraan, tari, musik yang berbentuk ekspresi kreatif. Pengembangan kreativitas perlu dibina seawal mungkin agar menjadi manusia-manusia yang berbudaya. Internalisasi adalah proses penghayatan, proses penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui latihan, pengolahan, pemikiran atau bentuk penghadiran tertentu lainnya. Oleh karena itu, proses internalisasi bersifat pribadi, proses ini dilakukan dalam pengembangan diri melalui belajar dari orang lain, orang tua, dan guru dalam situasi tertentu sesuai dengan kapasitas fisik dan kejiwaanya. Dengan demikian, proses internalisasi diperlukan bagi setiap anak atau individu dalam bentuk identitas maupun jati diri. Dalam kontek seni budaya dan keterampilan seni tradisi kita merupakan salah satu puncak-puncak budaya di setiap daerah yang menjadi jati diri bangsa kita. Hal ini menjadi dasar dan sekaligus sebagai peluang yang dimungkinkan pendidikan mempertimbangkan kembali membelajarkan seni tradisi kita kepada peserta didik sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan perkembangan global sekarang ini.
Pendidikan sebagai proses kebudayaan dan melakukan proses interaksi terjadi tranformasi budaya dari generasi tua, yaitu guru kepada generasi muda, yaitu peserta didik. Tilaar (1999: 9) mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihadapi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang atau dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Hal ini yang dinamakan pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan. Bagaimanakah manusia yang berbudaya itu? Manusia berbudaya adalah manusia yang dapat dinilai dari kinerjanya, dipandang dari dimensi pengetahuan, cara ber¬pikir, sikap, perilaku, cara kerja, melihat dan menanggapi serta memecahkan masalah (Djohar 1999:128). Jika pendidikan sebagai suatu proses yang menghasilkan manusia berbudaya, proses pembelajaran merupakan bentuk operasional penebaran budaya kepada peserta didik di dalam aktivitas sosial yang disebut kelas. Berbagai kemampuan manusia diperoleh melalui proses pendidikan. Dengan demikian, pen¬didikan adalah proses kebudayaan.
Konsep pendidikan berwawasan budaya yang disampaikan Djohar sejalan dengan konsep mata pelajaran seni budaya dan keterampilan, menuntut peserta didik yang belajar seni memiliki kinerja seperti seniman, dan peserta didik yang belajar sains memiliki kinerja seperti saintis. Hanya pada orang yang memiliki budaya seni yang mampu menghasilkan seni, dan hanya pada mereka yang memiliki budaya ilmu yang mampu menghasilkan ilmu. Untuk mewujudkan budaya seni dan budaya ilmu pada peserta didik, perlu diasimilasikan dengan proses seni atau proses sains dalam proses belajarnya. Ki Hajar menyebut proses belajar harus diasimilasikan yang artinya menjadi satu. Asimilasi membuat sesuatu menjadi baru bukan meniru belaka tetapi mengolah atau memodifikasi menjadi baru. Sosialisasi nilai budaya melalui kegiatan pembelajaran dengan cara asimilasi lebih memiliki makna dan kekuatan bagi peserta didik. Agar terjadi proses sosialisasi, enkulturasi, dan inter¬nalisasi budaya pada peserta didik dengan baik, perlu dilibatkan langsung dengan proses nilai-nilai budaya secara langsung.
Para ahli pendidikan dan antropologi sepakat menyatakan bahwa budaya adalah dasar ter-bentuknya kepribadian manusia. Dari budaya terbentuk identitas seseorang, masya¬rakat, dan suatu bangsa. Bagaimana proses pendidikan dapat membentuk insan-insan yang berbudaya yang mampu mengembangkan dan menyambung budaya masyarakat dan bangsanya. Pendidik dan peserta didik sebagai pelaku aktif harus selalu mencari dan mengembangkan budaya melalui proses yang disebut pembelajaran. Kelas sebagai tempat terjadinya proses kebudayaan harus dikondisikan agar tranfer budaya tersebut dapat berjalan dengan baik. Peningkatan motivasi mengajar dan motivasi belajar harus terus dikembangkan dengan berbagai strategi pembelajaran agar proses pembudayaan dapat berjalan dengan baik dan wajar. Tanpa kesadaran, tanggung jawab, dan kerja keras proses pembudayaan melalui pembelajaran tersebut tidak akan berjalan dengan baik.
Dalam pembelajaran seni secara eksplisit dalam program pembelajaran di satuan pendidikan kita memang belum nampak, tetapi bisa kita lihat dalam sejarah budaya yang panjang di Indonesia yang menghasilkan produk budaya seni rupa tradisi yang monumental seperti Borobudur, rumah adat, keris, batik, uikiran, perak dan sebagainya. Hasil budaya itu tidak/bukan dibelajarkan dan tidak dibudayakan di sekolah formal tetapi dibelajarkan dan dibudayakan di pendidikan informal dalam keluarga, nonformal dalam masyarakat yang dibimbing oleh seorang pakar profesional yang disebut “Empu, perajin, tukang”. Proses alih budaya, alih teknologi, alih nilai dan kinerja melalui melakukan langsung pada aktivitas nyata dengan sepenuh hati dan pikirannya. Para cantrik atau siswa yang belajar melakukan aktivitas fisik dan mental berdasarkan dengan kesadaran penuh tidak dengan keterpaksaan seperti layaknya kebanyakan siswa belajar di sekolah formal.
Pola pembelajaran yang dilakukan oleh empu kepada cantrik adalah proses pembelajaran informal yang cukup bagus untuk menanamkan budaya pengetahuan dan keterampilan vokasional kepada generasi penerusnya. Di sini terjadi pembelajaran seni melalui budaya seni dan kinerja seni secara profesional dan dilakukan oleh pakar seni yang aktif dan produktif, sehingga melahirkan budaya seni dan kompetensi seni yang utuh dan menyatu dalam kehidupan empu dan cantriknya. Jika kita melihat dalam tradisi Agama Hindu di Bali antara melaksanakan ibadah agama dengan kegiatan berkesenian sulit dibedakan karena keduanya dilakukan secara totalitas bahwa melakukan segala sesuatu adalah ibadah, berbakti, dan persembahan kepada yang Maha Kuasa. Ketika membelajarkan apresiasi seni mereka diajak ke musium, melihat produk budaya yang dihasilkan generasi pendahulu. Mereka ingin membelajarkan seni diajak ke pameran seni, pertunjukan seni mengamati secara langsung dan pada saatnya nanti mereka akan diajari seni seperti apa yang menjadi minatnya. Bukan seperangkat kemasan seni yang harus diajarkan untuk semua siswa, baik suka maupun tidak suka seperti yang terjadi selama ini di sekolah formal.
Perkembangan Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan di Indonesia sekarang telah memasuki era perubahan besar. Era pertama dintadai bahwa pendidikan adalah milik masyarakat yang menyatu dalam lembaga-lembaga keagamaan, surau, masjid, pesantren, sekolah minggu, dan lain-lain, sebagai pengembangan lebih luas fungsi masjid, gereja, pura, dan wihara menjadi lembaga pendidikan. Era kedua pendidikan sebagai program pemerintah dan dikelola secara sentralistik, baik perencanaan, pendanaan, maupun berbagai kebijakan kurikulum, dan pembinaan sumberdaya daya pendidikan lainnya, sehingga lahirlah kurikulum seni rupa menambal pakaian. Selanjutnya lahirlah UUSPN no 2 Tahun 1989 telah memperkuat sentralisasi tersebut, tidak hanya pada standar kualitas, tetapi juga pada standarisasi kurikulum, metode, dan evaluasi belajar. Era ketiga desentralisasi pendidikan sebagai bagian dari bentuk otonomi daerah, sekolah diberikan kewenangan penuh mengembangkan pendidikan sesuai dengan konteks potensi budaya dan lingkungan setempat. Pada era KTSP ini sekolah diberikan kewenangan penuh untuk mengembangkan pembelajaran seni rupa daerah setempat dalam kerangka untuk mengembangkan apresiasi peserta didik, pelestarian, dan pengembangan seni budaya daerah setempat. Harapan akhir dari semua perubahan pendidikan itu adalah terwujudnya manusia terampil, profesional dibidangnya, manusia yang berbudaya yang mampu mengubah dan menjadi¬kan dirinya menjadi lebih baik. Manusia berbudaya menurut Tilaar (1999) adalah seorang yang menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etis dan moral yang hidup dalam kebudayaan tersebut. Semua itu harus diupayakan bersama dididik bersama di semua situasi dan kondisi agar semua komponen masyarakat menjadi baik dan terdidik.
Kebudayaan dalam berproses melibatkan semua komponen yang saling terkait satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Antara seniman, penikmat, masyarakat penyangga, pendidikan, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, tidak ada proses pen-didikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat. Sebaliknya, tidak ada suatu ke¬budayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan. Pendidikan dan kebudayaan hanya dapat terjadi dalam hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam pengertian kebudayaan terkandung tiga aspek penting, yaitu 1) ke¬budayaan dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya, kebudayaan sebagai wa¬ri¬san tradisi sosial; 2) kebudayaan dipelajari; dan 3) kebudayaan dihayati dan dimiliki ber¬sama oleh masyarakat pendukungnya (Parsons, 1994). Dalam penger¬tian itu kebudayaan sebagai model pengetahuan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang senantiasa terjadi melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak proses pendidikan itu berjalan secara alamiah di masyarakat pendukungnya. Transfer pengetahuan dapat terjadi di dalam keluarga, di masyarakat melalui pembelajaran non formal, maupun di lembaga formal. Seni rupa tradisi kita berkembang subur justru melalui pendidikan informal dan nonformal. Di situ terjadi proses pembelajaran melalui learning by doing, sistem nyantrik, dan belajar sambil bekerja berjalan dengan baik dan menghasilkan berbagai produk keterampilan seni yang luar biasa.
Seniman, guru, pekerja seni yang lain melaksanakan proses pendidikan bukan sekedar tranformasi nilai-nilai kebudayaan saja, tetapi mencipta, mengubah, memperbarui, memeperkaya, bahkan dapat mematikan kebuda¬ya¬an itu sendiri. Hal ini berarti bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Pendidikan yang tidak berakar dari kebudayaan sendiri akan terlempar oleh derasnya arus globalisasi. Proses pendidikan hendaknya sesuai dengan kebuda¬ya-an peserta didik. Pendidikan akan berjalan dengan lebih mudah jika dilaksanakan melalui kerangka budaya peserta didik, yang mampu melibatkan banyak pihak (orang tua, keluarga, dan masyarakat) sebagai pelaku budaya dan mampu menjaga kesinambungan budaya tempat penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan. Pada situasi sekarang keberadaan seni tradisi kita mulai kurang diminati generasi muda, ditinggalkan generasi penerus, mereka lebih menyukai budaya pop baik dari budaya sendiri maupun budaya dari luar. Kondisi semacam ini secara tidak sadar akan kehilangan jati diri bangsa kita sendiri. Oleh sebab itu, perlu mengemas materi seni tradisi menjadi budaya pop sesuai dengan perkembangan anak, tuntutan zaman, dan kebutuhan masyarakat, dengan catatan tetap berakar budaya bangsa kita. Suatu kenyataan yang tidak dapat dielekan justru generasi muda yang belajar seni tradisi kita adalah generasi muda dari mancanegara melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Sekarang budaya tradisi kita mulai bertebaran dan tumbuh baik di manca negara. Jika terjadi suatu kasus seperti di Malaysia mengeklem budaya Indonesia (batik, reog, tari pendet) menjadi budaya mereka itu salah satu dampak dari globalisasi budaya. Justru yang ironis adalah pemilik budaya asli kurang peduli untuk mengembangkan dan melestarikan, tetapi kalau digunakan orang lain mereka marah. Siapakah yang bersalah dalam kasus ini.
Mengemas Seni Rupa tradisional dalam kurikulum satuan pendidikan
Usaha pemerintah untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia telah diupayakan secara maksimal seperti yang tercantum dalam PP nomor 20 tahun 2003. Sesuai dengan peraturan pemerintah itu pendidikan di Indonesia menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan berbasis kompetensi, dan pembelajaran berbasis kompetensi. Dalam proses belajar itu peserta didik dikondisikan belajar dengan seperangkat kompetensi bukan segudang hafalan kognitif yang kurang mengubah perilaku kreatif, adapatif, dan produktif peserta didik. Dalam pendidikan seni budaya, muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya, atau dengan kata lain pembelajaran seni dengan pendekatan budaya. Diknas telah mengemas pendidikan seni menjadi Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Konsep pendidikan seni budaya diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik. Pembelajaran seni di sekolah dikemas dalam pembelajaran apresiasi dan kreasi. Pembelajaran seni di sekolah disiapkan untuk pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan belajar berekspresi dan belajar berkreasi melalui penciptaan seni. Pembelajaran seni di sekolah disiapkan untuk pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan belajar berekspresi dan belajar berkreasi melalui penciptaan seni. Rohidi (2000:67) mengatakan bahwa pendidikan estetik adalah pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keagungan jasmaniah dan rohaniah. Oleh karena itu, seharusnya seni menjadi dasar pendidikan. Pendidikan estetis menurut KH dewantoro(2004:323) dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat indah. Pembelajaran seni memberikan wawasan dasar estetik yang luas agar tamatan mampu beradaptasi dengan pekerjaan atau kegiatan seni yang lebih luas.
Pembelajaran seni budaya bermuara pada pembelajaran apresiasi yang dilakukan dengan proses apresiasi dan kreasi. Pembelajaran seni diberikan kepada peserta didik melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran pendidikan seni ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain. Kompetensi seni sebagai subjek, sarana pembelajaran, dan sekaligus sebagai tujuan pendidikan seni. Ideal memang kalau dihayati pernyataan itu, tetapi bagaimana dengan kenyataan yang sebenarnya pelaksanaan pembelajaran seni di sekolah. Pernyataan itu hendaknya jangan hanya sebagai slogan dan belum didukung oleh berbagai faktor yang penting misalnya kompetensi guru masih belum memadahi, sarana pendukung belum sesuai, dan dalam konteks pelaksanaan pembelajaran masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai solusi mari semua pendidik seni mulai mereformasi diri dan melepaskan dari belenggu rutinitas ketidakmajuan dan meningkatkan kompetensi untuk mengembangkan pendidikan seni ke masa depan yang lebih baik. Jatidiri bangsa Indonesia terletak pada tradisi seni budaya yang adi luhung harus tetap dilestarikan dan dikembangkan melalui pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan, agar seni rupa tradisonal tiap derah di Indonesia tetap unggul dan diunggulkan di percaturan seni budaya di dunia.
Pendidikan Seni Budaya dan keterampilan dalam standar isi dalam kurikulum satuan pendidikan diberikan di sekolah memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual yang dimaksud di sini adalah bahwa pendidikan seni bermakna untuk pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media. Pengekspresian diri itu dapat berupa bahasa rupa yang menghasilkan goresan, ciptaan bentuk karya rupa yang kreatif. Ekspresi dengan bahasa bunyi lahirlah seni musik dan suara yang indah. Dengan bahasa gerak tubuh dapat mengekspresikan diri menjadi tarian yang khas dan indah. Ekspresi dengan peran atau acting menghasilkan seorang aktor yang tangguh. Selanjutnya memilik kreativitas dapat mengekpresikan diri memadukan dari semua bahasa ekspresi menghasilkan seni alternatif yang kreatif, inovatif yang harus terus dikembangkan.
Pendidikan seni bersifat multidimensional hal ini bermakna bagi pengembangan beragam kompetensi peserta didik yang meliputi membangun konsepsi seperti (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), melalui prinsip ini berarti membangun kecerdasan dan mengembangkan aspek kognitif peserta didik. Pendidikan seni mengembangkan apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika, sehingga menghasilkan karya cipta yang unggul. Pendidikan seni di sekolah umum bermuara pada aspek apresiasi, baik melalui membaca, mengamati, keterlibatan berkreasi seni, dan kegiatan lain yang membangun sikap siswa untuk memiliki kepekaan, perhargaan, dan pemahaman tentang seni.
Sifat pendidikan seni yang multikultural mengandung makna pendidikan seni harus mampu menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup berdampingan secara beradab, harmonis, serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. Prinsip multikultural telah dimiliki dan tumbuh berkembang dengan baik pada bangsa ini sejak berabad abad lamanya. Kalau kemudian timbul perpecahan karena ditumpangi oleh kepentingan tertentu yang mengakibatkan perpecahan bangsa. Pada konsep pendidikan multikultural hendaknya dapat merajut kembali rasa persatuan, toleransi, dan apresiasi beragam budaya nasional yang diikat oleh Bhineka Tunggal Ika. Pendidikan seni budaya dan keterampilan yang dikemas dalam kurikulum berbasis kompetensi dalam bentuk KTSP berupaya untuk mengangangkat kembali seni rupa tradisi kita dalam pembelajaran seni di pendidikan formal. Beragamnya seni rupa tradisi di setiap daerah perlu dikenalkan kepada peserta didik sebagai upaya pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural dirumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia, dan penghapusan berbagai prasangka demi membangun kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Pendidikan multikultural membangun kesadaran kebanggaan seseorang atas bangsa dan kebudayaanya. Dalam pendidikan multikultural dapat dapat mengembangkan model menurut Gorski menjadi tiga taransformasi, (1) tranformasi diri, (2) Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, (3) Transformasi masyarakat (Mahfud 2006:15). Pendidikan kultur yaitu pendidikan yang mempertinggi nilai kemanusiaan( KH Dewantoro 2004:324). Pendidikan seni harus memikirkan pelestarian dan pengembangan budaya tradisi nusantara melalui pembelajaran di kelas. Indonesia di mata dunia adalah unggul dalam seni budaya tradisi untuk itu perlu dijaga eksisitensinya melalui kurikulum dan pembelajaran seni di sekolah yang benar.
Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional. Semua bidang seni, rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang diwujudkan dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Hal itu diperjelas secara operasional dalam Standar Isi sebagai pedoman penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) Salah satu contoh dalam Standar Kompetensi apreasiasi dan kreaasi selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi dasar yang berbunyi sebagai berikut: “Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa terapan daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara”. Dalam kompetensi itu menunjukan bahwa pendidikan kita telah mengenalkan seni daerah setempat, Nusantara dan manca negara. Dari kompetensi dasar tersebut pendidikan kita telah mulai membangun kesadaran para lulusan untuk mengenal multikultural bangsa Indonesia sampai macanegara agar lulusan memiliki rasa dan sikap apresiasi dan penghargaan terhadap keragaman budaya. Kompetensi Dasar yang lain sebagai contoh berbunyi: “Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni kriya Mancanegara”. Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa modern/kontemporer”. Secara koseptual materi tersebut dikemas melalui mata pelajaran seni budaya dan keterampilan hendaknya menjadikan perhatian satuan pendidikan dan para guru untuk dapat melaksanakan pembelajaran seni yang sebaik-baiknya untuk mewujudkan konsep kurikulum ideal yang dikembangkan pemerintah tersebut. Yang menjadi pertanyaan apakah guru siap melakukan pembelajaran seni seperti yang diamanatkan dalam standar isi?
Mata pelajaran Seni Budaya dan keteramiplan (dalam Standar Isi) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) Menampilkan kreativitas melalui seni budaya, (4) Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Guru dapat mengembangkan pembelajaran seni sesuai kemampuan dan kondisi sekolah dan daerah. Guru dapat mengambil prioritas seni yang mana yang dipilih untuk menunjang pembentukan pengalaman estetik peserta didik dan pembangunan budaya daerahnya.
Depdiknas memberikan nama mata pelajaran seni (rupa, musik, tari, dan teater) dengan kemasan nama seni budaya harapanya pembelajaran seni dengan pendekatan budaya. Seni harus dibelajarkan kepada anak didik melalui budaya peserta didik di mana mereka tinggal. Dalam tulisan ini diajukan sebuah pemikiran pembelajaran kontekstual dengan penggunaan metode pembelajaran seni yang relevan dalam pendidikan seni yang multikultural yang diambil dari konsep pembelajaran kontekstual dan lifeskills. Dalam pandangan penulis berbicara tentang multilingual, multidimesi, dan multikultural memang membicarakan dimensi manusia dan budaya yang sangat luas. Dengan pendekatan kontekstual tersebut dapat menyentuh esensi pembelajaran seni yang sebenarnya. Akar budaya atau seni Indonesia adalah seni tradisi. Pembelajaran seni tradisi selain yang dikembangkan para empu dengan sistem nyantrik, dimana peserta didik dikondisikan dan diasimilasikan dalam dalam suasana aktivitas seni yang sebenarnya. Peserta didik harus belajar batik melalui membatik, belajar mengukir melalui kegiatan memngukir, belajar melukis dengan melukis. Demikian juga sistem pembelajaran yang dikembangkan pendidikan nonformal dengan nama kursus, peserta didik diajari keterampilan seni yang praktis dan kontekstual sesuai kebutuhan dan perkembangan seni yang dibutuhkan di masyarakat. Pendidikan seni baik lewat nyantrik, magang, praktik industri, praktik kerja lapangan pada prinsipnya adalah belajar pengetahuan dan keterampilan seni agar menguasai kompetensi yang memadahi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan seni di masyarakat.
Bagaimana mengemas materi seni rupa tradisional dam pembelajaran di kelas? Sejalan dengan itu, seperti yang dikemukakan Kneller (dalam Pidarta, 1997:160) bahwa dalam pengembangan kebudayaan meliputi tiga unsur, pertama, originasi yaitu suatu penemuan baru yang dapat menggeser suatu penemuan yang lama. Kedua, difusi yaitu pembentukan budaya baru akibat percampuran budaya baru dengan budaya lama. Ketiga, reinterpretasi yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan zaman. Sesuai pernyataan itu, guru sebagai pendidik seni diberikan kewenangan untuk membelajarakan seni melalui, mengamati, meniru, dan memodifikasi materi seni sesuai dengan kubutuhan anak dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Materi pembelajaran yang bersifat teoritik sebaiknya tidak diberikan secara terpisah melainkan diberikan secara terpadu dengan materi kegiatan apresiatif maupun berkarya seni. Materi pelajaran praktik berkarya seni kerajinan menekankan pada aspek proses dan hasil. Sehingga pembelajaran lebih menekankan pada usaha membentuk pemahaman dan mengungkapkan gagasan kreatif. Pada dasarnya jika proses dilakukan dengan prosedur yang benar, baik, logis akan menghasilkan produk karya seni rupa yang baik pula. Pembelajaran seni rupa tardisional (kerajinan) yang lebih profesional penguasaan bidang tertentu misalnya kerajinan ( batik, kayu, bambu), sekolah dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran melalui muatan lokal kerajinan atau pengembangan diri (ektrakurikuler) kerajinan sesuai pilihan peserta didik.
Pembelajaran seni budaya dan keterampilan dengan model apapun hendaknya harus menggunakan strategi tatap muka dan memberikan pengalaman belajar learning by doing. Strategi tatap muka adalah bentuk kegiatan interaksi aktif guru dan siswa dengan bentuk atau cara diskusi, presentasi, tanya jawab, demontrasi, dan lain-lain yang dapat mengaktifkan dan mengefektifkan komunikasi guru dan siswa untuk menanamkan nilai-nilai humanistik kepada peserta didik. Kegiatan interaksi aktif dapat di dalam kelas, di laboratorium, di lapangan dan sebagainya di mana proses transfer pengetahuan dan keterampilan dilakukan. Pembelajaran seni rupa daerah setempat harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan pada diri siswa, untuk dapat diterima dan menyenangkan pada peserta didik perlu modifikasi materi ajar yang sesuai perkembangan anak. Pengalaman belajar adalah sebuah kegiatan siswa berinteraksi dengan bahan ajar untuk menguasai kompetensi tertentu baik secara mandiri maupun trstruktur di bawah bimbingan guru. Bagaimana siswa menguasai pengetahuan dan keterampilan seni melalui berinteraksi dengan bahan ajar. Dalam proses tatap muka maupun pengalaman belajar guru berfungsi sebagai fasilitator dan motivator bagi siswanya, bukan pemberi materi pelajaran. Dalam proses itu bagaimana guru membimbing, menanamkan nilai-nilai, disiplin, tanggung jawab agar siswa dapat berkembang dengan baik.
Pembelajaran seni budaya dan keterampilan dalam kurikulum KBK terdiri atas pembelajaran kreasi dan apresiasi. Pembelajaran kreasi atau berkarya seni bertujuan untuk menghasilkan karya. Aktivitas berkarya dilakukan melalui kegiatan belajar keterampilan seni dengan berbagai pendekatan. Belajar seni rupa tradisional yang sering disebut kerajinan sepereti batik, ukir, anyam, gerabah dapat dilakukan dengan menggunakan metode 3 N ( Niteni, Nirokake, lan Nambahi) yang digunakan dalam pembelajaran di Tamasiswa oleh Ki Hajar Dewantoro. Metode 3 N dalam bahasa Indonesia 3 M (Mengamati, Meniru, dan Mengembangkan). Demikian juga penggunaan metode yang mirip bahkan secara esensi sama seperti yang disampaikan Mudrajad Kuncoro (2009) untuk memotivasi perajin dalam mengembangkan industri kreatif dengan metode ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Belajar apapun dimulai dengan niteni atau mengamati objek apalagi belajar seni rupa tradisi lokal daerah setempat. Peserta didik mengkonstruksi pengetahuan untuk membangun konsepsi. Setelah konsep terbentuk pada pikiran peserta didik selanjutnya dilakukan proses keterampilan dengan cara meniru. Belajar keterampilan apapun pada tingkat yang paling rendah dan sederhana adalah dimulai dari meniru. Setelah penguasaan keterampilan dasar dikuasai dengan niteni dan meniru, selanjutnya peserta didik masuk pada tahapan mengembangkan atau memodifikasi. Pada tataran mengembangkan atau memodifikasi ini peserta didik harus mengembangkan kreativitas dengan melakukan pencarian secara terus menerus melalui inquairy, questioning, modeling, learning comunity, problem solving, dan individual learning seperti prinsip pembelajaran kontekstual. Belajar memodifikasi atau mengembangkan dapat dilakukan dengan ekplorasi dan eksperimen dalam mengolah gagasan (konsep), bentuk, dan media, teknik, dengan mengambil unsur dari berbagai bentuk seni (tradisi maupun kreasi baru), baik sebagai kegiatan individual maupun kegiatan kelompok. Pembelajaran berkarya atau produktif perlu diciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan sehingga dapat memotivasi siswa dalam berkarya. Memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan pilihannya agar anak dapat berkreasi dengan baik. Peran guru dalam proses berkarya sebagai fasilitator dan mitra belajar siswa. Sebagai fasilitator dan mitra belajar peserta didik harus dapat membimbing dan memotivasi belajar siswa baik belajar berkreasi maupun apresiasi dengan baik.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik perlu mengemas materi ajar seni rupa tradisi daerah setempat dengan cara dikembangkan atau disederhanakan sesuai perkembangan anak pada jenjang pendidikan tertentu. Misalnya untuk anak SMP harus belajar batik tradisional motif kawung jangan disamakan dengan perajin membuat batik motif kawung, mereka tiap kali melihat itu sudah tidak tertarik. Tugas guru mengemas dan memodifikasi materi motif kawung menjadi sederhana dan mudah dikerjakan anak tanpa mengurangi makna dan prinsip-prinsip kerja batik tradisional. Guru mengenalkan perkembangan batik, fungsi batik, alat batik seperti canting, wajan, bahan batik seperti malam, kain, dan warna. Guru juga menjelaskan dan mempraktikan cara pemakaian bahan dan alat batik sama dengan yang dikerjakan oleh perajin batik. Guru mengajarkan cara membuat topeng kepada anak SMP misalnya dijelaskan cara menyederhanakan, mengembangkan, sehingga anak menjadi senang dengan topeng atau budaya tradisi daerah setempat yang lainnya. Demikian seterusnya guru sangat menentukan keberhasilan lulusan dalam mengapresiasi, menghayati dan mencitai seni budayanya sendiri. Pendidik harus kreatif mengemas materi kerajinan daerah setempat ke dalam pembelajaran di kelas sesuai dengan perkembangan anak dan kebutuhan masyarakat. Jika kemasan materi ajar disamakan persis dengan apa yang ada di dunia perajin mungkin anak kurang tertarik, tetapi jika dimodifikasi sesuai dengan konteks perkembangan dan kebutuhan anak akan lebih menarik.
Pembelajaran apresiasi bertujuan untuk mengembangkan kesadaran, pengalaman, dan penghargaan terhadap proses berkarya dan hasil karya seni. Kegiatan apresiasi dapat dilakukan melalui pengamatan, melakukan percobaan, diskusi, dan pembahasan hasil karya seni. Hasil karya kerajinan sebagai objek kegiatan apresiasi tersebut dapat dalam bentuk karya siswa, foto karya seniman, produk perajin, gambar, rekaman, dan pameran hasil karya. Pengamatan karya bertujuan untuk memperoleh pengalaman estetik melalui pencerapan nilai-nilai instrinsik pada bentuk atau komposisi karya seni untuk membangun konsepsi peserta didik. Pembahasan karya seni bertujuan untuk mendapatkan kesadaran dan pemahaman tentang penciptaan karya, berdasarkan telaah tentang perajin, seniman, latar belakang penciptaan, tujuan penciptaannya.
Pembelajaran apresiasi dapat dilakukan dengan penyajian karya meliputi kegiatan penyajian lisan dalam diskusi kelas dan pameran baik dalam lingkup kelas, sekolah, maupun masyarakat. Diskusi kelas bertujuan untuk menampilkan, mempresentasikan, dialog tentang hasil karya dan proses kreatif yang dilakukan siswa. Kegiatan diskusi ini dapat pula dipadukan dengan kegiatan penyajian lisan. Penyajian tulis dalam bentuk mendiskripsikan hasil karya seni. Penyajian dalam bentuk pameran karya dalam lingkup kelas bertujuan untuk menampilkan hasil karya kreasi siswa dalam rangka apresiasi di lingkungan siswa sekelas, sekolah, atau pada masyarakat umumnya. Pembelajaran apresiasi dapat pula sebagai pembelajaran kritik seni. Peserta didik diajak untuk memahami proses penciptaan seni produk seni dan kerajinan tradisional melalui kegiatan mendeskripsikan karya seni dan kerajinan secara kritis dari apa yang diamati. Peserta didik dapat melakukan analisis terhadap karya seni dengan membedah komposisi, proporsi, tekture, dan keindahan karya dengan cermat. Kegiatan intepretasi dengan cara memberikan keputusan hasil deskripsi dan analisis bahwa karya seni tersebut memiliki bobot atau kurang berbobot berdasarkan hasil analisis secara objektif. Tingkatan terakhir dari proses kritik adalah memberikan keputusan evaluasi untuk menentukan bahwa karya seni tersebut memang indah, berbobot atau kurang bermutu dan memberikan rekomendasi untuk menindak lanjuti dalam kerangka untuk membangun dan memperbaiki proses dan hasil karya. Pembelajaran seni budaya dan keterampilan dibedakan menjadi pembelajaran apresiatif dan pembelajaran kreasi atau produktif. Pembelajaran apresiatif meliputi apresiasi proses dan hasil karya. Pembelajaran apresiasi di sekolah dapat dimulai dari apresiasi karya ciptaan siswa, karya ciptaan orang lain baik tradisional maupun modern.
Pelaksanaan pembelajaran seni budaya dan keterampilan di sekolah alternatif yang dapat dilaksanakan sesuai konteks dan kemampuan sekolah atau daerah sebagai berikut: Sekolah yang memiliki guru seni dan keterampilan yang lengkap dapat melaksanakan pembelajaran seni dan keterampilan secara terpisah sesuai bidangnya. Siswa diberikan kebebesan memilih bidang seni budaya dan keterampilan tertentu sesuai minatnya. Untuk pelaksanaan pembelajaran terpadu (misalnya kerajinan dengan elektronika) dapat dilaksanakan berkerja sama dalam bentuk pembelajaran bertim untuk melaksanakan pembelajaran model tertentu, sehingga menghasilkan karya kerajinan dengan sentuhan teknologi. Karya tersebut dapat berbentuk robot, kendaraan tradisional, boneka tradisional yang dapat digerakan oleh tenaga listrik baik arus lemah maupun kuat. Sekolah yang hanya memiliki satu guru bidang seni/keterampilan tertentu, guru tersebut melaksanakan pembelajaran sesuai dengan bidangnya, tetapi juga diharapkan mengajarkan bidang seni dan keterampilan yang lain menurut kemampuannya untuk memberikan wawasan apreasiasi kepada peserta didik. Sekolah yang belum memiliki guru seni dan keterampilan dapat dipegang oleh guru mata pelajaran lain yang memiliki minat dan kemampuan pada bidang seni dan keterampilan tertentu.
Demikian sumbangan pemikiran penulis, dengan mengemas pembelajaran seni rupa tradisional (kerajinan) dengan menggunakan metode 3 N, 3 M atau ATM untuk pengembangan kompetensi apresiasi dan kreasi peserta didik. semoga dapat ikut memberikan sumbangan pemikiran pendidikan seni budaya dan keterampilan di persekolahan di Indonesia untuk masyarakat yang pluralisme multikultural. Pendidikan seni harus mampu membangung apresiasi, kreasi, dan toleransi terhadap keragaman budaya bangsa. Harapan akhir pendidikan seni budaya di sekolah di seluruh nusantara ini mampu membelajarkan seni tradisi nusantara dengan baik sesuai kemampuan sekolah dan daerah, sehingga konsep ideal yang dikembangkan Diknas melalui kurikulum berbasis kompetensi dapat terwujud dengan baik.
Daftar Pustaka
Depsiknas. (1997). Ketrampilan menjelang 2020 untuk era global. Jakarta
Diknas.(2000). Standar Isi. Jakarta: BSNP
Dimyati. (1999). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Djelantik A.A.M. (1999). Estetika sebuah pengantar. Bandung: MSPI
Djojonegoro Wardiman.(1998). Pengembangan sumber daya manusia melalui SMK. Jakarta: Depdikbud
Djohar. (1999). Reformasi dan masa depan pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: IKIP
Kedaulatan Rakyat. Minggu 18 Oktober 2009 hal. 24. Industri kreatif solusi saat global.
Lansing, M.Kenneth. Art, artists, and art education. New york: Mc Graw-Hill Book Company
Mattil, Edward. (1971). Meaning in craft. New Jersey: Prentice Hall
Mulyasa. 2003. Kurikulum berbasis kompetensi, konsep, karakteristik, dan implementasinya. Bandung: Rosda.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pidarta Made. (1997). Landasan kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Rohidi Rohendi Tjetjep. (2000). Kesenian dalam pendekatan kebudayaan. Bandung: STISI Press
____________________. (1994). Pendekatan sistem sosial budaya dalam pendidikan. Semarang: IKIP Press
Tauchid Muh. 2004. Karya Ki H. Dewantoro, bagian pertama, Pendidikan. Yogyakarta: Majelis luhur Tamansiswa
Tilaar HAR. (1999). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya
____________ (1999). Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional dalam perspektif abad 21. Magelang : Tera Indonesia
UU Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Winkel WS. (1987). Psikologi pengajaran. Jakarta: Gramedia
Biodata
Nama: Drs Martono, M.Pd lahir di Jepara 18 April 1959, Pendidikan S1 Pendidikan Seni Rupa IKIP Yogyakarta, S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan PPs UNY, S3 Pengkajian Seni Rupa PPs ISI Yogyakarta (belum lulus). Bidang keahlian mengajar pendidikan seni rupa dan kriya. Pengalaman mengajar di Jurdik seni rupa FBS UNY, PGTK, PGSD, dan Program Akta 4. Karya ilmiah dan penelitian yang pernah dilakukan, topeng dalam perkembangan budaya, estetika kerajinan, kerajinan antara terdisi versus modern, pembelajaran dasar kekriyaan, pembelajaran berbasis kompetensi, strategi pembelajaran seni lukis anak usia dini, pewarnaan serat alami dengan warna alami, penelitian hibah bersaing, dosen muda. Bidang pengabdian masyarakat Tim pengembang kurikulum SMP Dir. P.SMP Jakarta, Asesor BAN-PT, Tim pengembang instrumen penilaian buku SMK oleh BSNP Jakarta, Asesor sertifikasi guru, dan pengabdian insidental di bidang pendidikan dan kerajinan.
http://blog.uny.ac.id/martono/2009/12/29/pembelajaran-seni-rupa-tradisional-dalam-ktsp/
Seni Secara Umum
0diggsdigg
Artikel ini mengenai konsep umum seni. Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik, sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai estetika.
Definisi dan evaluasi seni telah menjadi sangat bermasalah sejak awal abad ke-20. Richard Wollheim membedakan tiga pendekatan: yang Realis, dimana kualitas estetika merupakan nilai absolut terlepas dari pandangan manusia; yang objektivis, dimana juga merupakan nilai absolut, tetapi bergantung pada pengalaman manusia secara umum; dan posisi relativis, dimana tidak nilai mutlak, tetapi tergantung pada, dan bervariasi dengan, pengalaman manusia manusia yang berbeda. Sebuah benda dapat ditandai oleh niat, atau ketiadaan, dari penciptanya, terlepas dari tujuan jelas. Sebuah cangkir, yang seolah-olah dapat digunakan sebagai wadah, dapat dianggap seni jika dimaksudkan hanya sebagai hiasan, sementara sebuah lukisan dapat dianggap kerajinan jika diproduksi secara massal.
Secara tradisional, seni istilah digunakan untuk merujuk kepada suatu keahlian atau penguasaan. Konsepsi ini berubah selama periode Romance, ketika seni datang untuk dilihat sebagai “fakultas khusus pikiran manusia harus diklasifikasikan dengan agama dan ilmu pengetahuan”. Secara umum, seni dibuat dengan tujuan untuk merangsang pikiran dan emosi.
Sifat seni telah dijelaskan oleh Richard Wollheim sebagai “salah satu yang paling sukar dipahami dari masalah-masalah tradisional kebudayaan manusia”. Telah didefinisikan sebagai wahana ekspresi atau komunikasi emosi dan ide-ide, suatu cara untuk menjelajah dan menghargai unsur-unsur formal untuk kepentingan mereka sendiri, dan sebagai mimesis atau representasi. Leo Tolstoy seni diidentifikasi sebagai penggunaan tidak langsung berarti untuk berkomunikasi dari satu orang ke orang lain. Benedetto Croce dan RG Collingwood memajukan pandangan idealis bahwa seni mengungkapkan emosi, dan bahwa karya seni pada dasarnya ada dalam pikiran pencipta. Teori sebagai bentuk seni berakar pada filsafat Immanuel Kant, dan dikembangkan pada awal abad kedua puluh oleh Roger Fry dan Clive Bell. Seni sebagai mimesis atau representasi memiliki akar dalam filsafat Aristoteles. Baru-baru ini, para pemikir dipengaruhi oleh Martin Heidegger telah menafsirkan seni sebagai cara yang dengannya masyarakat mengembangkan sendiri media untuk ekspresi diri dan penafsiran.
http://www.seni-rupa.com/tentang-seni/seni-secara-umum/
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.
Seni rupa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni atau seni murni, kriya, dan desain. Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan kemudahan produksi.
Secara kasar terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan visual arts.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Bidang seni rupa
o 1.1 Seni rupa murni
o 1.2 Desain
o 1.3 Kriya
• 2 Lihat pula
• 3 Pranala luar
[sunting] Bidang seni rupa
[sunting] Seni rupa murni
Patung Pieta oleh Michaelangelo
• Seni lukis
• Seni grafis
• Seni patung
• Seni instalasi
• Seni pertunjukan
• Seni keramik
• Seni film
• Seni koreografi
• Seni fotografi
[sunting] Desain
• Arsitektur
• Desain grafis
• Desain interior
• Desain busana
• Desain produk
[sunting] Kriya
Kursi rotan sebagai hasil karya kriya
• Kriya tekstil
• Kriya kayu
• Kriya keramik
• Kriya rotan
[sunting] Lihat pula
• Seni rupa Islam
• Seni
• Visual arts
• Seni kontemporer
http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_rupa
Unsur-unsur Seni Rupa
Added: Saturday, September 8th 2007 at 1:12am by artbloggue
Related Tags: art
2.5 / 0 ratings
Bagi sekelompok orang yang memandang sesuatu secara holistik mungkin tidak akan tertarik pada pembahasan tentang unsur, oleh karena unsur merupakan bagian terkecil dari sesuatu yang membentuk kesatuan sistem. Bagi kelompok ini akan lebih tertarik pada prinsip-prinsipnya, apakah karya seni rupa itu secara keseluruhan enak di lihat atau tidak. Namun bagi kelompok atau orang yang berfikiran prakmatis, formal, atau struktural akan mengatakan enak tidaknya suatu karya Seni Rupa itu dinikmati adalah adanya unsur-unsur yang membentuknya.
Untuk kepentingan analisis atau kritik seni pembahasan unsur Seni Rupa atau lebih lazim disebut sebagai Unsur Rupa atau Unsur Desain memang perlu dilakukan beberapa sumber, terkadang menyebut unsur rupa berbeda, akan tetapi dapat ditarik kesimpulan pada dasarnya unsur rupa adalah Garis, Raut, Warna, Tekstur, Ruang dan Gelap Terang.
A. GARIS
Garis merupakan unsur yang paling elementer di bidang Seni Rupa. Dengan hanya meletakkan posisi mata pensil di atas kertas dan selanjutnya digerakkan, maka jejak mata pensil itu akan menghasilkan garis. Oleh karenanya ada yang menyatakan bahwa garis adalah hubungan dua buah titik atau jejak titik-titik yang bersambungan atau berdempetan. Oleh karena itu garis dapat muncul secara rapi atau dapat juga muncul bergigi, bintik-bintik dan sebagainya, arah garis dapat menimbulkan garis lurus, garis lengkung, garis zig-zag. dan garis dapat berposisi tegak, datar, dan melintang.
B. RAUT
Raut adalah tampang, potongan, bentuk suatu objek. Raut dapat terbentuk dari unsur garis yang melingkup dengan keluasan tertentu sehingga membentuk bidang. Raut juga berarti perwujudan atau perawakan dari suatu objek, dalam hal ini raut berarti bangun, atau dalam pengertian lain raut sering dipahami atau dikenal sebagai bentuk atau bidang. Penampilan raut dapat berujud sebagai (1) Raut Geometris, seperti segi tiga, segi empat, lingkaran. (2) Raut Organik atau Biomorfis seperti raut yang terbentuk dari lengkungan-lengkungan bebas. (3) Raut Bersudut berarti raut yang terbentuk dengan banyak sudut atau berkontur garis zig-zag. (4) Raut Tak Beraturan, adalah jenis raut yang terbentuk secara kebetulan seperti tumpahan cat atau semburan cat dan sebagainya.
C. WARNA
Warna merupakan unsur rupa yang memberikan nusansa bagi terciptanya karya seni, dengan warna dapat ditampilkan karya seni rupa yang menarik dan menyenangkan. Melalui berbagai kajian dan eksperimen, jenis warna diklasifikasi ke dalam jenis Warna Primer, Warna Sekunder, Warna Tersier.
Warna Primer adalah warna yang tidak diperoleh dari pencampuran warna lain, warna pokok atau dengan kata lain warna yang terbebas dari unsur warna-warna lain. seperti ( merah, kuning, biru ).
Warna Sekunder adalah merupakan pencampuran dari dua warna Primer. misalnya warna biru campur warna kuning jadi warna hijau, warna biru campur warna merah jadi warna ungu atau violet, warna merah campur warna kuning jadi warna orange.
Warna Tersier Adalah pencampuran dari dua warna sekunder.
D. TEKSTURE
Tekstur adalah sifat atau kualitas nilai raba dari suatu permukaan, oleh karena itu tekstur bisa halus, licin, kasar, berkerut, dan sebagainya. Dalam tekstur visual boleh jadi kesan yang di tangkap oleh mata itu kasar akan tetapi sesungguhnya halus atau sebaliknya. Kita dapat menentukan halus kasarnya suatu permukaan juga dapat merasakan kualitas permukaan antara kertas, kain, kaca, batu, kayu. Sedangkan pada tektur semu kesan yang di tangkap oleh mata tidak sama dengan kesan yang di tangkap oleh perabaan.
E. RUANG
Dalam bidang seni rupa, unsur ruang adalah unsur yang menunjukkan kesan keluasan, kedalaman, cekungan, jauh dan dekat. Dua bidang yang sama jenisnya misalnya lingkaran, akan memberikan kesan yang berbeda jika ukuran ke dua lingkaran itu berbeda. Lingkaran besar akan memberi kesan luas sedangkan lingkaran kecil akan memberi kesan sempit. Jika ke dua lingkaran itu berimpit akan memberi kesan dekat akan tetapi jika diatur berjarak akan memberi kesan ruang yang jauh.
F. GELAP TERANG
Gelap terang berkaitan dengan cahaya, artinya bidang gelap berarti tidak kena cahaya dan yang terang adalah yang kena cahaya. Goresan pensil yang keras dan tebal akan memberi kesan gelap sementara goresan pensil yang ringan-ringan akan memberi kesan lebih terang. Gelap terang dalam gambar dapat dicapai melalui teknik arsir yaitu teknik mengatur jarak atau tingkat kerapatan suatu garis atau titik, semakin rapat akan menghasilkan kesan semakin gelap demikian sebaliknya.
Selanjutnya pemahaman tentang Prinsip-prinsip Seni Rupa masuk di link ini
http://360.yahoo.com/digdig_subro
http://www.blogster.com/artbloggue/unsur-unsur-seni-rupa
SURABAYA – Fenomena yang ada di sekitar kehidupan manusia selalu bisa menjadi inspirasi para seniman dalam berkarya. Tak terkecuali sebelas seniman asal Jepang yang menggelar pameran bersama di Emmitan Contemporary Art Gallery mulai 26 September hingga 10 Oktober mendatang.
Mengusung tajuk “Passage to the Future”, pameran menyuguhkan karya seni yang berbeda dari yang biasanya ditampilkan seniman Jepang. Biasanya, pameran seni negeri Sakura yang digelar di Indonesia lebih banyak menampilkan karya seperti ikebana, keramik, kaligrafi, dan porselen.
Kali ini, pameran yang digelar bekerjasama dengan Japan Foundation dan Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya ini menampilkan karya berupa pahatan, lukisan, instalasi, foto, dan video. Semuanya merupakan hasil refleksi Atsushi Fukui, Satoshi Hirose, Maywa Denki, Tomoyasu Murata, Tetsuya Nakamura, Masafumi Sanai, Katsuhiro Saiki, Yoshihiro Suda, Tabaimo, Nobuyuki Takahashi dan Miyuki Yokomizo atas fenomena kehidupan di sekitar mereka.
Uniknya, kesebelas seniman ini tidak memiliki kesamaan aliran seni dalam berkarya. Tapi mereka punya kesamaan perspektif dalam seni kontemporer yang terfokus pada kehidupan pribadi dan lingkungan sehari-hari. Karya seni mereka juga mewakili generasi baru di bidang seni yang kaya inovasi.
Miyuki Yokomizo misalnya. Seniman yang memiliki latar belakang pendidikan seni pahat ini menampilkan karya instalasi dari bahan plastik dan sabun mandi. Beragam sabun mandi dari berbagai merek dan bentuk disusun teratur dalam plastik hingga membentuk tirai dalam karya bertajuk “Please Wash Away”.
Miyuki memilih dua materi ini sebagai materi karyanya karena kedua bahan ini sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Bahkan di dunia. “Plastik sudah jadi konsumsi massa, begitu juga sabun. Kita nyaris selalu bersentuhan dengan plastik dan sabun dalam kehidupan sehari-hari,” kata Miyuki. rey
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=091074f44de1321aecb08696ec4bcd67&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c
Seni lukis adalah salah satu cabang dari seni rupa. Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari menggambar.
Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas, kertas, papan, dan bahkan film di dalam fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media yang digunakan.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Sejarah umum seni lukis
o 1.1 Zaman prasejarah
o 1.2 Seni lukis zaman klasik
o 1.3 Seni lukis zaman pertengahan
o 1.4 Seni lukis zaman Renaissance
o 1.5 Art nouveau
• 2 Sejarah seni lukis di Indonesia
• 3 Aliran seni lukis
o 3.1 Surrealisme
o 3.2 Kubisme
o 3.3 Romantisme
o 3.4 Plural painting
o 3.5 Seni lukis daun
o 3.6 Aliran lain
• 4 Abstraksi
• 5 Pelukis terkenal Indonesia
• 6 Lihat pula
[sunting] Sejarah umum seni lukis
[sunting] Zaman prasejarah
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan dedaunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan dwi-matra (dua dimensi, dimensi datar).
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan objek-objek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari objek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap objeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam objek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya.
Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.
[sunting] Seni lukis zaman klasik
Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
• Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
• Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal.
[sunting] Seni lukis zaman pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas.
Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".
Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda).
[sunting] Seni lukis zaman Renaissance
Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ilmuwan dan budayawan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang. Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa. Seni rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki. Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.
Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
• Tomassi
• Donatello
• Leonardo da Vinci
• Michaelangelo
• Raphael
[sunting] Art nouveau
Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin. Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam.
[sunting] Sejarah seni lukis di Indonesia
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa. Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.
[sunting] Aliran seni lukis
[sunting] Surrealisme
Lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Pelukis berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.
[sunting] Kubisme
Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan sensasi tertentu. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Pablo Picasso.
[sunting] Romantisme
Merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Pemandangan alam adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.
Romantisme dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonial. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Raden Saleh.
[sunting] Plural painting
Adalah sebuah proses beraktivitas seni melalui semacam meditasi atau pengembaraan intuisi untuk menangkap dan menterjemahkan gerak hidup dari naluri kehidupan ke dalam bahasa visual. Bahasa visual yang digunakan berpijak pada konsep PLURAL PAINTING. Artinya, untuk menampilkan idiom-idiom agar relatif bisa mencapai ketepatan dengan apa yang telah tertangkap oleh intuisi mempergunakan idiom-idiom yang bersifat: multi-etnis, multi-teknik, atau multi-style.
[sunting] Seni lukis daun
Adalah aliran seni lukis kontemporer, dimana lukisan tersebut menggunakan daun tumbuh-tumbuhan, yang diberi warna atau tanpa pewarna. Seni lukis ini memanfaatkan sampah daun tumbuh-tumbuhan, dimana daun memiliki warna khas dan tidak busuk jika ditangani dengan benar. senidaun.wordpress.com
[sunting] Aliran lain
• Ekspresionisme
• Impresionisme
• Fauvisme
• Neo-Impresionisme
• Realisme
• Naturalisme
• De Stijl
[sunting] Abstraksi
Adalah usaha untuk mengesampingkan unsur bentuk dari lukisan. Teknik abstraksi yang berkembang pesat seiring merebaknya seni kontemporer saat ini berarti tindakan menghindari peniruan objek secara mentah. Unsur yang dianggap mampu memberikan sensasi keberadaan objek diperkuat untuk menggantikan unsur bentuk yang dikurangi porsinya. Abstraksi disebut juga sebagai salah satu aliran yang terdapat di dalam seni lukis.
[sunting] Pelukis terkenal Indonesia
• Affandi
• Agus Djaya
• Barli Sasmitawinata
• Basuki Abdullah
• Djoko Pekik
• Dullah
• Ferry Gabriel
• Hendra Gunawan
• Herry Dim
• Jeihan
• Kartika Affandi
• Lee Man Fong
• Mario Blanco
• Otto Djaya
• Popo Iskandar
• Raden Saleh
• S. Sudjojono
• Srihadi
• Sri Warso Wahono
• Trubus
• Atim Pekok
• E. Darpo.S
[sunting] Lihat pula
• Estetika
• Melukis
• Lukisan
• Kontemporer
http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_lukis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar