Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan
banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana
diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan
menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam
kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan
seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun
kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak
adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di
kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader
dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari
berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan
kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah.
Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi,
akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan
dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah
berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya
orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi
wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin
sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam
berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas
kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan
masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan
keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan
perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa
arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua
itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi
(muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah)
dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan
keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai
sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS.
An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan
merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam
salah satu hadits : “Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah,
lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku”
(HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah
Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi)
pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul.
Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih
mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya
(kecantikan/ ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan
(walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan
(mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur
baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca
pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq
seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina
dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan
pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; ” Tiga golongan
yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas
dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan
lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga
muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan
masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama) , padahal sebelum menikah hal itu adalah
sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus
diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan
sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat
secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri- nya dan dapat
memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan
yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187) , maka suami/isteri harus
mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekuranga n yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara
suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya
suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang
secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan
bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang
ada pada suami merupakan kekurangan/kelemaha n bagi isteri, begitu
sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk
kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3
(tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang
diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak
diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk
orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum
menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari
pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang
berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk
memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri
atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan
shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat
bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian,
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana
telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu
berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat: 102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan
keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap
tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut
dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan
seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana
sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan
sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi- halangi
langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja
yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang
lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan
pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan
senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan
dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi
dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa
pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang
menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima
kelemahan/kekuranga n pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:”Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak
keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni
neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada
suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami
seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingk an dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam
meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan
segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus
dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan
semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan.
Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan
dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi
keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi
risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk
selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap
dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau
Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan
shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang
sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS.
Ash-Shaafaat: 100 ; QS.Al-Imran: 38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap
dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat
penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih),
diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali
radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat) .
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan
guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan
baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian,
dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan
indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman
dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan
kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah
tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata
dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal,
akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri
dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta
kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia
akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah
mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara
berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah
karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar
dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah
hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena
sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af,
karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena
sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/ suami, segeralah
minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah
bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi
jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati
(kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh
keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja
(ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah,
mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam
kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a
agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy
‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam
menta’ati-Mu) .
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam
segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam
segenap tindakannya (muraqobatullah) . Perasaan tersebut harus dilatih
dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga
untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah
bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a,
ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana
menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,
dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt
menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya
jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah
tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di
dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah
dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang
(muthma’innah) , fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk
kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan
dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1)
Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman,
dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang
nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan
syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba- Nya
yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai
cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita
dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. “
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk
kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu
digembirakan” . (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan
mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thuur:21) .
Inilah keberkahan yang hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar