Pada pagi hari yang terang, kicauan burung berbaris merdu menyambut sorot mentari. Lipi merasa susah, memikirkan pekerjaan ayahnya. Ibunya telah meninggal saat Lipi masih kanak-kanak. Ia anak dari keluarga miskin. Ayahnya seorang petani kasar, dengan pekerjaannya yang kurang menguntungkan. Ayah Lipi bernama Pak Kirman,
Pada suatu hari Lipi menangis terisak-isak, karena ia merasa lapar dan haus. Ia tidak bisa sekolah lagi.
“Lipi, anakku sayang. kamu sabar dulu yaa”
“Nanti ayah akan carikan makanan buat kamu” Ujar ayahnya sambil membersihkan air mata yang mengalir dari mata Lipi.
“Ayah, saya do’akan agar pekerjaan ayah mendapat keuntungan yang besar. Kata Lipi sambil menatap ayahnya.
Ayah Lipi merasa kasihan terhadap anaknya. Ia berusaha berhutang kepada tetangganya.
Esok harinya. Pak Kirman pergi mengendarai sepeda pinjaman tetangganya, menengok ladang sawahnya yang sedang ditanami padi. Sawahnya tidak begitu luas. Diwaktu itu, ia melihat sawahnya dengan heran dan kesal, karena sejumlah Tanaman Padi rusak dimakan oleh tikus. “Rupanya ini ujian dari Allah SWT. Alhamdulillah Tuhan masih ingat kepadaku”. Ucapnya dengan Hati penuh kesabaran dan tulus.
Ia berjalan menuju sawahnya. Hendak merapikan Tanaman Padi yang rusak dan tanahnya yang kering. Sampai saat matahari beranjak sore. Ia meninggalkan, karena sudah merasa puas telah membenahi padi yang rusak dimakan tikus. Ia pergi kerumahnya. Saat itu Lipi masih menangis merasakan lapar dan haus dikursi dengan duduk bersimpuh. Karena ia tidak makan dan minum selama 2 Hari.(more . . .)
“Pi? Ini makanan dan minuman buat kamu. Ujar ayahnya.
“Ayah dapatkan dari mana, Ayah?. Ucap Lipi.
“Makanan dan minuman ini ayah dapatkan dari tetangga kawan ayah, jawabnya”
“Ooh, Yaa? Terima kasih. Ucap Lipi.
Kian hari Lipi berfikir sambil merenungkan harapan Lipi yang akan ditumbuhkan menjadi pekerjaannya. “Bagaimana kalau saya menjadi tukang parkir saja dijalanan. Ujar Lipi didalam hatinya dengan tegas. “Sekarang saya akan jadi tukang parkir saja dijalanan. “Biar mendapat uang sebanyak mungkin. Katanya.
Siang harinya ia hendak pergi ngeluyur sambil membawa kardus. Ketika itu Lipi merasakan kesulitan dengan pekerjaannya sendiri.
“Kok, susah yaa? mendapatkan uang. Ucapnya didalam hati dengan sabar.
Setiap kali mobil dan sepeda motor yang diparkir oleh Lipi, selalu berjalan saja ngeluyur tidak memberikan uang atas pemarkirnya. Lipi makin resah dengan pekerjaannya. Ia kembali kerumah tidak mendapatkan apa-apa. Waktu itu ayahnya sedang mencarikan nafkah kebutuhan sehari-harinya untuk Lipi dan dirinya dari pinjaman uang tetangganya. Ayah Lipi pekerjaannya hanya meminjam uang dari tetangga kawan dekat. Saat itu tetangga kawan dekatnya merasa kasihan terhadap kawannya yang terus hanya berhutang uang untuk kecukupan dirinya dan anaknya. Tetapi ia tidak bisa mengulurkan tangan, karena dirinya tidak mempunyai beban usaha. Pekerjaan kawan dekatnya, adalah seorang pelayan Bank.
Suatu hari. Lipi merenung. Ia memikirkan pekerjaan yang sepantasnya dicapai untuk dirinya.
“Ah, “Gimana kalau aku menjadi seorang pemancing disungai.
“Kan? kalau dapat ikan banyak, “Saya tawarkan kepada masyarakat sekitarnya.
“Bereslah. Semoga tercapai dengan baik. Ujar Lipi hendak akan segera tidur dikamarnya.
Pada esok pagi. Lipi membuat pancingan dari batang pohon pring. Sehingga menjadi sebuah alat untuk memancing ikan yang sederhana. “Jaadi, deh. “Aku akan mulai pekerjaannya dengan giat. Ucapnya hendak pergi kesungai dengan sepeda ayahnya yang dipinjami oleh tetanggan dekatnya. Pekerjaan itu tidak diberitahukan kepada ayahnya. Karena ayahnya sedang kerumah kawan dekatnya untuk berhutang uang. Lipi berjalan menuju kesungai dengan sepeda pinjaman tetangganya. Sampainya disungai ia langsung turun kebawah untuk memancing. Dengan senangnya, Lipi mendapatkan ikan yang banyak. Lipi merasakan puas dengan harapan pekerjaannya. Waktu siang sudah mulai tiba. Lipi hendak meninggalkannya, dengan membawa sejumlah Ikan yang segar-segar. Lipi berjalan kerumah dengan mengendarai sepedanya. Ia merasakan puas dan bahagia.
“Asyik?. “Ayah pasti kaget dengan Pekerjaan Lipi?. Ujarnya didalam hati. Saat dijalan hendak mau kerumahnya, Lipi tertabrak mobil, terkena benturan dari sampingnya. Karena Lipi waktu itu sedang bahagia. Ia tidak memperdulikan arus lalu lintas. Masyarakat sekitarnya hendak menolongnya. Ia dibawa kerumah sakit untuk dirawat. Kabar itu tersebar dimana-mana. Ayahnya mengerti kabar tentang kecelakaan anaknya dari kawan dekatnya sewaktu masih berada dirumahnya. Ia segera menengok kerumah sakit dengan temannya. Kemudian, sesampainya di ruang E, yaitu kamar buat Lipi. Ayahnya termenung sedih melihat Lipi yang sedang terlentang menangis kesakitan diranjang.
“Pi? Bagaimana kok kamu bisa menjadi seperti ini?. Ujar ayahnya.
“Nggak ayah? “Saya ini hendak pulang dari sungai.
“Tiba-tiba saya terbentur mobil, karena saya tidak memperdulikan Arus lalu lintas. Ceritanya sambil meneteskan embun air matanya.
“Sabarlah anakku? “Semoga Tuhan memberikan keselamatan untukmu. Ujar ayahnya sambil meneteskan embun air mata ketelapak celah-celah Jari tangan Lipi.
“Ayah, jangan menangis ayah, Lipi nanti akan sembuh nanti. Ujarnya.
Para dokter segera masuk kedalam hendak mau merawat Lipi. Ayah Lipi keluar dari dalam kamarnya sambil menangis didalam hati. Lipi dirawat dengan alat-alat canggih. Ayahnya memikirkan biaya untuk perawatan anaknya, Lipi. Ayahnya Lipi berhutang uang kepada temannya. Karena ayahnya (Pak Kirman) tidak punya uang untuk biaya perawatan anaknya. Tetapi temannya hendak mengikhlaskan uang yang dihutangkan untuk biaya Perawatan anaknya, Lipi. Pak Kirman sebenarnya merasa malu, karena ia banyak berhutang kepada temannya. Beberapa hari Pak Kirman memikirkan Lipi dengan sedih sewaktu mau hendak tidur.
Pada hari senin. Tetangganya mengabarkan kepada Pak Kirman (Ayahnya) tentang Kematian Lipi saat dirumah sakit waktu shubuh tadi. Kebetulan Ayahnya tidak kemana-mana. Ia masih dirumah merenungkan Harta Pinjaman dari temannya dan tentang anaknya sendiri yang sedang dirawat dirumah sakit. Ayahnya mendengar Kabar meninggalnya Lipi saat dirumah sakit. Ia langsung pergi kerumah sakit diantarkan oleh temannya dengan sepeda motor. Saat dirumah sakit. Ayahnya menangis tersedu-sedu, meneteskan embun air mata dari lensa matanya yang merancapi pada wajahnya.
“Anakku? “Engkau tinggalkan ayah sendiri.
“Semoga engkau disana bersama Ibumu. Sahutnya.
Pagi harinya. Lipi dibawa pulang dengan Ambulan kerumahnya. Semua warga masyarakat tahu tentang kabar meninggalnya Lipi anaknya Pak Kirman. Jenazahnya langsung dimandikan, dikhafani, dido’akan dan dikuburkan. Jenazah Lipi dikuburkan dekat makam ibunya. Orang-orang bertahlil saling menaburkan mutiara do’a kepada jenazah Lipi. Saat itu selesai, kemudian orang-orang meninggalkan makamnya dengan langkahan kaki yang melintasi jalan lurus mengharapkan keriidlaan Illahi. Kuburan itu sunyi. Hanya serbuk debu kering yang mendebur-debur bersatu salin bergulat. Setiap hari Jum’at Pak Kirman (Ayahnya) mengadakan Yasinan untuk memberikan kesejukan dan keselamatan untuk anaknya, Lipi serta Ibunya, Ny Murshidah. Kehidupan Pak Kirman sejak kematian anaknya. Ia semangat untuk berusaha dan bekerja. Ia memanfaatkan waktunya untuk bekerja dirumah Pak Sartono. Dengan cita-cita, akan melunasi segala hutang-hutang dari kawan tetangganya.
Waktu itu. ia merasakan kasihan dan sedih. Saat membayangkan jejak-jejak sosok anaknya dan ibunya yang kian lama mengalami kesusahan dalam hidupnya. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh Pak Kirman sangat sukses dengan penghasilannya. Sampai bosnya merasakan puas terhadap Pekerjaan Pak Kirman. Pak Kirman mulai merasakan Kehidupan yang senang setelah anaknya meninggal dunia. Istrinya Pak Kirman meninggal dunia sejak tahun lalu dikarenakan kecelakan seperti anaknya. Pak Kirman bekerja terus-menerus. Senantiasa kadang-kadang ia sering dipengaruhi oleh tatapan sosok bayangan wajah anaknya dan Istrinya yang sedang menangis ditelapak dindingnya. Tetapi Pak Kirman terus bersemangat hidup dalam berusaha, giat bekerja mencari Nafkah untuk dirinya dan semangat beribadah kepada Allah SWT.
(Ahmad Kalamullah Ahsa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar