Mencerna apa yang dimakan, menyaring menjadikannya nutrisi, nutrisi kehidupan^^v

Bismillah...proses belajar yang terus-menerus, seharusnya menjadikan diri semakin produktif, insya Alloh...

Senin, 10 Mei 2010

Cerpen : Si Elang Menangis

“Diam!”. Kataku dengan mengunci lidah Ningka.

Motor GP yang ku kendarai terus melaju cepat. Sampai tertuju ke halaman rumahnya Fery yang sepi sekali. Cuma kicauan burung-burung yang ada di sangkar, yang tergantung di tiang teras rumahnya. Tapi aku tetap memaksa diri untuk mengetuk pintunya. Dengan memegang senjata, berupa sebilah pisau.

Beberapa kali pintunya ku ketuk, namun tak ada yang bersuara di sekitarnya. Ku coba lagi sampai ku dapat menendang pintunya, dengan sangat keras dan cepat. Namun tetap tak bisa terbuka. Sementara Pacarku semakin gelisah dan takut saja. Karena boleh jadi kita ini di akui pencuri atau perampok.

“Heh! tahu nggak Rif, di sekitar kita penuh rumah. Dan malam ini sudah larut, apakah kita nggak takut. Bila ada penjaga ronda mengeroyok kita”.

Dengan rasa sesak di dada. Aku tak menjawab kata-kata pacarku. Ku rasakan jantungku berdetak kencang. Keringat mengucur dari kulit leherku. Seperti sehabis mengejar perampok juga, yang tak tertemukan. Dan tiba-tiba marahku bergejolak lagi, setelah bayangan Toma melintas di depan mataku. Sehingga aku rasanya ingin membalaskan terhadap tewasnya Toma, di akibatkan karena Toma adalah teman akrabku yang paling baik. Yang masih kuliah sepertiku.

“Sebaiknya kita pulang saja, ya Rif”. Kata pacarku sambil memegang tanganku.

“Tidak! Kita tunggu di sini! Pasti sekarang dia sedang bepergian ama anak buahnya”.

“Tapi Rif, waktu tengah malam begini, hampir shubuh lagi? lebih baik kita pulang saja Rif”.

“Mengapa! Ayah-ibumu marah lagi ama kamu

“Tidak? Sich Rif, cuma ngomong yang baik aja kok!”.

“Sabar! Pokoknya kita tunggu sampai dia kembali ke sini”.

“Kamu mau apa dengan dia”.

“Membunuh! Itu saja!”.

“Hah! Janganlah, sayangku? Membunuh itu lebih kejam. Sebaiknya kita bersahabat saja ama dia”.

“Sial! Kamu itu, mengapa bersahabat? Sahabatku yang satu tewas di tangan dia!, bangsat!!”.

Ningka pun akhirnya memilih diam. Ku rasakan sunyi memekat dari sekitar rumahnya. Dan ketika itu aku mendengar adzan menggema dari kejauhan.

“Kau sudah kantuk nggak, Ning?”.

“Sudah! Ayo kita pulang saja, dari pada nanti membawa penyakit bagi kita”.

“Kalau aku pusing, Ning? Pusing sekali!!”.

“Yuk! Pulang aja, nanti membunuhnya, besok aja yaa?”. kataku sambil menuntun langkah kakiku menuju ke motor GP-nya. Sementara Ningka yang mengendarainya, dengan memboncengkanku. Tubuhku bertambah dingin, kebanyakan di terpa angin. Namun jalannya tetap lamban, karena Ningka takut nanti menabrak orang.

Ketika pagi jam delapan tepat. Aku ke rumah Ningka lagi, untuk menjemputnya. Tapi setelah di sana, ibunya mengatakan, bahwa Ningka sedang tidur dan tak mau di ganggu. Sehingga aku pun tak bisa apa-apa. Karena ibunya sudah pulang ke rumah, dari kerja bulanannya di luar Kota. Aku mengusap kening tak berdaya. Terasa nafasku sesak dan serat. Kemudian aku pun pergi dengan sesal. Sesal bukan pada pacarku, tapi sesosok yang menjengkelkan, Fery.

Ku kebut lagi motor GP-ku. Melintasi siang yang menegangkan. Sebilah pisau tetap berada di balik bajuku. Aku berharap akan membunuh Fery, sebagai imbalan atas tewasnya teman satu-satuku yang berbudi dan baik itu. Tujuanku akan ke rumah Fery, yang tadi malam sampai subuh tak ada di rumahnya.

Sebelum sampai di rumahnya, masih berada di lorong. Aku berhasil menemukan Fery beserta anak buahnya yang sedang kumpul di pinggiran jalan. Ketika itu rasa dendamku mulai menggunung dan meledak mengeluarkan larva raga yang sangat membahayakan. Tapi ini demi balasan kepada Fery yang telah membunuh Toma, temanku yang telah membantuku sejak lama, sehingga diriku menjadi sukses dalam menciptakan Album Lagu yang kini sudah beredar. Dan betapa baiknya lagi, dia mau mempromosikan band-ku menjadi terkenal di seluruh nusantara ini. Sampai aku jadi penggemar, dan seringkali aku di undang ke panggung konser untuk melantunkan lagu-lagu milik grup band-ku. Dialah, Toma sahabatku yang paling berbudi, dan sangat berharga sekali.

Aku mengeluarkan sebilah pisau. Sudah ku bayangkan, nanti matiku bagaimana. Aku melangkah dengan sigap. Jiwaku membara sekali, bergelut dengan dendam yang semakin dalam. Aku maju mendekati mereka. Sedangkan mereka tak tahu dengan diriku. Tapi akhirnya tahu juga, setelah pisau ada di tanganku.

Mereka semua maju, dan mengeroyokku. Pisauku tak sanggup membunuh. Namun aku yang terbunuh dengan pisauku sendiri. Mereka langsung tertawa terbahak-bahak Kemudian memasukkan mayatku ke dalam karung, dan membuangnya di telaga. Daerah itu sangat sepi. Makanya kalau ada pembunuhan tak dapat di ketahui oleh para penghuni daerah itu. Toma pun juga tewas di tempat itu. Rupanya sarang mereka ada di daerah itu, arwahku mengerang kesakitan melayang-layang di atas melihat Fery beserta anak buahnya yang sedang pesta membakar daging babi dan anjing. Dan tak lama aku berlalu, mencari arwah temanku, Toma yang telah mendahuluiku meninggalkan dunia fatamorgana itu.

Pekalongan, 1 Juni 2005

(Ahmad Kalamullah Ahsa)

Tidak ada komentar: